Puisi: Pasar Minggu, Mei 1998 (Karya Rayani Sriwidodo)

Puisi "Pasar Minggu, Mei 1998" karya Rayani Sriwidodo menghadirkan citra-citra yang kuat dan menggambarkan suasana ketidakamanan dan kepanikan ....
Pasar Minggu, Mei 1998

Lewat jendela kamar
kulihat Pasar Minggu limbung
tercekik asap membubung

Aku baru keluar dari BNI
jalanan mirip tali nilon, terasa mendadak meregang-tegang
meski belakangan ini makin gencar desas-desus
tak terbayangkan mencemaskan begini

mampir di warung gado-gado tepi Jalan Ragunan
Mpok Odah langsung nyerocos berita hari ini
tentu sambil mengulek satu porsi:
Ramayana, Robinson, Matahari, Borobudur, semua mall tutup
bergegas menyusul Danamon, BCA, BRI
entah BNI berani amat masih buka sendiri

Perkiraanku tak separah PRRI, masa perang saudara cukup kelam
di kotaku Padangsidempuan empat puluh tahun silam
tak bakal pernah menyamai G30S, ketegangan paling hitam
tiga puluh tiga tahun lalu di kotaku Medan

Namun, belum seperempat porsi gado-gado Mpok Odah tertelan
nafsu makan mendadak hilang
bus-bus rombeng, oplet-oplet butut mendadak menekan rem
berjeritan, bertabrakan, kepentingan pribadi di atas semua pakem
seperti dapat satu komando, semua balik arah buru-buru urung
masuk terminal Pasar Minggu

aku gelisah diterpa firasat buruk luar biasa
Mpok Odah menenangkan, lugu tapi satria:
Rumah saya di balik bengkel sepeda itu, Bu
kita mengungsi ke sana saja, jangan ragu
Padahal rumahnya berdinding gedek
gentengnya siap terjungkir ke selokan becek
padahal desas-desus marak bagai api melalap gelaga
para demonstran mengacungkan sembarang senjata
beringas, kuda bertanduk pedang bermata ganda

Sebelum wajah saya mengkeret bagai topeng karet
aku pamit pada Mpok Odah
bersamaan segerombol demonstran meradak ke depan
dari sebuah truk depan Robinson mereka diturunkan

seolah siap mengencingi mall yang mendadak sesepi makam
bagai siap perang, mereka langsung bertebaran

Ingin rasanya sembunyi
dan pemandangan sembilu menyentak ini:
wajah serigala menuntut dendam
yang taring-taringnya tumbuh diam-diam
di balik 30 tahun sekam stabilitas
membuat semua menahan nafas

Anak bangsakukah itu yang mengangkangi jalanan?
begitu merah pancar matanya
siap memuncratkan api dari kawah angkara sangat dalam
di tubuh muda yang seharusnya mawar di subuh temaram

Aku terjingkat-jingkat pulang
menerobos gelombang manusia yang bingung tanpa angkutan
bus-bus rombeng dan oplet-oplet butut jadi semahal impian
bersamaan dengan menularnya rasa curiga
siapakah kau, siapakah dia

Tiba di rumah
bukan tiba untuk istirah
serangan teror memuncak
saat seluruh Jakarta meronta
tak sejengkal langit tersisa putih
demi menjatuhkan seorang raja
yang di mata rakyatnya
telah lama telanjang dan baju kebesarannya
raja yang tidak arif kapan paling tepat memutuskan 'titik'
bintang yang tidak peka kapan turun panggung secara simpatik

Lewat jendela kamar
kulihat Pasar Minggu limbung
tercekik dikepung asap membubung

Condet, Oktober 1998

Sumber: Selendang Pelangi (2006)

Analisis Puisi:

Puisi "Pasar Minggu, Mei 1998" karya Rayani Sriwidodo adalah sebuah karya yang menggambarkan peristiwa tragis yang terjadi pada bulan Mei 1998 di Jakarta. Dengan nada puitis, penyair menyampaikan kegelisahan batin dan kepanikan yang melanda kota.

