Puisi: Memandang Anak-Anak Tak Bersepatu (Karya Wahyu Prasetya)

Puisi "Memandang Anak-Anak Tak Bersepatu" karya Wahyu Prasetya menyoroti isu sosial yang penting tentang kesenjangan ekonomi dan kehidupan yang ...
Memandang Anak-anak Tak Bersepatu


hanya matahari yang tumbuh di telapak kaki kecil itu
menuju sekolah atau tempat ibadah,
kerikil menjelma kudis dan kulit yang retak

siapakah ayah ibuku selain peluh yang berterjunan,
memandang anak-anak berjalan dan berlarian
aku teringat pada nafas sepatu mereka yang hilang
tapi musim demi musim, telah menjalin kekuatan,

siapakah kalian, berkejaran dalam rongga dadaku,
seperti terus mengejar layang-layang atau anak burung
menghentak dalam tidurku, menerobos impian dan cintaku.

teringat masa kecil, ketika sepatu menjadi hiasan etalase
dan khayalan dalam komik,
kini kujumpai lagi diriku bersama mereka yang tergelak,
dalam tangis yang ditidurkannya.
kubayangkan pecahan gelas dan duri peradaban di kaki
telanjang,
betapa pedih saat urat itu tersayat lagi. berdarah lagi,
menetes airmata yang sengaja kuberikan pada
tanah lapang yang gersang,

hanya matahari yang tumbuh di antara jejak mereka
anak-anakku yang berhamburan mengejar-ngejar esok harinya.


Sumber: Sesudah Gelas Pecah (1996)

Analisis Puisi:
Puisi "Memandang Anak-Anak Tak Bersepatu" karya Wahyu Prasetya adalah sebuah karya yang memperlihatkan perasaan dan pemikiran penyair tentang anak-anak yang hidup dalam kondisi sulit, khususnya mereka yang tak memiliki sepatu.

Simbolisme Matahari dan Sepatu: Puisi ini menggunakan simbolisme yang kuat. Matahari, yang tumbuh di telapak kaki anak-anak, melambangkan harapan dan kekuatan yang muncul di tengah kesulitan. Sebaliknya, sepatu mewakili kekayaan, aksesibilitas, dan priviledge yang dimiliki oleh beberapa orang.

Kesulitan dan Kehidupan Sehari-hari: Puisi ini menggambarkan kehidupan sehari-hari anak-anak yang berjuang karena tak memiliki sepatu. Mereka berjalan di atas kerikil dan kulit yang retak, mencerminkan kondisi jalanan yang keras dan kulit kaki yang kasar akibat paparan cuaca dan lingkungan yang keras.

Perasaan Tidak Diketahui: Penyair menggambarkan rasa penasaran tentang kehidupan anak-anak itu, termasuk hubungan mereka dengan orangtua atau keluarga mereka. Kapan terakhir kalinya sepatu menjadi hiasan etalase dalam hidup mereka?

Perbandingan Masa Kecil dan Masa Kini: Puisi ini menggambarkan perbandingan antara masa kecil penyair, di mana sepatu digambarkan sebagai hiasan dan khayalan dalam komik, dengan masa kini, di mana ia bertemu dengan anak-anak yang tak memiliki sepatu. Ini menciptakan perasaan rindu dan perbandingan tentang perbedaan dalam kualitas hidup mereka.

Kekuatan dan Perasaan Empati: Puisi ini menciptakan perasaan kekuatan dan empati terhadap anak-anak yang hidup dalam kondisi sulit. Penyair memandang mereka dengan rasa simpati, merasakan kepedihan mereka, dan merenungkan pengalaman mereka yang berusaha mengejar masa depan yang lebih baik.

Puisi "Memandang Anak-Anak Tak Bersepatu" menyoroti isu sosial yang penting tentang kesenjangan ekonomi dan kehidupan yang keras yang dialami oleh anak-anak yang kurang beruntung. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan dan mengambil tindakan dalam rangka menciptakan perubahan positif dalam kehidupan anak-anak yang hidup dalam kondisi serupa.

Wahyu Prasetya
Puisi: Memandang Anak-Anak Tak Bersepatu
Karya: Wahyu Prasetya

Biodata Wahyu Prasetya:
  • Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto (akrab dipanggil Pungky) lahir pada tanggal 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur.
  • Wahyu Prasetya meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2018 (pada umur 61).
© Sepenuhnya. All rights reserved.