Lonceng
Detak celaka melangkah detik demi detik
Dan di wajah lonceng nasibku terbetik:
Titik mula sama dengan titik akhir,
Maju, namun melingkar dan bolak-balik
Wajahnya bulat dibentuk Waktu
Yang tak berujung, waktu berlalu
Siang-malam bunyinya tak henti-henti
"Tik-tok", satu-satu dan beribu-ribu
Kaukah yang mengetuk detik di dadaku,
Atau hatiku pindah dalam detakmu?
Terhambur daya-bunyinya hingga lebur:
"Tik-tok", seribu kali beribu-ribu?"
Ketahuilah aku tak hanya bunyi mati!
Biar kucolong bunyinya, namun hati
Punya hayat, punya haru baru yang bermutu
Begitu tegurku, tapi dia tak berhenti
Irama jahanamnya memancang paku
Dengan pukulan palu ke ulu kalbu,
Mengutuk hidupku, melecut kecutku:
"Tik-tok", satu-satu dan beribu-ribu
Tak hanya satu, tapi beribu kali
Kuputar pegasnya sebelum berhenti
Dan hiduplah benda mati tak berhenti
Untuk menjajah hidupku, sampai mati
Tapi apa dia tentang kesayangan,
Hati insan dan harapan dan kenangan?
Tapi dia pembawa dan wakil waktu,
Dan dalam waktu aku hanya bayangan!
Namun kuputar dia dengan setia,
Seolah tanpa dia hidupku sia-sia
Dan jarum lonceng memberiku petunjuk
Tentang umur pendek manusia
Jarum menyayat darah dan daging,
Detak-detiknya mendengking-dengking;
Sampai ke alam kekal ia mencengkam
Nyawa yang gugur dan terpelanting
Itulah kudengar tiap malam sepi,
Menanti amanat mahasakti
Jari telunjuk; geraknya tanpa henti:
"Tik-tok!", bunyi yang satu sejuta kali
September, 1960
Sumber: Horison (Juni, 1969)
Analisis Puisi:
Puisi "Lonceng" karya Trisno Soemardjo adalah sebuah karya yang menggambarkan kompleksitas waktu, nasib, dan keberlanjutan hidup manusia melalui gambaran tentang suara lonceng yang berdetak.
Simbolisme Lonceng: Lonceng dalam puisi ini adalah simbol yang kuat. Lonceng tidak hanya mewakili waktu yang terus berjalan tanpa henti, tetapi juga nasib dan keberlanjutan hidup manusia. Suara "Tik-tok" lonceng menciptakan perasaan rutinitas, repetisi, dan tak terelakkan yang menggambarkan perjalanan hidup.
Detik dan Waktu: Puisi ini berfokus pada konsep waktu. Detak lonceng yang tak henti-henti mencerminkan sifat terus-menerus waktu. Konsep waktu dalam puisi ini dapat diartikan sebagai nasib manusia yang tidak dapat dihindari dan selalu berulang.
Dua Aspek Hidup: Puisi ini menggambarkan dua aspek penting kehidupan manusia: waktu dan kehidupan manusia itu sendiri. Ada ketegangan antara detik-detik waktu yang berlalu dan kehidupan yang terus berjalan. Puisi ini mempertanyakan hubungan antara manusia dan waktu, serta bagaimana waktu memengaruhi nasib manusia.
Pertanyaan Eksistensial: Puisi ini mengajukan pertanyaan eksistensial tentang arti hidup dan tujuan manusia di dunia ini. Suara lonceng yang tak henti-henti dapat diartikan sebagai simbol ketidakpastian dan kebingungan manusia dalam mencari makna hidup.
Kekuatan Simbolisme: Puisi ini menggunakan bahasa yang kuat dan simbolisme yang mendalam untuk menggambarkan tema-tema universal tentang waktu, nasib, dan kehidupan manusia. Melalui suara lonceng yang berdetak, puisi ini menciptakan atmosfer yang mencekam dan reflektif.
Puisi "Lonceng" karya Trisno Soemardjo merupakan karya sastra yang memprovokasi pemikiran tentang waktu, nasib, dan eksistensi manusia. Penyair berhasil menciptakan gambaran yang kuat dan menyentuh tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan waktu dalam perjalanannya melalui kehidupan.
Puisi: Lonceng
Karya: Trisno Soemardjo
Biodata Trisno Soemardjo:
- Trisno Soemardjo (dieja Trisno Sumarjo) lahir pada tanggal 6 Desember 1916 di Surabaya.
- Trisno Sumardjo meninggal dunia pada tanggal 21 April 1969 (pada usia 52 tahun) di Jakarta.
- Trisno Sumardjo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 1945.