Puisi: Melukis Hujan (Karya Kurnia Effendi)

Puisi Melukis Hujan karya Kurnia Effendi adalah refleksi mendalam tentang pencarian spiritual dan hubungan antara manusia dan Tuhan.
Melukis Hujan

Tuhan, ajari aku melukis hujan
Garis basah pada latar akuarel
Titik yang memanjang dari ujung jari-Mu menuju bumi
Setrum cinta yang murni

Bingkai lanskap, batas yang lepas dari perangkap
Cahaya luntur dalam tekstur kelabu
Kasih yang tercurah menanggung hujah
Kanvas ini lumut, seolah hujan mengawali kiamat

Tuhan, kupasang di mana lukisan hujan ini?
Horison leleh menyeduh hasrat manusia
Hanyut harapan ke muara menjelma genangan pikiran
Mengubah anugerah menjadi keluh kesah, rahmat menghimpun
kesumat

Hujan, ajari aku melukis Tuhan

Jakarta, 2014

Sumber: Hujan, Kopi, dan Ciuman (2017)

Analisis Puisi:

Puisi Melukis Hujan karya Kurnia Effendi menawarkan pembaca sebuah perjalanan puitis yang mendalam tentang hubungan antara manusia dan Tuhan melalui fenomena hujan. Dengan bahasa yang indah dan simbolisme yang kuat, puisi ini menggambarkan kerinduan penulis untuk memahami dan melukis kehadiran Tuhan dalam bentuk hujan, sebagai simbol kasih dan kehidupan.

Penggambaran Hujan sebagai Simbol

Di awal puisi, penulis meminta Tuhan untuk mengajarinya melukis hujan, yang diibaratkan sebagai “garis basah pada latar akuarel.” Hujan di sini tidak hanya dianggap sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai simbol dari kasih sayang Tuhan. Garis basah tersebut melambangkan aliran cinta yang menghubungkan langit dan bumi. Penggunaan istilah “setrum cinta yang murni” mengisyaratkan bahwa hujan merupakan sumber kehidupan yang membawa kedamaian dan harapan.

Kontras Antara Kehidupan dan Kematian

Di bait berikutnya, penulis menyentuh tema yang lebih berat dengan menyebutkan “kanvas ini lumut, seolah hujan mengawali kiamat.” Kalimat ini menciptakan citra kontras antara kehidupan yang subur dan kematian yang suram. Hujan, yang seharusnya menjadi anugerah, digambarkan juga sebagai awal dari kehancuran. Ini mencerminkan kerentanan manusia dalam menghadapi siklus kehidupan yang tak terhindarkan.

Pertanyaan Eksistensial

Puisi ini juga menggambarkan keraguan dan pencarian makna yang mendalam. Penulis bertanya, “kupasang di mana lukisan hujan ini?” Ini menunjukkan perasaan ketidakpastian dan kerinduan untuk menemukan tempat yang tepat dalam hidup. Pertanyaan ini mencerminkan kekhawatiran akan masa depan dan bagaimana seseorang dapat mengatur harapan dan doa di tengah kebingungan dan kesedihan.

Hujan sebagai Metafora untuk Pembelajaran

Di akhir puisi, penulis kembali meminta hujan untuk mengajarinya melukis Tuhan. Ini menunjukkan bahwa melalui pengalaman dan refleksi terhadap hujan, penulis berharap dapat memahami keberadaan dan kasih Tuhan lebih baik. Hujan menjadi simbol dari perjalanan spiritual yang berkelanjutan, di mana penulis tidak hanya mencari jawaban, tetapi juga merangkul proses belajar itu sendiri.

Puisi Melukis Hujan karya Kurnia Effendi adalah refleksi mendalam tentang pencarian spiritual dan hubungan antara manusia dan Tuhan. Hujan, sebagai simbol kehidupan dan cinta, sekaligus mengingatkan kita pada siklus kehidupan yang kadang membawa kebahagiaan dan kesedihan. Dalam karya ini, penulis menunjukkan bahwa melalui seni—dalam hal ini melukis—kita dapat mengungkapkan kerinduan dan pemahaman kita terhadap Tuhan, serta perjalanan kehidupan itu sendiri. Puisi ini mengajak kita untuk menghargai keindahan dan kompleksitas hidup, serta hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa melalui momen-momen sederhana seperti hujan.

Puisi: Melukis Hujan
Puisi: Melukis Hujan
Karya: Kurnia Effendi

Biodata Kurnia Effendi:
  • Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Oktober 1960.
© Sepenuhnya. All rights reserved.