Deskripsi Visual Pasar Minggu dan Kondisi Jalanan: Penyair membuka puisi dengan deskripsi visual Pasar Minggu yang "limbung" dan tercekik oleh asap. Gambaran ini menciptakan atmosfer yang gelap dan penuh tekanan. Jalanan yang "mendadak meregang-tegang" menggambarkan keadaan yang mendesak dan tidak pasti.

Ketegangan dalam Keseharian: Dengan menggambarkan jalanan yang "mirip tali nilon," penyair menciptakan gambaran tentang ketegangan dan keseharian yang menjadi rapuh. Desas-desus yang "makin gencar" menunjukkan ketidakpastian dan kecemasan yang melanda.

Gado-Gado Mpok Odah sebagai Medium Informasi: Warung gado-gado Mpok Odah menjadi medium tempat berkumpul dan berbagi informasi. Dialog di warung tersebut memberikan gambaran tentang cepatnya perkembangan situasi dan kekhawatiran yang muncul.

Demonstrasi dan Gelombang Kerusuhan: Deskripsi demonstrasi dan gelombang kerusuhan menghadirkan gambaran kekacauan dan ketidakamanan di Jakarta. Puisi merinci penurunan para demonstran dari truk dan suasana yang tampak siap "mengencingi mall."

Perasaan Gelisah dan Firasat Buruk: Penyair menyampaikan perasaan gelisah dan firasat buruk yang dirasakannya. Meskipun awalnya mencoba untuk menghindari ketegangan, kehadiran demonstran dan suasana yang mengancam menciptakan ketidaknyamanan yang mendalam.

Wajah Serigala sebagai Simbol Kemarahan: Deskripsi wajah serigala yang merah pancar matanya menjadi simbol kemarahan dan kekejaman. Serigala yang menuntut dendam menciptakan gambaran mengerikan yang meresap dalam peristiwa ini.

Tema Kemarahan terhadap Pemimpin: Puisi mengeksplorasi tema kemarahan terhadap pemimpin yang dianggap telanjang dan kehilangan kebesaran. Keputusan pemimpin yang dianggap tidak bijaksana mengundang kemarahan rakyat, dan suasana chaos pun meletus.

Ketidakpastian dan Keputusasaan: Dengan menggambarkan Jakarta yang meronta, langit yang tidak putih, dan serangan teror yang memuncak, puisi menciptakan atmosfer ketidakpastian dan keputusasaan. Semua ini merujuk pada peristiwa tragis yang terjadi pada bulan Mei 1998.

Repetisi Pemandangan Pasar Minggu: Puisi ditutup dengan repetisi pemandangan Pasar Minggu yang limbung dan tercekik oleh asap, memberikan kesan siklus yang terus-menerus dari ketidakpastian dan kegelisahan.

Puisi "Pasar Minggu, Mei 1998" karya Rayani Sriwidodo merupakan karya yang menghadirkan citra-citra yang kuat dan menggambarkan suasana ketidakamanan dan kepanikan selama peristiwa tragis Mei 1998 di Jakarta. Dengan bahasa yang puitis, puisi ini menyampaikan tidak hanya kekacauan fisik, tetapi juga kegelisahan dan rasa keputusasaan di dalam batin masyarakat yang mengalaminya.

Rayani Sriwidodo
Puisi: Pasar Minggu, Mei 1998
Karya: Rayani Sriwidodo

Biodata Rayani Sriwidodo:
  • Rayani Lubis lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, pada tanggal 6 November 1946.
  • Rayani Lubis meniadakan marga di belakang nama setelah menikah dengan pelukis Sriwidodo pada tahun 1969 dan menambahkan nama suaminya di belakang namanya sehingga menjadi Rayani Sriwidodo.
© Sepenuhnya. All rights reserved.