Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Begitulah (Karya Sutan Iwan Soekri Munaf)

Puisi "Begitulah" karya Sutan Iwan Soekri Munaf bercerita tentang seorang tokoh lirik yang selalu menunggu setiap senja dengan secangkir teh.
Begitulah

Begitulah. Setiap senja aku selalu menunggu. Ditemani
secangkir teh dan membebaskan diri dari kejaran waktu. Di sini
tidak ada negosiasi — Boleh terjadi transaksi demi transaksi
mengoyak-ngoyak kehidupan. Biarkan di lapangan terjadi
Bukan di sini!
Begitulah. Setiap senja aku selalu menunggumu. Menatap
ke kolam kecil dengan riak air di beranda. Senyap
Kini segala topeng lepas. Kita bisa bicara
Apa saja. Tanpa tema tanpa paksa
Namun langkah belum juga sampai...
Begitulah. Ditemanimu — Makan siang — melupakan sangsai
karena melahap kesempatan yang datang menggoda
Kita duduk dan kau mengemil emping. Cuma mata
banyak berkata. Kita bukan siapa-siapa
Sebab hari tidak pernah akan kembali,
begitu kan? Menatapmu —Sambil mencuri-curi dari balik menu
seperti remaja cinta pertama mau bercumbu
Padahal kita manusia perkasa yang bisa menghitung
rugi-laba sampai ke masa datang
dan selalu tepat mengambil risiko. Berani
Begitukah? Secangkir teh semakin dingin. Langkahmu belum
terdengar. Ikan mas di kolam beranda sudah enggan menari
Aku masih menunggu. Menunggumu.

Cililitan Kecil, 25 Oktober 1994

Sumber: Horison (Maret, 2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Begitulah" karya Sutan Iwan Soekri Munaf adalah sebuah perenungan yang puitis, menghadirkan suasana personal antara penantian, percakapan batin, dan refleksi tentang waktu. Melalui larik-larik yang sederhana namun penuh makna, penyair membangun nuansa intim dan sekaligus kritis terhadap kehidupan modern yang penuh transaksi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penantian dan refleksi atas kehidupan. Di satu sisi, penyair menyoroti penantian personal yang sarat rasa rindu, di sisi lain juga menyinggung kerasnya kehidupan dunia luar yang penuh dengan transaksi, negosiasi, dan perhitungan untung-rugi.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang selalu menunggu setiap senja dengan secangkir teh. Dalam penantian itu, ia merenungi kehidupan: tentang waktu yang tak bisa diulang, tentang cinta yang sederhana, hingga tentang dunia luar yang riuh oleh transaksi. Ada pertemuan yang dinantikan, namun tak kunjung tiba, sementara kehidupan terus berjalan.

Makna tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah bahwa hidup tidak hanya tentang transaksi, perhitungan untung-rugi, atau kesibukan duniawi. Ada ruang untuk keheningan, penantian, percakapan hati, dan cinta sederhana yang membuat manusia tetap utuh sebagai manusia. Puisi ini juga menyiratkan kerinduan dan kesadaran bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda, sehingga setiap momen kebersamaan menjadi sangat berharga.

Suasana dalam puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah hening, intim, dan sedikit melankolis. Ada keheningan senja, ada rindu yang mendalam, tetapi juga ada rasa getir karena langkah yang dinanti belum juga tiba. Pada saat yang sama, suasana reflektif juga hadir ketika penyair membandingkan kehidupan personal dengan riuhnya dunia luar.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa hidup perlu keseimbangan antara kesibukan dunia luar dengan ruang personal yang tenang. Penantian, cinta, dan kebersamaan adalah bagian penting dari hidup yang tak boleh dikalahkan oleh hiruk-pikuk transaksi kehidupan. Selain itu, puisi ini juga memberi pesan agar manusia tidak terjebak sepenuhnya pada perhitungan untung-rugi, karena ada hal-hal yang lebih bernilai dari sekadar materi.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat, misalnya:
  • Imaji visual: “menatap ke kolam kecil dengan riak air di beranda”, “ikan mas di kolam beranda sudah enggan menari”, “mata banyak berkata”. Gambaran ini memperkuat suasana hening dan intim.
  • Imaji perasaan: “secangkir teh semakin dingin”, “aku masih menunggu, menunggumu” membangun perasaan rindu dan getir dalam penantian.

Majas

Beberapa majas yang muncul antara lain:
  • Metafora: “topeng lepas” sebagai simbol hilangnya kepura-puraan ketika berada dalam keintiman.
  • Personifikasi: “ikan mas di kolam beranda sudah enggan menari” seolah-olah ikan memiliki kehendak seperti manusia.
  • Repetisi: pengulangan kata “begitulah” menjadi penegasan sekaligus mantra puitis untuk mengikat keseluruhan puisi.
  • Ironi: ketika digambarkan manusia sebagai “perkasa yang bisa menghitung rugi-laba” tetapi tetap rapuh dalam urusan penantian cinta.
Puisi "Begitulah" karya Sutan Iwan Soekri Munaf memperlihatkan kekuatan puisi dalam menggabungkan refleksi personal dengan kritik sosial. Penantian sederhana di senja hari menjadi titik tolak untuk merenungkan hidup, cinta, waktu, hingga kerasnya dunia luar. Dengan imaji yang kuat dan majas yang indah, puisi ini memberi pesan bahwa meski dunia sibuk dengan transaksi dan perhitungan, manusia tetap membutuhkan ruang hening, cinta, dan penantian untuk merasakan makna hidup yang sesungguhnya.

Puisi: Begitulah
Puisi: Begitulah
Karya: Sutan Iwan Soekri Munaf

Biodata Sutan Iwan Soekri Munaf:
  • Nama Sebenarnya adalah Drs. Sutan Roedy Irawan Syafrullah.
  • Sutan Iwan Soekri Munaf adalah nama pena.
  • Sutan Iwan Soekri Munaf lahir di Medan pada tanggal 4 Desember 1957.
  • Sutan Iwan Soekri Munaf meninggal dunia di Rumah Sakit Galaxy, Bekasi, Jawa Barat pada hari Selasa tanggal 24 April 2018.
© Sepenuhnya. All rights reserved.