Percakapan Hening
Sebatas apakah engkau pahami pertemuan kita?
Teramat dangkal ketika aku atau engkau harus selalu
jujur menjawabnya. Memang demikian: ada kalanya harus
saling membohongi diri sendiri, mengisi dan menjawab teka-
teki dalam hati dengan ungkapan dan dugaan-dugaan. Tapi
memang siapa yang lebih akrab mengajari kita selain batin
kita sendiri yang terus menerus memendarkan pudar cahaya
warna-warni, ke sela lubang pintu yang sesekali mesti terbuka dan terkunci rapat ini?
Ya. Seperti itulah pertemuan yang memang, terkadang
melahirkan berbagai bentuk penafsiran. Karena itu,
tak perlu panjang lebar engkau risaukan segala yang
tiba-tiba hadir bersebrangan dan bersimpangan. Tak
perlu meneteskan air mata. Tak perlu saling mengucapkan selamat
tinggal. Cukup saling diam. Dan tak akan pernah ada lagi cerita.
Barangkali dari negeri jauh, kita tetap bayangan
yang sewaktu-waktu melintas begitu lesat. Dan wajarlah
kita rapatkan bulu mata sambil menghela napas panjang.
Barangkali kita dengar jelas suara isak tertahan,
sesekali gemeretuk lekuk tubuh. Seperti itulah kelak, selalu
dan selalu, dihadapkan dua kemungkinan: mengenang atau melupakan.