Puisi: Seratus Hari Pembunuhan oleh Gestapu (Karya Mochtar Lubis)

Puisi "Seratus Hari Pembunuhan oleh Gestapu" mengungkapkan tentang peristiwa tragis yang melibatkan Lobang Buaya dan peristiwa pembunuhan Ade Irma ...
Seratus Hari Pembunuhan oleh Gestapu


Kini cahaya malam lembut perak
Dan bisikan angin dari gunung-gunung
Ciuman bintang berkeliaran di cakrawala
Putih perak batu-batu nisan
Dan doa ayah, ibu, anak, istri dan kawan
Tidurlah, tidur, ayah, suami, dan kawan
Senyumlah di pangkuan Tuhan mereka yang mati
Bahagialah arwah sunting melati Illahi
Seratus hari kami kalian tinggalkan
Dengarlah kini derap langkah pemuda
Sorak-sorai perjuangan rakyat
Mahasiswa, prajurit, buruh dan tani,
Kami tak lupa kan darah kalian
Darah merah.
Membasuh takut gelap
Dengar, dengarlah rakyat berteriak,
Menuntut hak dan Keadilan
Janji dan mimpi harapan
menebus darah dan korban
Janji dan mimpi harapan
menebus darah dan korban
Janji kami seratus hari yang lalu,
Dalam darah yang sudah mati
Kini cahaya malam lembut perak
bisikan angin dari gunung-gunung
Ciuman bintang berkelipan di cakrawala
Putih perak batu-batu nisan
Dan ayah, ibu, anak, istri dan kawan, berdoa
Bahagialah arwah di hadirat Illahi
pembunuh-pembunuh di malam gelap


16 Januari 1966

Sumber: Catatan Subversif (1980)

Keterangan di bawah sajak:
Sajakku untuk korban-korban Lobang Buaya dan Ade Irma Nasution.

Analisis Puisi:
Puisi "Seratus Hari Pembunuhan oleh Gestapu" karya Mochtar Lubis adalah ungkapan tentang peristiwa tragis yang terjadi pada peristiwa Gestapu yang melibatkan Lobang Buaya dan peristiwa pembunuhan Ade Irma Nasution di Indonesia. Mochtar Lubis mengungkapkan empati dan kesedihan atas kehilangan korban melalui puisi yang kuat ini.

Gambaran Alam dan Kematian: Puisi ini membawa pembaca ke dalam suasana alam yang tenang: "Kini cahaya malam lembut perak, bisikan angin dari gunung-gunung". Namun, gambaran alam yang tenang ini bersentuhan dengan kenyataan kekerasan dan kematian dengan "Putih perak batu-batu nisan" yang menghadirkan bayangan korban.

Ungkapan Kesedihan: Penulis menyampaikan pesan kesedihan dan kehilangan atas kematian korban dengan "Bahagialah arwah sunting melati Illahi" dan "Tidurlah, tidur, ayah, suami, dan kawan". Pesan ini menciptakan atmosfer duka yang dirasakan oleh kerabat dan orang-orang terdekat korban.

Pemulihan dan Tuntutan Keadilan: Puisi ini juga menyuarakan tuntutan akan keadilan dengan "Dengar, dengarlah rakyat berteriak, Menuntut hak dan Keadilan". Pesan ini menyoroti aspirasi untuk membawa keadilan bagi korban serta memberikan mereka penghormatan dan perasaan perdamaian.

Simbolisme Darah: "Darah merah. Membasuh takut gelap" bisa menjadi simbol bagi pengorbanan dan keberanian para korban, serta kekuatan dalam menghadapi ketakutan dan kegelapan.

Puisi "Seratus Hari Pembunuhan oleh Gestapu" karya Mochtar Lubis adalah ungkapan empati, kesedihan, dan tuntutan akan keadilan bagi para korban peristiwa tragis tersebut. Melalui puisi ini, Lubis mengingatkan akan kehilangan yang dirasakan oleh kerabat korban, serta aspirasi akan keadilan bagi mereka. Puisi ini memberikan suara bagi orang-orang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi para korban, sambil mengingatkan akan konsekuensi tragis dari kekerasan politik.

Mochtar Lubis
Puisi: Seratus Hari Pembunuhan oleh Gestapu
Karya: Mochtar Lubis

Biodata Mochtar Lubis:
  • Mochtar Lubis adalah salah satu penulis puisi, novel, cerpen, penerjemah, pelukis, dan sekaligus jurnalis ternama.
  • Mochtar Lubis lahir pada tanggal 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat.
  • Mochtar Lubis meninggal dunia pada tanggal 2 Juli 2004 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.