Ketemu Gus Dur
Baru saja aku dipindahkan dari brankar ke ranjang di
ruang gawat darurat RS Harapan Kita Jakarta
Presiden tiba sambil mengacungkan salam
Yang tak aku lepas sampai berpisah.
Sambil bersalaman kataku padanya
"Gus Dur,
bangsa kita hanya kenal presiden
seperti maharaja
seperti kaisar
seperti diktator dengan atribut di bahu dan dada
biar kelihatan angker dan perkasa."
"Gus Dur,
bangsa kita ini, birokrat dan aparat terutama
pada kagok ketika tiba-tiba
ada kiayi jadi presiden
begitu sulit mereka mentransformasi pikiran
atau sama sekali tidak mau
karena sudah beku."
"Gus Dur,
bahwa bangsa ini yang mayoritas muslim
lupa pada perjalanan sejarah dan agama kita
bahwa ada khalifah seperti Harun al Rasyid
secara inconigto menemui fakir miskin
untuk mengobat luka lara
bahwa ada khalifah seperti Umar bin Abdul Aziz
yang memadamkan lilin milik negara di ruang rapat kerja demi ada keluarga datang mengurus data pribadi."
Setelah presiden dan rombongan berlalu
tinggalah aku sendiri
dengan segala peragat medik pada tubuh
dan aku berkata dalam hati.
"Gus Dur,
bila ada tanggapan miring bahkan menolakmu
dari aparat dan birokrat maafkan saja, karena
wataknya memang cecunguk bergaji kecil
namun berezki segunung ledang
yang selalu bersumpah jabatan Demi Allah
untuk diingkari lagi."
Sumber: Dermaga Lima Sekoci (2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Ketemu Gus Dur" karya A.A. Navis menyajikan pertemuan penyair dengan Presiden Abdurrahman Wahid, atau yang lebih akrab disapa Gus Dur.
Perspektif Terhadap Presiden: Puisi ini memberikan pandangan kritis terhadap persepsi umum masyarakat terhadap seorang presiden. Navis menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia cenderung mengenal presiden sebagai figur yang angker, seperti maharaja, kaisar, atau diktator dengan atribut kekuasaan.
Transformasi Pikiran dan Kebekuan Birokrasi: Penyair menyoroti kesulitan birokrat dan aparat dalam mentransformasi pikiran ketika seorang kyai menjadi presiden. Ada kekagokan dan kebekuan dalam menerima perubahan ini, yang menurut penyair mungkin disebabkan oleh kebekuan pikiran yang sudah terlanjur ada.
Referensi Sejarah dan Agama: Navis mengaitkan kepemimpinan Gus Dur dengan kisah-kisah sejarah Islam, mengacu pada khalifah seperti Harun al Rasyid dan Umar bin Abdul Aziz yang memiliki kepedulian terhadap fakir miskin dan menunjukkan integritas moral dalam kepemimpinannya.
Kritik terhadap Sikap Menolak: Penyair memberikan pesan bahwa sikap menolak atau meragukan Gus Dur mungkin disebabkan oleh watak cecunguk dan kecilnya gaji, namun juga menunjukkan ironi bahwa meskipun memiliki gaji kecil, mereka tetap bersumpah jabatan demi Allah, tetapi dapat mengingkari sumpah tersebut.
Ekspresi Hati Penyair: Terdapat ekspresi hati penyair yang tertinggal di ruang gawat darurat setelah pertemuan tersebut berakhir. Puisi mencerminkan penghargaan dan simpati penyair terhadap Gus Dur.
Gaya Bahasa yang Lugas: A.A. Navis menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana, tetapi mampu menggambarkan pemikiran dan pandangan kritisnya terhadap kepemimpinan Gus Dur.
Puisi ini menggambarkan sosok Gus Dur dari perspektif yang berbeda dan memberikan pesan tentang transformasi pikiran dan perjuangan yang dihadapi oleh seorang pemimpin yang dianggap tidak konvensional.
Puisi: Ketemu Gus Dur
Karya: A.A. Navis
Biodata A.A. Navis:
- A.A. Navis (Haji Ali Akbar Navis) lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 November 1924.
- A.A. Navis meninggal dunia di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 22 Maret 2003 (pada usia 78 tahun).
- A.A. Navis adalah salah satu sastrawan angkatan 1950–1960-an.