Puisi: Syair Rindu (Karya Marah Roesli)

Puisi "Syair Rindu" karya Marah Roesli menggambarkan perasaan cinta seorang laki-laki yang penuh pengorbanan kepada kekasihnya.
Syair Rindu
(Surat dari Samsulbahri kepada Sitti Nurbaya)

Awal bermula berjejak kalam,
Pukul sebelas suatu malam,
Bulan bercaya mengedar alam,
Bintang bersinar laksana nilam.

Langit jernih cuaca terang,
Kota bersinar terang benderang,
Angin bertiup serangmenyerang,
Ombak memecah di atas karang.

Awan berarak berganti-ganti,
Cepat melayang tiada berhenti,
Menuju selatan tempat yang pasti,
Sampai ke gunung lalu berhenti.

Udara tenang hari pun terang,
Sunyi senyap bukan sebarang,
Murai berkicau di kayu arang,
Merayu hati dagang seorang.

Guntur menderu mendayu-dayu,
Pungguk merindu di atas kayu,
Hati yang riang menjadi sayu,
Pikiran melayang ke tanah Melayu.

Angin bertiup bertalu-talu,
Kalbu yang rawan bertambah pilu,
Hati dan jantung berasa ngilu,
Bagai diiris dengan sembilu.

Tatkala angin berembus tenang,
Adik yang jauh terkenang-kenang,
Air mata jatuh berlinang,
Lautan Hindia hendak direnang.

Jika dipikir diingat-ingat,
Arwah melayang terbang semangat,
Tubuh gemetar terlalu sangat,
Kepala yang sejuk berasa angat.

Betapa tidak jadi begini,
Ayam berkokok di sana-sini,
Disangka jiwa permata seni,
Datang menjelang kakanda ini.

Disangka adik datang melayang,
Mengobat kakanda mabuk kepayang,
Hati yang sedih berasa riang,
Kalbu yang tetap rasa tergoyang.

Lipur segala susah di hati,
Melihat adikku emas sekati,
Datang menjelang abang menanti,
Dagang merindu bagaikan mati.

Silakan gusti emas tempawan,
Sila mengobat dagang yang rawan,
Penyakit hebat tidak berlawan,
Sebagai kayu penuh cendawan.

Silalah adik, silalah gusti,
Sila mengobat luka di hati,
Jika lambat adik obati,
Tentulah abang fana dan mati.

Tatkala sadar hilang ketawa,
Dagang seorang di tanah Jawa,
Rasakan hancur badan dan nyawa,
Nasib rupanya berbuat kecewa.

Di sana teringat badan seorang,
Jauh di rantau di tanah seberang,
Sedih hati bukan sebarang,
Sebagai manik putus pengarang.

Tunduk menangis tercita-cita,
Jatuh mencucur air mata,
Lemah segala sendi anggota,
Rindukan adik emas juita.

Teringat adik emas sekati,
Kanda mengeluh tidak berhenti,
Rindu menyesak ke hulu hati,
Rasa mencabut nyawa yang sakti.

Terkenang kepada masa dahulu,
Tiga bulan yang telah lalu,
Bergurau senda dapat selalu,
Dengan adikku yang banyak malu.

Sekarang kakanda seorang diri,
Jauh kampung halaman negeri,
Duduk bercinta sehari-hari,
Kerja lain tidak dipikiri.

Tetapi apa hendak dikata,
Sudah takdir Tuhan semesta,
Sebilang waktu duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita.

Setelah jauh sudahlah malam,
Kakanda tertidur di atas tilam,
Bermimpi adik permata nilam,
Datang melipur gundah di dalam.

Datangnya itu seorang diri,
Tidur berbaring di sebelah kiri,
Kakanda memeluk intan baiduri,
Dicium pipi kanan dan kiri.

Tiada berapa lama antara,
Dilihat badan sebatang kara,
Abang terbangun dengan segera,
Hati yang rindu bertambah lara.

Guling kiranya berbuat olah,
Lalu mengucap astagfirullah,
Begitulah takdir kehendak Allah,
Badan yang sakit bertambah lelah.

Memang apa hendak dibilang,
Sudahlah nasib untung yang malang,
Petang dan pagi berhati walang,
Menanggung rindu beremuk tulang.

Walaupun sudah nasib begitu,
Tiada kanda berhati mutu,
Gerak takdir Tuhan yang satu,
Duduk bercinta sebilang waktu.

Jauh malam hampirkan siang,
Mataku tidak hendak melayang,
Di ruang mata adik terbayang,
Hati dan jantung rasa bergoyang.

Ayam berkokok bersahut-sahutan,
Di sebelah barat, timur, selatan,
Hatiku rindu bukan buatan,
Kepada adikku permata intan.

Di situ terkenang ibu dan bapa,
Adik dan kakak segala rupa,
Handai dan tolan kaya dan papa,
Timbul di kalbu tiada lupa.

Begitulah nasib di rantau orang,
Susah ditanggung badan seorang,
Sakit bertenggang bukan sebarang,
Sebagai terpijak duri di karang.

Setelah siang sudahlah hari,
Berjalan kakanda kian kemari,
Tak tahu apa akan dicari,
Bertemu tidak kehendak diri.

Diambil kertas ditulis surat,
Ganti tubuh badan yang larat
Kesan nasib untung melarat,
Kepada adikku di Sumatra Barat.

Dawat dan kalam dipilih jari,
Dikarang surat di dinihari,
Ganti kakanda datang sendiri,
Ke pangkuan adik wajah berseri.

Wahai adikku indra bangsawan,
Salam kakanda dagang yang rawan,
Sepucuk surat jadi haluan,
Ke atas ribaan emas tempawan.

