Analisis Puisi:
Puisi “Lagu Sepi” karya Gunoto Saparie merupakan salah satu karya lirikal yang memadukan antara kesedihan, kerinduan, dan perenungan terhadap kehilangan. Melalui bahasa yang sederhana tetapi sarat makna, penyair mengekspresikan suasana batin seseorang yang terjebak dalam kesepian setelah ditinggal oleh sosok yang dicintai—entah karena kematian atau perpisahan yang tak dapat dihindari.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesepian dan kerinduan setelah kehilangan. Puisi ini menggambarkan kondisi batin seseorang yang masih dibayangi kenangan masa lalu dan tidak mampu melepaskan diri dari ingatan tentang kekasihnya. Kesepian bukan hanya menjadi suasana emosional, tetapi juga menjadi tempat bersandar—seakan penyair menjadikan “sepi” sebagai satu-satunya teman yang tersisa setelah kehilangan.
Tema ini kental dengan nuansa eksistensial: bagaimana manusia menghadapi kehilangan, kesunyian, dan keterikatan emosional terhadap masa lalu yang tak bisa diulang.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang kekasihnya yang telah tiada, dan dalam kesepian ia berusaha berdamai dengan perasaan kehilangan tersebut. Ia bersandar pada “sepi” dan “kabut”, dua simbol yang menggambarkan kekosongan dan ketidakpastian. Sosok “aku” dalam puisi terus dibayang-bayangi oleh kenangan akan aroma tubuh dan momen-momen intim bersama kekasih, yang kini hanya tersisa dalam ingatan.
Pengulangan hampir seluruh bait pertama di akhir puisi menegaskan bahwa sang tokoh tidak bisa keluar dari lingkaran kesedihan dan kenangan. Ia tetap terjebak dalam rindu yang tidak pernah usai.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang keterikatan manusia terhadap kenangan dan ketidakmampuannya melepaskan masa lalu. Kesepian bukan hanya akibat kehilangan orang yang dicintai, tetapi juga akibat tidak siap menghadapi kenyataan bahwa hidup terus berjalan meskipun seseorang telah tiada.
Ada juga makna spiritual tersirat di dalamnya—yakni kesadaran bahwa maut adalah batas mutlak yang memisahkan manusia dari dunia yang dicintainya. Namun, di sisi lain, cinta dan kenangan menjadikan kematian tidak benar-benar memisahkan, karena rasa rindu terus hidup dalam jiwa.
Baris “kenangan hanya berdebu” menyiratkan bahwa waktu perlahan-lahan mengaburkan segala hal yang dulu terasa hidup, namun bayangannya tetap ada—seperti debu yang menempel di permukaan ingatan.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah melankolis, sunyi, dan penuh duka rindu. Penyair menggambarkan kesepian dengan lembut, seolah rindu menjadi lagu yang terus diputar dalam kesunyian.
Suasana “kabut” menambah kesan suram dan misterius, menggambarkan kondisi batin yang tidak menentu antara keinginan untuk melupakan dan ketidakmampuan untuk benar-benar melepaskan.
Puisi ini terasa lirih, hening, dan personal—seperti monolog batin seseorang yang masih berbicara dengan bayangan kekasih yang telah pergi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang tersirat dalam puisi “Lagu Sepi” adalah bahwa setiap kehilangan meninggalkan ruang kosong yang tidak mudah diisi, tetapi kehidupan harus tetap dijalani meski dalam kesepian.
Penyair seakan ingin menyampaikan bahwa cinta sejati sering kali meninggalkan luka yang abadi, namun dari sanalah manusia belajar tentang arti keikhlasan.
Selain itu, puisi ini juga mengingatkan bahwa kenangan tidak bisa dihapus, tetapi bisa diterima sebagai bagian dari perjalanan hidup.
Sepi bukan kutukan, melainkan ruang untuk mengenali diri sendiri dalam sunyi yang paling dalam.
Imaji
Gunoto Saparie menggunakan imaji yang kuat untuk menyalurkan perasaan kesepian dan kerinduan. Imaji dalam puisi ini bersifat sensorik, terutama penciuman dan perasaan batin:
- “Semerbak aroma tubuhmu” → menghadirkan imaji penciuman, seolah sang penyair masih bisa mencium wangi tubuh kekasih yang telah pergi.
- “Aku pun bersandar pada sepi” → membangun imaji perasaan, menggambarkan seseorang yang secara emosional berlabuh pada kesunyian.
- “Aku pun bergantung pada kabut” → memberikan imaji visual yang menegaskan suasana hampa, samar, dan tak pasti.
- “Kenangan hanya berdebu” → menciptakan imaji visual dan simbolik, seakan kenangan yang dulu terang kini tertutup debu waktu dan kesedihan.
Melalui imaji-imaji ini, pembaca bisa merasakan kedalaman rindu dan kepedihan batin tokoh “aku” dengan nyata dan lembut.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas untuk memperkuat nuansa emosional dan makna simboliknya:
Personifikasi
- “Aku pun bersandar pada sepi” → Sepi diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa menjadi tempat bersandar.
- “Aku pun bergantung pada kabut” → Kabut seolah-olah menjadi tempat bergantung secara emosional.
Metafora
- “Kenangan hanya berdebu” → Debu menjadi metafora dari kenangan yang telah pudar, tertutup waktu, dan tak lagi seterang dulu.
- “Tetes maniku dalam rindu” → Dapat dimaknai sebagai metafora dari puncak keintiman dan perasaan mendalam yang kini hanya tersisa dalam ingatan.
Repetisi
- Pengulangan hampir seluruh bait pertama di akhir puisi menciptakan efek musikal dan memperkuat tema utama: kesepian yang berulang, kenangan yang tak kunjung padam.
Hiperbola
- “Tak dapat melupakanmu” → bentuk ekspresi yang dilebih-lebihkan untuk menunjukkan betapa dalam luka kehilangan itu.
Puisi “Lagu Sepi” karya Gunoto Saparie adalah nyanyian sunyi tentang kehilangan dan kerinduan yang abadi. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh daya imaji, penyair mengajak pembaca masuk ke ruang kesepian yang lembut namun dalam. Tema kesepian dan cinta yang tak terhapus oleh maut menjadi inti dari seluruh perenungan puisi ini. Di balik kesedihan yang dihadirkan, terselip pesan tentang keikhlasan menerima kehilangan, serta kesadaran bahwa rindu adalah bentuk keberlanjutan cinta di antara yang hidup dan yang telah tiada.
Gunoto Saparie berhasil mengolah kesunyian menjadi musik batin, menjadikan “Lagu Sepi” bukan hanya puisi tentang kehilangan, tetapi juga tentang bagaimana manusia belajar berdamai dengan kenangan.
Karya: Gunoto Saparie
BIODATA GUNOTO SAPARIE
Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
