Puisi: Tapak Mega Hanya Air Mata (Karya Pudwianto Arisanto)

Melalui puisi ini, Pudwianto Arisanto mengajak pembaca untuk tidak hanya menilai perubahan dari perspektif material, tetapi juga merenungkan dampak ..
Tapak Mega Hanya Air Mata

Kuta mengerat larut cinta, malam meliuk-liuk jeram, lentur
angin gencar berujar; lantai, keringat, dan erosi bunyi candu
desau nikotin loncat dari mulut Pecalang, mandi otak kecak
nyanyi-nyanyi whisky dengan geliat rasis muncul matang

bengis papan atas, demikian dinamit; diledakkan keluh lidah
dan hidup senewen, gelap mata, sirik; bicara teriak-teriak
jarak rentang daging tulang hangus lepas, semburat ganjil
kupikir lagi: tapak Mega hanya air mata, kumpulan dingin

Legian kisruh, bubrah. watak Dia, tegak tegangan
malu ditipu Bush. Nasirun hina, malang, sedih kutelan
mereka tawaria. lupa WTC, mimpi pedang Tabuk, remuk duri
Bali balik tempo doeloe, sepi sekarat, najis. terasa horror

atau ayah yang bajingan, bandit seks dalang panggung ini
begundal iblis, ifrit, roh-roh kiri, dan kepingan tahta lain itu
melambai getir, sungguh. juga segala pernik-pernik kata lenyap
kepincut kotoran Bule yang mencecap tandas ramuan Ibunda

Cimahi, 19/10/2002

Analisis Puisi:
Puisi "Tapak Mega Hanya Air Mata" karya Pudwianto Arisanto merupakan sebuah karya sastra yang sarat dengan kritik sosial dan refleksi mendalam terhadap kondisi sosial-politik dan budaya di Bali. Dengan menggambarkan kondisi perubahan yang terjadi, puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan dampak negatif dan dilema dalam perkembangan pulau ini.

Imaji dan Bahasa yang Kuat: Penyair menggunakan bahasa yang kaya dan imaji yang kuat untuk menggambarkan suasana Bali yang berubah. Pilihan kata-kata seperti "jeram, lentur, dan erosi bunyi candu" memberikan citra keadaan yang cenderung negatif dan penuh tantangan.

Metafora "Tapak Mega Hanya Air Mata": Judul puisi, "Tapak Mega Hanya Air Mata," menjadi metafora bagi dampak negatif dari perkembangan pariwisata dan modernisasi di Bali. "Air mata" di sini dapat diartikan sebagai konsekuensi sedih dan kehilangan yang muncul dari transformasi tersebut.

Kritik terhadap Perubahan Sosial: Penyair secara tajam mengkritik perubahan sosial yang terjadi di Bali. Referensi kepada tokoh-tokoh seperti Nasirun dan kejadian seperti peristiwa WTC (World Trade Center) menjadi simbol perubahan negatif yang merasuki Bali.

Perlawanan terhadap Imperialisme dan Globalisasi: Puisi ini menunjukkan perlawanan terhadap pengaruh imperialisme dan globalisasi yang dianggap merusak keaslian budaya Bali. Bahkan, ketidaktahuan mengenai peristiwa WTC dan merosotnya moral di Bali dianggap sebagai hasil tipu daya dari kekuatan luar.

Kritik terhadap Keberlanjutan dan Eksploitasi: Kritik terhadap "bajingan, bandit seks," dan referensi terhadap Bule sebagai sumber kemunduran, menyiratkan pandangan bahwa perkembangan pariwisata sering kali mengarah pada eksploitasi dan penyalahgunaan, khususnya terhadap budaya dan moral lokal.

Citra Kehancuran Budaya: Citra kehancuran dan kemandegan budaya Bali digambarkan melalui gambaran "horror" dan "tapak Mega." Perubahan ini menciptakan ketidakpastian dan ketakutan terhadap identitas budaya yang semakin memudar.

Penyadaran Akan Kerugian dan Kehilangan: Puisi ini menciptakan ruang untuk penyadaran akan kerugian dan kehilangan yang dialami Bali dalam menghadapi modernisasi. Sentimen sedih dan meratapi kondisi saat ini menjadi cermin dari keprihatinan akan perubahan tersebut.

Melalui puisi ini, Pudwianto Arisanto mengajak pembaca untuk tidak hanya menilai perubahan dari perspektif material, tetapi juga merenungkan dampak sosial, budaya, dan moral yang mungkin diabaikan dalam proses modernisasi.

Puisi: Tapak Mega Hanya Air Mata
Puisi: Tapak Mega Hanya Air Mata
Karya: Pudwianto Arisanto

Catatan:
  • Pudwianto Arisanto adalah penyair kelahiran Pasuruan.
  • Pudwianto Arisanto lahir pada tanggal 25 Juni 1955.
© Sepenuhnya. All rights reserved.