Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Syair-Syair Kecil tentang Hidup (Karya Trisno Soemardjo)

Puisi “Syair-Syair Kecil tentang Hidup” karya Trisno Soemardjo bercerita tentang perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati yang dipenuhi oleh ..
Syair Kecil tentang Hidup (1)

Dari detik ke detik dada berdetak
Memukulkan bertubi godam Kerja dan Kasih.
Tiap kali hati menjawab, "Maut kutolak!"
Diseretnya beban Hidup, dan makhluk merintih.

Syair Kecil tentang Hidup (2)

Kerja sehabis tenaga dan sisanya untuk cinta.
Anak terlahir antara letih dan tak sengaja
Dia pun tumbuh, mengulang riwayat ibu dan bapa,
Dia pun hidup dan tak tahu Hidup yang sebenarnya.

Syair Kecil tentang Hidup (3)

Orangtua berkata, "Jadilah bijaksana,
Hindari kejahatan, carilah keselamatan."
Si anak berpikir, "Di melarat bikin aku celaka!"
Maka larilah ia mengejar kekayaan.

Syair Kecil tentang Hidup (4)

Bayi lahir menangis, anak dara meratapkan asmara.
Istri dimadu tak terbujuk air matanya
Janda tua meringkuk, tak berdaya, tak berharga.
Baru di mahkamah jenazah tertawa!

Syair Kecil tentang Hidup (5)

"Jalan raya lempang ini untukmu bersenang-senang!"
"Tidak! Aku menyimpang! Aku perambah jalan!"
Dia terperosok dan jatuh ke dalam jurang.
Pekiknya terakhir, "Aku bahagia! Aku orang kenamaan!"

Jakarta, 23 Desember 1951

Sumber: Zenith (September, 1952)

Analisis Puisi:

Puisi “Syair-Syair Kecil tentang Hidup” karya Trisno Soemardjo merupakan rangkaian refleksi puitik dan kritis terhadap kehidupan manusia dari berbagai sudut pandang: kerja, cinta, nasihat orang tua, kemiskinan, asmara, kematian, hingga pembangkangan terhadap norma. Terdiri dari lima bagian, puisi ini menggambarkan ironi kehidupan manusia dalam bentuk yang lugas, tajam, namun tetap bernilai sastra tinggi.

Tema: Kehidupan dan Kekeliruan dalam Menjalani Hidup

Tema besar puisi ini adalah kehidupan manusia dan kekeliruan dalam memahami atau menjalani hidup itu sendiri. Trisno Soemardjo memperlihatkan bagaimana manusia sejak lahir hingga mati bergelut dengan kerja keras, cinta, nasihat yang disalahpahami, penderitaan, pencarian harta, dan kematian. Puisi ini menyiratkan bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang menyadari absurditas dan kesalahan manusia dalam menafsirkan maknanya.

Makna Tersirat: Hidup adalah Siklus Kekeliruan dan Kegetiran

Di balik setiap bait, terdapat makna tersirat yang dalam dan bahkan sinis. Berikut beberapa di antaranya:
  1. Hidup adalah kerja terus-menerus sambil menolak maut, padahal pada akhirnya maut tak bisa dielakkan. Manusia berkeras hidup meski merintih.
  2. Anak lahir bukan karena cinta murni, melainkan antara letih dan tak sengaja, dan akhirnya tumbuh mengulang siklus yang sama. Manusia hidup tanpa menyadari makna sejatinya.
  3. Nasihat orang tua agar bijak ditafsirkan anak secara materialistis. Kebijaksanaan digantikan dengan ambisi kekayaan.
  4. Segala bentuk penderitaan hidup—cinta, pernikahan, usia tua—baru berakhir dengan jenazah yang ‘tertawa’, simbol kebebasan dari penderitaan.
  5. Pemberontakan terhadap jalan hidup yang "lurus" berakhir tragis, tetapi si pemberontak merasa puas dan merasa dirinya penting, meski pada akhirnya jatuh ke jurang.
Puisi ini penuh sindiran atas kepalsuan dan kesia-siaan hidup manusia modern yang terus mengulang kesalahan generasi sebelumnya.

