Ada Daun Gugur
lalu i’tibar itu berserakan: keserakahan, peperangan, daun gugur
yang menguning, dan hujan yang ungu dan air sungai yang kelabu
dan awan yang menebar bianglala di mana-mana... di mana-mana
seekor capung sekarat di ujung lalang; sekali ia menyebutmu:
penyair, lalu diam, kau ambil sayapnya, untuk kau tenun
menjadi jubahmu, alangkah indah bekas-bekas tanganmu, penyair
lihatlah hari-hari maha karya direjang seloka waktumu
dan, demi waktu, ujarmu di antara desau arus sungai
aku ada di tebing, di lunas, dan di riam-riamnya
hari pun lingsir
aku menggigil
"Demi Waktu," ujarmu lagi, tapi alangkah fasih diam ini
jendela yang kacanya ditempias hujan jadi berlinangan
suara seloka kita kau biarkan hanyut ke muara
di tengah sungai, sebentar nanti perahumu akan milir di sini
kunanti dikau menyapa oleng lanting-ku: lalu aku tersipu
aku sudah mengawini kesunyianmu, ujarku, ketika
seloka belum selesai kueja
lalu waktu pun binasa