Analisis Puisi:
Puisi "Lelaki Tua" karya Aspar Paturusi menggambarkan perjalanan hidup seorang lelaki tua yang merenungkan kenangan masa lalu di tepi pantai. Pantai, yang seringkali dijadikan simbol ketenangan dan refleksi, menjadi tempat bagi lelaki tua ini untuk menyelami makna kehidupan, penyesalan, dan harapan. Melalui gambaran tentang lelaki tua, pasir, dan ombak, puisi ini menyampaikan perasaan kesendirian, rasa rindu terhadap masa lalu, dan ketidakpastian di usia senja.
Kenangan Masa Lalu yang Hidup Kembali
Bagian pertama puisi, "lelaki tua itu berbaring di pasir putih / dia berguling-guling pada kenangan," menggambarkan lelaki tua yang terbaring di pantai, menyatu dengan pasir putih yang menjadi simbol kenangan masa lalu. Pasir putih ini berfungsi sebagai metafora untuk memori yang murni, namun juga rapuh, seperti halnya kenangan yang mudah terlupakan atau terkikis waktu. Gambarannya yang berguling-guling di pasir mencerminkan betapa ia terjebak dalam kenangan masa kanak-kanak yang penuh kebahagiaan. Kenangan itu menjadi tempat bersembunyi dari kenyataan hidup yang semakin mendekat, seiring bertambahnya usia.
Keriangan Masa Kanak-kanak yang Hilang
"dia tersenyum pada masa kanak-kanak / tak bosan bermain gundukan pasir," menunjukkan bagaimana lelaki tua ini menikmati kenangannya yang paling murni—masa kecil yang penuh dengan keriangan dan kebebasan. Masa kecil ini digambarkan dengan tindakan yang sederhana, seperti bermain dengan gundukan pasir, yang memberi gambaran tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan. Namun, kebahagiaan itu kini hanya tinggal kenangan yang membuatnya tersenyum sendiri, melamun tentang waktu yang telah berlalu dan tidak bisa kembali lagi.
Kehilangan dan Kerinduan terhadap Pantai dan Kenangan
Di baris "jauh sudah aku meninggalkanmu / pantai yang selalu penuh keriangan," terdapat perasaan kerinduan yang mendalam terhadap masa lalu yang tak akan pernah bisa diulang. Pantai, yang menjadi latar untuk kenangan bahagia itu, kini jauh tertinggal di belakang. Kata "jauh" menggambarkan betapa lama waktu berlalu dan betapa sulitnya untuk kembali ke masa lalu yang penuh keriangan itu. Rasa kehilangan ini semakin kuat dengan perasaan penyesalan karena tidak dapat membawa kenangan itu kembali ke dalam kehidupannya yang sekarang.
"harusnya kubawa segenggam pasir / kululurkan di hati, renung lelaki tua," melanjutkan perasaan rindu tersebut. Pasir yang dimaksudkan di sini tidak hanya sebagai objek fisik, tetapi sebagai simbol kenangan yang ingin dibawa sepanjang hidup. Pasir yang segenggam itu melambangkan memori yang ingin disimpan dalam hati. Lelaki tua ini berharap bisa mengabadikan kenangan masa kecil yang penuh keriangan dalam dirinya, seolah ingin membawa kenangan itu ke dalam hati, mengingatkannya pada kebahagiaan yang pernah ada.
Refleksi di Usia Senja: Keraguan dan Penyesalan
Pada bagian "dia tahu biru masih ada di langit / ombak masih berbuih putih," terdapat pengakuan bahwa meskipun alam tetap berlangsung seperti biasa, perubahan dalam diri lelaki tua itu tidak bisa dihindari. Langit yang biru dan ombak yang berbuih putih adalah gambaran dari ketenangan alam yang tetap abadi, namun bagi lelaki tua, hal tersebut tidak lagi menyentuh hatinya seperti dahulu. Ini menggambarkan ketidakharmonisan antara alam yang terus berjalan dan perasaan lelaki tua yang penuh keraguan.
Bagian terakhir, "namun kini di usia senja jadi ragu / mampukah hilang noda di putih hati," menyiratkan adanya kegelisahan dan keraguan pada diri lelaki tua ini. Noda dalam hati bisa diartikan sebagai penyesalan atau beban emosional yang terbentuk seiring perjalanan hidup. Di usia senja, lelaki tua ini meragukan kemampuannya untuk membersihkan dirinya dari penyesalan atau kesalahan masa lalu. Putih hati yang semula murni kini terkontaminasi oleh noda pengalaman hidup yang sulit dihapus.
Puisi "Lelaki Tua" karya Aspar Paturusi menggambarkan refleksi hidup seorang lelaki tua di tepi pantai, yang menyadari bahwa kenangan masa lalu—baik itu kebahagiaan, keriangan, atau bahkan penyesalan—sudah jauh tertinggal di belakang. Pantai, dalam puisi ini, berfungsi sebagai tempat untuk mengenang kembali masa kecil yang penuh kebahagiaan. Namun, waktu dan kenyataan kehidupan tidak bisa diputar kembali, dan lelaki tua ini harus menghadapi kenyataan bahwa segala sesuatu yang indah itu hanya bisa dikenang, bukan diulang.
Puisi ini menggugah perasaan pembaca untuk merenung tentang perjalanan hidup, kehilangan, dan penyesalan yang sering datang di usia senja. Ia juga mengingatkan kita akan nilai waktu dan betapa berharganya masa-masa indah yang sering kita lewatkan, hingga akhirnya kita menyadari bahwa waktu tidak bisa dikembalikan.
Karya: Aspar Paturusi
Biodata Aspar Paturusi:
- Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
- Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.