Merayakan Senja di Fort Rotterdam
Gerimis masih tersisa meski semakin redup lalu hening tumpah
angin menebarkan aroma tanah di sela-sela rumput basah
seekor kupu-kupu melintas dekat dinding bastion Bone
mungkin ada kehadiran seorang tamu yang ingin terkabarkan
sedang langit masih berwajah mendung berlapis kisah
ingin rasanya bersamamu menelusuri jejak kebesaran Gowa-Tallo
Datanglah tanpa harus upacara penyambutan rindu sambil merayakan
senja yang hening dengan segala kabar yang dibawa kupu-kupu
beradu kisah di tengah benteng Fort Rotterdam dan tawa hanyalah pilihan
sebab berbagi pengalaman hidup tak lebih serupa secangkir kopi
perlu pahit atau manis tanpa beban harus dicecap sebagai rasa
senja pun bisa saja berwajah pelangi bersama turunnya para dewi
Di benteng Fort Rotterdam tak ada terdengar suara ombak dari seberang
hanya langkah-langkah kecilmu mendegupkan dada, maka merayakan senja
bukan berarti akan angslup menuju malam sebab gerimis belum juga reda
lembar-lembar daun yang jatuh dari pohon ketapang kecil seakan mengabarkan
musim yang tak mau lagi menunggu, juga seperti aku mungkin ditakdirkan
menjadi kisah seperti benteng tua Fort Rotterdam sambil merawat ingatan.
Makassar, 2020
Analisis Puisi:
Benteng Fort Rotterdam di Makassar adalah saksi sejarah panjang bangsa ini. Namun dalam puisi “Merayakan Senja di Fort Rotterdam” karya Tri Astoto Kodarie, tempat itu hadir bukan sekadar situs bersejarah, melainkan ruang batin penuh perenungan. Dengan latar senja, gerimis, dan keheningan yang mendalam, penyair mengolah waktu, sejarah, dan kenangan menjadi refleksi puitik yang penuh makna.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah perenungan atas sejarah dan kenangan pribadi di ruang simbolik Fort Rotterdam. Senja menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini, antara kenangan dan kenyataan, antara diri dan sejarah bangsanya.
Makna Tersirat
Di balik deskripsi senja dan suasana benteng tua, puisi ini mengandung makna tersirat tentang kefanaan waktu, pentingnya memelihara ingatan, dan kesadaran bahwa hidup terus berjalan dengan atau tanpa penanda besar sejarah.
Kehadiran kupu-kupu yang membawa kabar, gerimis yang tak reda, dan pohon ketapang yang menjatuhkan daun — semua adalah simbol waktu yang bergerak, kenangan yang tak usai, dan takdir manusia yang tak bisa menghindari perubahan.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang merayakan senja di Fort Rotterdam sambil merenungkan sejarah, cuaca, dan kenangan bersama seseorang atau sesuatu yang sangat berarti baginya. Ia mengajak pembaca menelusuri benteng tua yang menyimpan kisah kejayaan Gowa-Tallo, sekaligus menjadi latar tempat untuk menyelami kegelisahan batin yang dalam dan personal.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini tenang, sendu, dan reflektif. Ada kelembutan dari gerimis, aroma tanah basah, dan kupu-kupu yang hadir sebagai simbol kehadiran batin. Namun suasana ini tidak suram, melainkan penuh kontemplasi dan keintiman emosional, terutama ketika dikaitkan dengan rasa rindu, kenangan, atau bahkan perpisahan yang telah diterima secara dewasa.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan bahwa merawat sejarah dan kenangan adalah bagian penting dari keberadaan manusia. Tidak semua harus dirayakan secara megah; kadang, senja dan keheningan cukup untuk mengenang masa lalu dan menerima takdir masa kini.
Penyair juga menyiratkan bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran akan waktu, bahwa setiap manusia—seperti benteng tua itu—adalah tempat yang menyimpan kisah, luka, sekaligus harapan.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan kinestetik:
- “Gerimis masih tersisa meski semakin redup” → imaji cuaca yang mendalam, menciptakan suasana syahdu.
- “Seekor kupu-kupu melintas dekat dinding bastion Bone” → imaji gerak dan kehadiran yang halus namun mengandung pesan.
- “Langkah-langkah kecilmu mendegupkan dada” → imaji gerak yang memicu emosi.
- “Lembar-lembar daun yang jatuh dari pohon ketapang kecil” → simbol waktu, perubahan, dan kefanaan.
Imaji-imaji ini membuat pembaca bukan hanya melihat, tetapi juga merasakan dan mendengar suasana senja di Fort Rotterdam.
Majas
Puisi ini menggunakan berbagai majas (gaya bahasa) yang memperindah dan memperdalam makna:
Personifikasi
- “senja yang hening dengan segala kabar yang dibawa kupu-kupu” → kupu-kupu digambarkan sebagai pembawa pesan.
- “gerimis belum juga reda” → gerimis dipersonifikasi sebagai sosok yang enggan pergi.
Metafora
- “berbagi pengalaman hidup tak lebih serupa secangkir kopi” → hidup disamakan dengan kopi yang bisa pahit atau manis.
- “aku mungkin ditakdirkan menjadi kisah seperti benteng tua” → penyair membandingkan dirinya dengan benteng, simbol kekuatan yang diam namun menyimpan sejarah.
Simbolisme
- Senja melambangkan waktu peralihan, usia matang, refleksi.
- Benteng Fort Rotterdam sebagai simbol sejarah, kenangan, dan keteguhan.
- Kupu-kupu sebagai simbol pesan spiritual atau kehadiran kenangan yang lembut.
Hiperbola
- “senja pun bisa saja berwajah pelangi bersama turunnya para dewi” → sebuah penggambaran puitis tentang indahnya senja yang seolah dikawal oleh dewi-dewi.
Unsur Puisi
Struktur dan unsur dalam puisi ini membentuk kesatuan puitik yang harmonis:
- Diksi: Pilihan kata-kata yang lembut, tenang, dan kontemplatif seperti “gerimis”, “senja”, “benteng”, “kupu-kupu”, dan “ingatan” memberi nuansa emosional dan puitik yang mendalam.
- Tipografi: Terdiri atas 3 bait, masing-masing 6 baris, struktur ini menyiratkan alur naratif reflektif yang utuh—dimulai dari deskripsi suasana, penghayatan batin, hingga kesadaran atas waktu dan takdir.
- Latar: Fort Rotterdam digunakan sebagai latar fisik dan simbolis, menjembatani antara sejarah, tempat nyata, dan ruang batin penyair.
Puisi “Merayakan Senja di Fort Rotterdam” karya Tri Astoto Kodarie bukan hanya puisi tentang tempat bersejarah. Ia adalah meditasi personal dan historis yang mempertemukan masa lalu dan masa kini, antara kenangan dan ketakberdayaan menerima waktu yang terus berjalan.
Dengan simbol-simbol alam, bangunan tua, dan suasana gerimis yang tak reda, penyair menyampaikan kesadaran akan pentingnya memelihara jejak dan kisah, bahkan jika hanya dalam senja yang sepi. Puisi ini menyentuh, bukan karena kesedihan, melainkan karena kejujuran dan kebijaksanaannya menghadapi perubahan dan kefanaan.
Puisi: Merayakan Senja di Fort Rotterdam
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