Unsur Puisi: Struktur, Diksi, dan Kontras

  • Struktur: Puisi terdiri dari lima bagian terpisah, masing-masing berbentuk quatrain (4 baris), seperti syair klasik.
  • Diksi: Kata-kata lugas dan kadang tajam digunakan secara efektif, seperti “godam Kerja dan Kasih”, “tertawa di mahkamah jenazah”, atau “perambah jalan”.
  • Kontras dan paradoks banyak digunakan sebagai bentuk penyajian ironi.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati yang dipenuhi oleh kerja keras, cinta yang kadang sia-sia, cita-cita yang disalahartikan, dan penderitaan yang berulang. Ia menyajikan potret kehidupan yang getir dan absurd, memperlihatkan bahwa:
  • Hidup dimulai dengan tangis dan lelah,
  • Dijalani dengan kekeliruan dan pengulangan,
  • Diakhiri dengan ironi: kematian yang justru membawa ketenangan.

Suasana dalam Puisi: Getir, Satiris, dan Tragis

Puisi ini ditulis dalam suasana getir dan tragis, namun dengan pendekatan satiris yang kuat. Ada nuansa lelucon pahit dalam gambaran seperti:

"Baru di mahkamah jenazah tertawa!"

atau

"Pekiknya terakhir, 'Aku bahagia! Aku orang kenamaan!'"

Suasana yang dihadirkan adalah keterasingan dan ketidakberdayaan manusia menghadapi takdir hidup, bahkan saat ia merasa telah memilih jalannya sendiri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat penting dari puisi ini antara lain:
  • Hidup harus dijalani dengan kesadaran, bukan sekadar pengulangan warisan orang tua.
  • Jangan terjebak pada definisi kesuksesan yang hanya bersifat material.
  • Kematian bukan selalu kutukan, bisa jadi pembebasan dari kesia-siaan hidup.
  • Pemberontakan terhadap norma harus disertai tanggung jawab dan pemahaman yang dalam, bukan semata demi ego.
  • Kerja dan cinta, jika tidak dilakukan dengan penuh kesadaran, bisa menjadi beban dan sumber keluh.

Imaji: Detak Dada, Godam, Beban Hidup, Jenazah Tertawa

Puisi ini memuat imaji konkret dan simbolik yang kuat:
  • “Detik ke detik dada berdetak” — menggambarkan waktu hidup yang terus berjalan.
  • “Godam Kerja dan Kasih” — kerja dan cinta bukan kebahagiaan, tapi beban yang menghantam hati.
  • “Anak terlahir antara letih dan tak sengaja” — imaji kelahiran tanpa kehendak atau makna.
  • “Jenazah tertawa” — gambaran ironis bahwa kematian justru membawa ketenangan.
  • “Terperosok ke dalam jurang” — simbol kegagalan dari pilihan hidup yang berani tapi tanpa arah.

Majas: Metafora, Paradoks, Satire, Ironi

  • Metafora: “Godam Kerja dan Kasih” — menggambarkan beban hidup dalam bentuk alat berat dan menyakitkan.
  • Paradoks: “Hidup dan tak tahu Hidup yang sebenarnya” — hidup tanpa memahami makna hidup itu sendiri.
  • Satire dan ironi: “Jenazah tertawa” atau “Aku bahagia! Aku orang kenamaan!” adalah sindiran terhadap kemunafikan sosial dan kesombongan hidup yang absurd.
Puisi “Syair-Syair Kecil tentang Hidup” karya Trisno Soemardjo adalah karya sastra yang kaya akan sindiran, ironi, dan perenungan tentang absurditas hidup manusia. Dalam rangkaian lima syair pendek ini, penyair mengajak kita untuk tidak hanya menjalani hidup, tetapi merenungkan mengapa dan untuk apa kita hidup.

Dengan kekuatan imaji dan kritik sosialnya, puisi ini mengejek sekaligus menyentuh, memberi ruang bagi pembaca untuk menertawakan dirinya sendiri sambil merenungi kekeliruan yang berulang dalam masyarakat.

Puisi Trisno Soemardjo
Puisi: Syair-Syair Kecil tentang Hidup
Karya: Trisno Soemardjo

Biodata Trisno Soemardjo:
  • Trisno Soemardjo (dieja Trisno Sumarjo) lahir pada tanggal 6 Desember 1916 di Surabaya.
  • Trisno Sumardjo meninggal dunia pada tanggal 21 April 1969 (pada usia 52 tahun) di Jakarta.
  • Trisno Sumardjo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 1945.
© Sepenuhnya. All rights reserved.