Menerbangi Maghrib
merangkak di atas bukit kenyataan
menatap pedih burung lepas senja
apa yang kauturuni
setelah puncak yang terjejaki darah hatimu ini
di lembah padi menguning, tapi lapar menggulung tegalan
begitu berahi dendam keputusasaan melibas kesabaran
menyerahlah sebentar, sebab kita akan mengepungnya dengan doa
sesuatu yang tampak naif dan tak begitu berdaya
karena ‘bukankah ini tangannya yang melempar
bukan tangan kita’?
aku mengingatnya di rumput, di batu, di debu
bawah tubuh-tubuh kita adalah perlawanan itu sendiri
ingatlah kami, sebelum doa berubah menjadi kutukan
mengubah impian jadi perlawanan