Analisis Puisi:
Puisi "Pantai" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan keindahan alam pantai sekaligus menyampaikan pesan tentang eksistensi manusia dalam harmoni dengan alam. Dengan penggunaan imaji yang kuat dan bahasa yang sederhana namun mengesankan, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kebesaran alam dan refleksi diri.
Tema dan Pesan
Puisi ini mengeksplorasi tema alam dan eksistensi manusia di dalamnya. Melalui gambaran ombak yang mendesir, pantai yang luas, dan angin yang mengembara, Gunoto Saparie menghadirkan alam sebagai pemandangan yang megah dan penuh kehidupan. Tema kesendirian dan keheningan juga tersirat dari gambaran pantai yang sunyi namun penuh jejak kaki.
Gaya Bahasa dan Imaji
Gaya bahasa dalam puisi ini sederhana namun penuh makna. Misalnya, "ombak mendesir membereskan dukamu / dan menyeret gelisahmu ke tepi" menggambarkan aksi alam yang menghibur dan meredakan kegelisahan manusia. Imaji seperti "seribu jejak kaki" di pasir dan "seribu impian terluka" di cakrawala menggambarkan keberadaan manusia dalam konteks luasnya alam semesta.
Struktur dan Ritme
Puisi ini memiliki struktur yang singkat dan padat dengan dua bait yang terdiri dari kalimat-kalimat pendek. Ritme puisi ini mengalir dengan lancar, menciptakan kesan aliran yang tenang seperti air pantai yang membasahi tepiannya. Pilihan kata yang tepat membantu menciptakan atmosfer yang sesuai dengan gambaran alam yang diusung oleh puisi ini.
Makna dan Interpretasi
Interpretasi dari puisi ini dapat beragam tergantung pada pengalaman dan perspektif pembaca. Secara umum, "Pantai" mengajak pembaca untuk merenungkan tentang hubungan manusia dengan alam dan betapa kehadiran alam dapat memberikan kedamaian dan introspeksi. Ombak yang mendesir dan jejak kaki di pasir menjadi simbol keberadaan manusia yang sementara di hadapan keabadian alam.
Puisi "Pantai" karya Gunoto Saparie adalah sebuah puisi yang menghadirkan keindahan alam pantai dalam gambaran yang sederhana namun dalam. Dengan menggunakan bahasa yang padat dan imaji yang kuat, puisi ini berhasil menciptakan atmosfer yang menenangkan dan mengundang pembaca untuk merasakan kehadiran alam secara langsung. Pesan tentang ketenangan, refleksi diri, dan kehidupan manusia dalam konteks yang lebih luas tersirat dalam setiap baris puisi ini.
Dengan demikian, "Pantai" tidak hanya menggambarkan pemandangan alam, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan keindahan sederhana namun mendalam dari pantai sebagai cerminan kehidupan dan keberadaan manusia di dunia yang luas ini.
Karya: Gunoto Saparie
BIODATA GUNOTO SAPARIE
Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.