Mendapatkan adik paduka suri,
Cantik manis intan baiduri,
Di padang konon namanya negeri,
Duduk berdiam di rumah sendiri.

Jika kakanda peri dan mambang,
Tentulah segera melayang terbang,
Menyeberang lautan menyongsong gelombang,
Mendapatkan adik kekasih abang.

Menyerahkan diri kepada adinda,
Tulus dan ikhlas di dalam dada,
Harapan kakanda jangan tiada,
Mati di pangkuan bangsawan muda.

Adikku Nurbaya permata delima,
Dengan berahi sudahlah lama,
Hasrat di hati hendak bersama,
Dengan adikku mahkota lima.

Hendak bersama rasanya cita,
Dengan adikku emas juita,
Jika ditolong sang dewata,
Di dadalah jadi tajuk mahkota.

Tajuk mahkota jadilah tuan,
Putih kuning sangat cumbuan,
Menjadikan abang rindu dan rawan,
Laksana orang mabuk cendawan.

Karena menurut cinta di hati,
Asyik berahi punya pekerti,
Sungguhpun hidup rasakan mati,
Baru sekarang kanda mengerti.

Dendam berahi sudahlah pasti,
Tuhan yang tahu rahasia hati,
Kakanda bercinta rasakan mati,
Tidak mengindahkan raksasa sakti.

Siang dan malam duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita,
Tiada hilang di hati beta,
Adik selalu di dalam cipta.

Jiwaku manis Nurbaya Sitti,
Putih kuning emas sekati,
Tempat melipur gundah di hati,
Ingin berdua sampaikan mati.

Tidaklah belas dewa kencana,
Memandang kanda dagang yang hina,
Makan tak kenyang tidur tak lena,
Bercintakan adik muda teruna.

Rindukan adik paras yang gombang,
Siang dan malam berhati bimbang,
Cinta di hati selalu mengembang,
Laksana perahu diayun gelombang.

Setiap hari berdukacita,
Terkenang adinda emas juita,
Sakit tak dapat lagi dikata,
Sebagai bisul tidak bermata.

Tiada dapat kakanda katakan,
Asyik berahi tak terperikan,
Adik seorang kakanda idamkan,
Tiada putus kakanda rindukan.

Rusaklah hati kanda seorang,
Rindukan paras intan di karang,
Dari dahulu sampai sekarang,
Sebarang kerja rasa terlarang.

Pekerjaan lain tidak dipikiri,
Karena rindu sehari-hari.
Tiada lain keinginan diri,
Hendak bersama intan baiduri.

Ayuhai adik Sitti Nurani,
Teruslah baca suratku ini,
Ilmu mengarang sudahlah fani,
Disambung syair surat begini.

Analisis Puisi:

Puisi "Syair Rindu" karya Marah Roesli adalah kisah cinta yang intens dan penuh emosi. Puisi ini menggambarkan perasaan cinta seorang laki-laki yang mendalam kepada kekasihnya yang bernama Nurbaya.

Struktur Puisi: Puisi "Syair Rindu" memiliki struktur yang terdiri dari beberapa bait yang panjang, menggambarkan cerita cinta yang mendalam dan rumit.

Judul: Judul "Syair Rindu" mengindikasikan bahwa puisi ini akan membahas perasaan rindu yang mendalam dan intens.

Penyair dan Pembacaan Puisi: Penyair, yang dalam puisi ini juga berperan sebagai penyair, merindukan Nurbaya dengan sangat kuat. Ia mengungkapkan perasaan yang mendalam dan tidak terkendali terhadap kekasihnya.

Imaginasi Romantis: Puisi ini penuh dengan imaginasi romantis yang digambarkan melalui kata-kata seperti "permata delima," "mahkota lima," dan "emas sekati." Ini menciptakan gambaran tentang seberapa berharganya Nurbaya bagi si penyair.

Pengorbanan dan Kesetiaan: Meskipun cinta mereka terasa sebagai pengorbanan dan penderitaan yang mendalam, penyair menunjukkan kesetiaannya kepada Nurbaya. Ia bersedia mengorbankan apapun demi cinta mereka.

Penderitaan Akibat Cinta: Puisi ini menggambarkan penderitaan yang dialami oleh penyair akibat cinta yang mendalam. Kata-kata seperti "makan tak kenyang tidur tak lena" menciptakan gambaran tentang bagaimana cinta bisa membuatnya tidak tenang.

Bahasa dan Gaya Bahasa: Puisi ini menggunakan bahasa yang indah dan gaya bahasa yang romantis. Penggunaan kata-kata yang kaya dan metafora yang kuat menciptakan nuansa cinta yang mendalam.

Kesimpulan Terbuka: Puisi ini tidak memiliki kesimpulan yang jelas, sehingga meninggalkan ruang bagi pembaca untuk menggambarkan akhir cerita sesuai dengan interpretasi mereka sendiri.

Puisi "Syair Rindu" adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan perasaan cinta yang mendalam dan penuh pengorbanan. Dengan bahasa yang indah dan imaginasi romantis, puisi ini menggambarkan bagaimana cinta bisa menghasilkan rasa rindu yang mendalam dan penderitaan yang dalam.

Puisi: Syair Rindu
Puisi: Syair Rindu
Karya: Marah Roesli

Biodata Marah Roesli:
  • Marah Roesli (dieja Marah Rusli) lahir di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 7 Agustus 1889.
  • Marah Roesli meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 17 Januari 1968 (pada usia 78 tahun).
  • Marah Roesli adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
  • Syair di atas merupakan bagian dari buku Sitti Nurbaya (1920).
© Sepenuhnya. All rights reserved.