Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Senja Itu (Karya Aspar Paturusi)

Puisi "Senja Itu" karya Aspar Paturusi bercerita tentang sepasang manusia (atau satu tokoh yang mengenang sosok lain) yang berada dalam momen ...
Senja Itu

Senja itu bergeser pelan dan pasti
ketika kau tegak di puncak bukit
kau saksikan daun-daun berguguran
helai demi helai jatuh melayang

tak ada kata perpisahan, katamu
ada yang datang ada yang pergi
sudahlah, suaramu bergetar juga
biarkan takdir meletakkan jejak

Bukit itu kini sendirian
angin bertiup perlahan
burung melaju dan menukik
tak terdengar lagi siulmu

Jakarta, 2000

Analisis Puisi:

Aspar Paturusi, salah satu penyair Indonesia yang dikenal dengan gaya lirikal dan kontemplatifnya, menyampaikan pengalaman emosional yang dalam melalui puisi berjudul "Senja Itu." Dengan bahasa yang lembut dan naratif, puisi ini membawa pembaca ke dalam momen perenungan yang tenang namun sarat kehilangan. Kata-katanya tidak berteriak, tetapi menyusup perlahan, menyentuh kesadaran tentang waktu, takdir, dan kepergian.

Tema

Tema utama dalam puisi Senja Itu adalah kehilangan dan penerimaan. Puisi ini berbicara tentang sebuah perpisahan yang tidak dielu-elukan, tidak diwarnai tangisan dramatis, tetapi justru dibiarkan berjalan seperti senja: pelan, tenang, dan pasti. Ada juga nuansa kerelaan dan ketundukan terhadap takdir yang menyertai keheningan itu.

Puisi ini bercerita tentang sepasang manusia (atau satu tokoh yang mengenang sosok lain) yang berada dalam momen perpisahan, baik secara fisik maupun emosional. Setting puncak bukit menjadi tempat yang melambangkan ketinggian atau akhir dari sebuah perjalanan. Di sana, seseorang menyaksikan daun-daun berguguran—simbol waktu dan perubahan.

Kalimat "tak ada kata perpisahan, katamu / ada yang datang ada yang pergi" menunjukkan dialog batin yang mencoba menyederhanakan kehilangan, namun dalam baris berikutnya, "suaramu bergetar juga", tersirat bahwa upaya itu hanyalah kedok bagi kesedihan yang sebenarnya tak bisa dibendung.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kepergian dan pertemuan adalah bagian alami dari hidup, dan walau kita mencoba terlihat kuat, perasaan kehilangan tetap hadir dalam keheningan. Ada juga makna tentang bagaimana manusia, meski berdamai dengan takdir, tetap menyisakan jejak emosional yang tak bisa dihapus begitu saja.

Selain itu, puisi ini menyiratkan bahwa alam menjadi saksi bisu dari pengalaman batin manusia, dan dalam sunyi bukit, angin, dan burung, segala kenangan dan perasaan menemukan ruangnya.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah tenang, melankolis, dan reflektif. Tidak ada emosi yang meledak-ledak, namun ada kesedihan yang subtil, disampaikan melalui suasana alam: daun-daun berguguran, angin perlahan, burung yang menukik. Semua elemen ini menciptakan atmosfer perpisahan yang lembut namun menyayat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa kehidupan adalah rangkaian dari kedatangan dan kepergian, dan kita harus belajar menerimanya meski berat. Perpisahan bukan akhir segalanya, dan justru dalam keheningan serta kesendirian, kita bisa menemukan kedewasaan dan pemahaman akan takdir.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji visual dan atmosferik yang kuat:
  • "Senja itu bergeser pelan dan pasti" — membangkitkan imaji waktu yang bergerak tanpa bisa dihentikan.
  • "Daun-daun berguguran / helai demi helai jatuh melayang" — citraan alam yang melambangkan kehilangan atau perubahan secara perlahan.
  • "Bukit itu kini sendirian / angin bertiup perlahan / burung melaju dan menukik" — menggambarkan kesepian setelah seseorang pergi, sekaligus mengabadikan keheningan setelah momen emosional berlalu.

Majas

Puisi ini memanfaatkan sejumlah majas yang memperkaya maknanya, di antaranya:
  • Personifikasi: "senja itu bergeser pelan dan pasti" — senja digambarkan seolah makhluk hidup yang bisa bergerak dengan kehendaknya sendiri.
  • Metafora: "biarkan takdir meletakkan jejak" — takdir diperlakukan seperti entitas yang bisa membuat keputusan dan meninggalkan bekas.
  • Simbolisme: senja, bukit, daun, angin, dan burung semuanya menjadi simbol waktu, perpisahan, kesendirian, dan keheningan.
  • Repetisi halus: pengulangan kata-kata dengan nada reflektif, seperti "kau tegak," "kau saksikan," dan "katamu," menciptakan kedekatan emosional antara tokoh dalam puisi dan pembaca.
Puisi "Senja Itu" karya Aspar Paturusi adalah potret puitis tentang kepergian dan penerimaan. Dengan imaji alam yang kuat dan gaya bahasa yang lembut, puisi ini menyampaikan bahwa hidup adalah tentang mengikhlaskan, meski luka itu tetap terasa. Senja menjadi metafora waktu yang tak terelakkan, tempat di mana akhir dan awal bertemu. Dengan mengajak pembaca merenung di atas bukit, puisi ini menanamkan bahwa dalam sunyi dan kehilangan pun, ada keindahan dan kedewasaan yang bisa ditemukan.

Aspar Paturusi
Puisi: Senja Itu
Karya: Aspar Paturusi

Biodata Aspar Paturusi:
  • Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
  • Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.