Gunung Biru
Pembawaan lambang perlahan-lahan
Ke ujung gunung biru
Daripada tembak dahulu kala di sisinya
Diikuti pukulan genderang perlahan sekali
Mengingatkan kekejaman burung-burung gagak
Hati yang patah daripada tubuh tunduk tersungkur rubuh
Dada yang mengembang lebar
Hanya ada emas di hatinya sendiri
Kebiruan langit dan lambang yang berkebat di tangannya
Tanda kemenangan di tangan yang mencari menang sebelum apa?
Kulihat sebagai impian kebun melati di padang pasir
Irama-irama yang datang ribut dan pilu
Ke ujung gunung biru
mengelu elukan tangan yang basah dari genggaman
Alangkah terhuyung huyungnya
Dari jauh tampak sebagai api yang menyala
Langit yang begini berkaca
tersingkap selimut dan berlumba
Kegagalan membawa pelayangan ke lubuk yang bening.
Sumber: Majalah Siasat (29 Maret 1953)
Analisis Puisi:
Puisi "Gunung Biru" karya Mahbub Djunaidi menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian makna melalui gambaran gunung biru sebagai simbol kekuatan alam dan kehidupan manusia. Puisi ini menghadirkan bahasa yang kaya dengan metafora yang mendalam untuk mengeksplorasi tema-tema seperti keindahan alam, kekuatan alamiah, dan perenungan akan eksistensi manusia di dalamnya.
Simbolisme Gunung Biru
Gunung biru dalam puisi ini melambangkan kedalaman spiritual dan keabadian alam semesta. Warna biru sering kali dikaitkan dengan kedamaian, kekuatan, dan keabadian. Dengan menghadirkan gambaran gunung biru, Djunaidi mengajak pembaca untuk memasuki dunia yang luas dan mendalam, tempat di mana pertemuan antara alam dan manusia berlangsung.
"Pembawaan lambang perlahan-lahan / Ke ujung gunung biru" membawa pembaca ke dalam suasana perlahan dan khidmat, mengisyaratkan perjalanan spiritual yang tenang menuju makna yang lebih dalam. "Daripada tembak dahulu kala di sisinya / Diikuti pukulan genderang perlahan sekali" menghadirkan gambaran sejarah dan kekaguman akan masa lalu yang dipenuhi kekuatan dan kejayaan.
"Hati yang patah daripada tubuh tunduk tersungkur rubuh" menggambarkan kelemahan dan keputusasaan manusia dalam menghadapi kebesaran alam dan perjalanan hidup.
Simbolisme Emas dan Kebiruan
"Dada yang mengembang lebar / Hanya ada emas di hatinya sendiri / Kebiruan langit dan lambang yang berkebat di tangannya" menunjukkan kekayaan spiritual yang dimiliki seseorang, di mana emas melambangkan kebenaran dan kesucian, sementara kebiruan langit melambangkan kedalaman dan kedamaian.
"Tanda kemenangan di tangan yang mencari menang sebelum apa? / Kulihat sebagai impian kebun melati di padang pasir" menyoroti perjuangan manusia untuk mencari makna dan kemenangan dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan. Gambaran impian kebun melati di padang pasir mencerminkan keindahan yang mungkin sulit dicapai, namun tetap dikejar dengan tekad yang kuat.
"Irama-irama yang datang ribut dan pilu / Ke ujung gunung biru / mengelu elukan tangan yang basah dari genggaman / Alangkah terhuyung huyungnya / Dari jauh tampak sebagai api yang menyala" menunjukkan perjalanan hidup yang penuh dengan gelombang emosi dan kehidupan yang berubah-ubah. Gunung biru menggambarkan titik akhir dari perjalanan spiritual dan pencarian makna, di mana kehidupan manusia dipertanyakan dan diperjuangkan dengan berbagai perasaan.
Puisi "Gunung Biru" tidak hanya menghadirkan gambaran alam yang megah dan indah, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan dan perenungan spiritual. Dengan bahasa yang kaya dan penuh dengan simbolisme, Mahbub Djunaidi berhasil mengangkat tema-tema yang mendalam tentang eksistensi manusia di dunia ini, serta hubungannya dengan alam semesta dan kekuatan yang lebih besar.
Puisi: Gunung Biru
Karya: Mahbub Djunaidi
Biodata Mahbub Djunaidi:
- Mahbub Djunaidi (dieja Mahbub Junaidi) lahir di Jakarta, pada tanggal 27 Juli 1933.
- Mahbub Djunaidi meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 1 Oktober 1995 (pada usia 62 tahun).
- Mahbub Djunaidi adalah salah satu sastrawan angkatan 1966-1970-an.