Puisi: Setia Membidikmu (Karya Herwan FR)

Puisi "Setia Membidikmu" karya Herwan FR menggambarkan sebuah pencarian yang tak terhindarkan dalam cinta, penuh dengan gejolak dan hasrat yang ...
Setia Membidikmu

Demi pengakuan yang kelak kekal dan menyakitkan
aku setia membidikmu. Matamu menjadi kelereng
di atas lantai jiwa yang oleng oleh rindu yang dungu.
Sungsumku berhenti membeku. Aku kini lapar kembali
mencari kekasih. Tanganku menggenggam bukit,
menyentuh lahar yang ngalir di tiap kepundan gunung,
jari-jari merembah liar hutan-hutan tubuhmu.
Aku ingin menggambar lagi peta: daerah-daerah tak bertuan
Dan menjadi petualang pertama, menjelajah dengan perkasa.
Kulukis anak-anak di rahimmu dengan hidung panjang
seperti Pinokio, lalu kuhidupkan dengan bayangan,
dan kubiarkan berlarian menyusur
lereng-lereng betismu yang bagai bukit kapur

Dari keringat dan seribu gerak tubuhmu
aku pahami seribu cara bercinta. Lalu apalagi antara kau-aku,
guru-murid, setia bersulang dalam papa dan kegelapan?
Demikian kuutarakan hasrat ini dengan kerongkongan
sedikit mau basah, jakun tertahan resah. Mataku
rabun oleh sudut lenganmu yang memijar.
Aku menjadi Ken Arok yang lumpuh
oleh betis Ken Dedes. Musnah dalam derajad pandang,
lurus menembus celah dadamu yang sempit dan menghimpit.

Lalu, aku nyala dan padam lagi -

Serang, 2005

Analisis Puisi:

Puisi "Setia Membidikmu" karya Herwan FR menggambarkan sebuah perjalanan batin yang penuh dengan keinginan, kerinduan, dan pencarian terhadap makna cinta yang mendalam. Dalam puisi ini, penyair menggunakan bahasa yang intens dan metafora yang kuat untuk menggambarkan hasrat yang tak terpuaskan dan hubungan yang penuh dengan kontradiksi. Pembaca diajak untuk merenungkan tentang konsep cinta, pengorbanan, dan perasaan yang hadir dalam setiap perjalanan kehidupan.

Keterasingan dalam Pengakuan

Puisi ini dimulai dengan ungkapan yang penuh dengan makna: "Demi pengakuan yang kelak kekal dan menyakitkan aku setia membidikmu." Kalimat ini menunjukkan bahwa pengakuan yang diinginkan bukanlah sesuatu yang mudah, bahkan bisa membawa rasa sakit yang mendalam. Penyair menyatakan kesetiaan untuk "membidikmu," yang bisa diartikan sebagai pencarian terus-menerus terhadap seseorang atau sesuatu yang diinginkan. Pengakuan ini bukan hanya terkait dengan dunia fisik, tetapi juga dalam dimensi yang lebih dalam, yaitu pengakuan emosional dan spiritual.

Matamu dan Rindu yang Dungu

Pada baris berikutnya, penyair menggambarkan matamu sebagai "kelereng di atas lantai jiwa yang oleng oleh rindu yang dungu." Mata di sini menjadi simbol dari objek yang diidam-idamkan, yang terus dipandang dan dianalisa dalam ketidakpastian. "Lantai jiwa yang oleng" menggambarkan kondisi jiwa yang tidak stabil, terguncang oleh rindu yang "dungu," yaitu rindu yang penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian. Ini menunjukkan betapa kuatnya perasaan yang tidak dapat dijelaskan secara rasional, seolah-olah mata menjadi satu-satunya hal yang mampu memfokuskan perhatian, meskipun jiwa terasa terguncang.

Lapar Kembali Mencari Kekasih

Selanjutnya, penyair menuliskan, "Sungsumku berhenti membeku. Aku kini lapar kembali mencari kekasih." Ungkapan ini menunjukkan perasaan kekosongan yang akhirnya menemukan titik untuk diisi kembali. "Lapar" di sini tidak hanya merujuk pada kebutuhan fisik, tetapi lebih kepada hasrat emosional yang mencari pasangan atau kekasih. Penyair menggambarkan pencarian ini dengan cara yang sangat kuat dan tak terhindarkan, seolah-olah pencarian tersebut menjadi sebuah kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi.

