Catatan Harian Seorang Guru
sambil meniti sejarah yang mencengkeramkan kuku-kukunya
di bumi kesepakatan yang terlampau serakah
anak-anak bersiul menyanyikan lagu
kepahlawanan tentang seorang guru
kemudian suaranya hanyut bersama kotoran di selokan
karena matahari tak pernah lelah meniti hari
maka kebajikan menjadi keringat
yang mengucur di nadi-nadi kegelisahan
menuju muara sepi
bila semangat telah dijual untuk sepiring nasi
di antara semboyan dan keterpaksaan
berjalan terengah-engah di tanah merdeka
sambil membayangkan idealisme yang kelaparan
dan fatamorgana
hanya mampu kita pandang saja.
1993
Analisis Puisi:
Puisi "Catatan Harian Seorang Guru" karya Tri Astoto Kodarie membawa pembaca dalam refleksi terhadap realitas kehidupan seorang guru dan keadaan sosial di sekitarnya.
Sejarah yang Mencengkeram: Puisi dimulai dengan bahasan mengenai sejarah yang mencengkeramkan kuku-kukunya. Ini mungkin merujuk pada beban sejarah yang berat dan menciptakan tantangan yang sulit untuk diatasi.
Bumi Kesepakatan yang Serakah: Puisi menggambarkan bumi sebagai tempat di mana kesepakatan terlalu serakah. Ini bisa mencerminkan ambisi dan tindakan egois manusia yang sering mengabaikan keadilan dan kebaikan bersama.
Anak-Anak yang Bersiul: Gambaran anak-anak yang bersiul dan menyanyikan lagu kepahlawanan menunjukkan harapan dan semangat yang masih ada di kalangan generasi muda. Namun, suara mereka akhirnya hanyut bersama kotoran di selokan, menciptakan kontras antara idealisme dan realitas.
Matahari yang Tak Pernah Lelah: Penggambaran matahari yang tak pernah lelah meniti hari menggambarkan keberlanjutan waktu dan rutinitas yang tak henti. Keadaan ini menyebabkan kebajikan menjadi keringat, menciptakan pengertian bahwa pengorbanan guru adalah suatu bentuk kerja keras yang terus-menerus.
Kebajikan dan Kegelisahan: Kebajikan yang diucurkan seperti keringat mengalir di nadi-nadi kegelisahan. Ini merujuk pada beban emosional dan mental yang harus ditanggung oleh seorang guru, mungkin juga mencerminkan kekecewaan dan ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan.
Menuju Muara Sepi: Kata-kata "menuju muara sepi" memberikan kesan ketidakpastian dan kehampaan. Ini bisa diartikan sebagai akhir dari perjalanan yang penuh kesulitan dan kekecewaan.
Semangat yang Dijual untuk Sepiring Nasi: Puisi menyampaikan ironi ketika semangat seorang guru dijual untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sepiring nasi. Hal ini mencerminkan realitas kehidupan di mana idealisme sering kali terkikis oleh kebutuhan materi.
Berjalan Terengah-Engah di Tanah Merdeka: Gambaran berjalan terengah-engah di tanah merdeka menciptakan kontras antara harapan akan kemerdekaan dan kenyataan tantangan yang dihadapi oleh para pendidik.
Idealisme yang Kelaparan dan Fatamorgana: Puisi menyampaikan gambaran idealisme yang kelaparan dan fatamorgana, menciptakan pemahaman bahwa cita-cita mulia mungkin terlalu sulit diwujudkan dalam realitas yang keras.
Puisi ini menyoroti konflik dan beban yang dihadapi oleh seorang guru dalam konteks masyarakat dan sistem pendidikan. Dengan menggunakan gambaran alam dan metafora yang kuat, Tri Astoto Kodarie menciptakan sebuah karya yang memprovokasi pikiran dan mengundang pembaca untuk merenung tentang peran guru dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan idealisme.
Puisi: Catatan Harian Seorang Guru
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