Menggenggam Bukit dan Menyentuh Lahar

Penyair melanjutkan dengan "Tanganku menggenggam bukit, menyentuh lahar yang ngalir di tiap kepundan gunung." Gambar ini menunjukkan kekuatan dan semangat yang tak terbendung dalam pencarian cinta. Bukit yang digenggam dan lahar yang mengalir adalah gambaran kekuatan alam yang tak dapat dikendalikan, namun tetap dihadapi dengan keberanian. Penyair ingin menyentuh inti dari sesuatu yang besar, yang penuh dengan potensi dan risiko, yang bisa jadi merupakan simbol dari hubungan itu sendiri—penuh dengan tantangan, tetapi juga menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan.

Peta Cinta dan Rahim

Kemudian, puisi ini berlanjut dengan kalimat yang sangat visual dan penuh makna: "Aku ingin menggambar lagi peta: daerah-daerah tak bertuan Dan menjadi petualang pertama, menjelajah dengan perkasa." Peta ini bisa diartikan sebagai gambaran perjalanan emosional dalam hubungan tersebut—sebuah wilayah yang belum dipetakan, penuh dengan ketidakpastian, namun sangat menarik untuk dijelajahi. Rahim, tempat di mana kehidupan bermula, menjadi simbol dari kemungkinan baru dan potensi yang tak terbatas. Penyair melukis "anak-anak di rahimmu dengan hidung panjang seperti Pinokio," menyiratkan proses penciptaan dan imajinasi yang tak terbatas dalam cinta.

Gerak Tubuh dan Cinta yang Terajut

Dari "keringat dan seribu gerak tubuhmu," penyair menyatakan bahwa dia memahami "seribu cara bercinta." Tubuh menjadi medium untuk memahami perasaan cinta yang lebih dalam. Setiap gerakan, setiap sentuhan, dan setiap detik bersama menjadi pembelajaran bagi penyair dalam memahami dinamika hubungan. Penyair juga mempertanyakan hubungan antara mereka, "guru-murid, setia bersulang dalam papa dan kegelapan," menggambarkan hubungan yang penuh dengan ketidakseimbangan kekuasaan, serta pencarian makna dalam ketidaktahuan dan kegelapan.

Hasrat yang Tertahan dan Ken Arok

Selanjutnya, penyair menggunakan referensi mitologi dalam ungkapan "Aku menjadi Ken Arok yang lumpuh oleh betis Ken Dedes." Ken Arok, seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa, dikenal karena hasratnya yang tak terbendung. Namun, dalam puisi ini, penyair merasa terhambat, lumpuh oleh rasa hasrat yang begitu kuat, tetapi terhalang oleh kekuatan cinta yang lebih besar. Betis Ken Dedes, yang terkenal dalam legenda, menjadi simbol dari ketidakmampuan untuk menghindari hasrat dan cinta yang kuat.

Nyala dan Padam

Akhir puisi ini diakhiri dengan kalimat "Lalu, aku nyala dan padam lagi," yang menggambarkan siklus emosi yang tak terduga dalam hubungan tersebut. Perasaan yang datang dan pergi ini menunjukkan ketidakstabilan dalam cinta, di mana hasrat dan perasaan bisa berubah dalam sekejap. Perasaan itu bisa muncul dengan intensitas yang luar biasa, tetapi juga bisa padam, seperti nyala api yang menyala dan kemudian mati.

Puisi "Setia Membidikmu" karya Herwan FR menggambarkan sebuah pencarian yang tak terhindarkan dalam cinta, penuh dengan gejolak dan hasrat yang tidak terpuaskan. Penyair menggunakan metafora yang kuat, simbolisme tubuh dan alam, serta referensi mitologi untuk menggambarkan pencarian yang penuh ketidakpastian dan perasaan yang saling bertentangan. Melalui puisi ini, Herwan FR menggambarkan cinta sebagai sebuah perjalanan yang penuh dengan godaan, rindu, dan pencarian makna yang tak pernah berhenti.

Puisi: Setia Membidikmu
Puisi: Setia Membidikmu
Karya: Herwan FR

Biodata Herwan FR:
  • Herwan FR lahir di Cerebon, pada tanggal 14 Juni 1971.
© Sepenuhnya. All rights reserved.