Puisi: Perang Nusantara (Karya Aspar Paturusi)

Puisi "Perang Nusantara" karya Aspar Paturusi menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga persaudaraan, menghormati martabat, dan mencari solusi ...
Perang Nusantara

ada saudara seiman
ada saudara serumpun
hidup di satu nusantara
pernah dijajah dua bangsa
puluhan tahun sudah merdeka
kini berdaulat di negaranya

entah siapa memulai
entah siapa tak tahu diri
entah nafsu serakah namanya
entah mewarisi mental penjajah
mereka berebut perbatasan
mereka berebut pulau
mereka berebut budaya leluhur

mereka saling memaki
mereka saling menghina
mereka saling merendahkan martabat
mereka kuburkan sikap hormat

bila ada yang terbangkan pesawat
jungkir balik di angkasa nusantara
lalu memuntahkan peluru kendali
maka dua negara itu terlibat perang
tak ada lagi saudara serumpun
tak ada lagi gaung saudara seiman
mereka pun diamuk bencana dan darah

ketika itu di mana pemimpin mereka
yang selalu tampil penuh citra
tapi di mana citra martabat bangsa
di mana bertahta daulat negara
runtuhlah tiang perkasa daulat rakyat

saat tembok negara retak-retak
lalu tiba-tiba berkobar pula perang
maka ikat pinggang yang kencang
dikencangkan lagi sekencang-kencangnya
bangsa ini sudah dari dulu tahan banting
bergumul derita demi derita
kenyang dengan musibah apa saja

perang, perang dan perang
inikah jalan terbaik?
ya Allah, betapa lemahnya kami
dalam merawat silaturrahim
betapa rendahnya kami
berhamba pada nafsu duniawi
berlupa pada nilai insani

ada saudara seiman
ada saudara serumpun
saudara senusantara
tegakah mereka berperang?

Jakarta, 3 September 2010

Analisis Puisi:

Puisi "Perang Nusantara" karya Aspar Paturusi menyajikan sebuah refleksi mendalam tentang konflik dan perpecahan yang terjadi di antara bangsa-bangsa yang seharusnya bersaudara dalam satu wilayah nusantara. Dalam karya ini, Aspar mengeksplorasi tema-tema tentang persaudaraan, perpecahan, dan kemerdekaan dengan nada yang kritis dan penuh kekhawatiran.

Tema dan Makna

  • Persaudaraan yang Terancam: Puisi ini menyoroti kontradiksi antara persaudaraan dan konflik. "Ada saudara seiman, ada saudara serumpun" menunjukkan hubungan erat yang seharusnya ada di antara bangsa-bangsa di nusantara. Namun, konflik dan perebutan yang digambarkan dalam puisi mengancam keharmonisan ini. Aspar menggambarkan bagaimana "mereka berebut perbatasan, mereka berebut pulau, mereka berebut budaya leluhur," yang menunjukkan betapa rapuhnya ikatan persaudaraan yang ada.
  • Dampak Penjajahan dan Mentalitas: Puisi ini juga mencerminkan dampak dari penjajahan yang masih terasa hingga saat ini. "Pernah dijajah dua bangsa" dan "entah mewarisi mental penjajah" menunjukkan bagaimana warisan kolonial masih memengaruhi perilaku dan hubungan antarbangsa di nusantara. Konflik yang terjadi seringkali merupakan hasil dari nafsu serakah dan ketidakmampuan untuk melupakan masa lalu.
  • Krisis Kepemimpinan: Aspar mengkritik kepemimpinan yang tidak mampu menjaga persatuan dan martabat bangsa. "Di mana pemimpin mereka yang selalu tampil penuh citra" menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemimpin yang tidak memenuhi janji mereka atau tidak mampu menjaga stabilitas dan keharmonisan. Ketika "tembok negara retak-retak" dan perang berkobar, kepemimpinan tampaknya gagal dalam perannya.
  • Pertanyaan Retoris tentang Perang: Puisi ini berakhir dengan pertanyaan yang menggugah: "Tegakah mereka berperang?" Aspar mempertanyakan apakah konflik dan perang adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Melalui refleksi ini, ia menyarankan bahwa perang bukanlah solusi dan menunjukkan kekesalan terhadap nafsu duniawi dan ketidakmampuan untuk merawat hubungan antarbangsa.

Gaya Bahasa dan Teknik

  • Bahasa Kritis dan Emosional: Aspar menggunakan bahasa yang kuat dan emosional untuk menyampaikan kritiknya. Frasa seperti "mereka saling memaki," "mereka kuburkan sikap hormat," dan "betapa lemahnya kami" menunjukkan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam terhadap situasi yang digambarkan dalam puisi.
  • Simbolisme dan Metafora: Puisi ini menggunakan simbolisme untuk menggambarkan keadaan konflik dan keharmonisan. Misalnya, "tembok negara retak-retak" dan "perang, perang dan perang" melambangkan keretakan dalam persatuan dan berlarut-larutnya konflik. Simbol-simbol ini memperkuat pesan tentang krisis yang sedang dihadapi.
  • Pertanyaan Retoris: Pertanyaan retoris digunakan secara efektif untuk menggugah pembaca dan memaksa mereka untuk merenungkan makna dan dampak dari perang. Dengan menanyakan "Tegakah mereka berperang?" Aspar mengajak pembaca untuk mempertimbangkan alternatif dan dampak dari konflik yang terjadi.

Makna dan Refleksi

  • Cermin Sosial dan Nasional: Puisi "Perang Nusantara" merupakan cermin dari keadaan sosial dan politik di nusantara. Aspar mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam mengenai bagaimana sejarah kolonial dan perilaku kontemporer memengaruhi hubungan antarbangsa. Puisi ini memberikan kritik tajam terhadap kekacauan yang terjadi dan menyerukan refleksi tentang nilai-nilai persaudaraan dan martabat.
  • Kesadaran dan Harapan: Di akhir puisi, Aspar mengungkapkan harapan bahwa bangsa-bangsa di nusantara dapat mengatasi konflik dan kembali ke nilai-nilai persaudaraan. Dengan menyoroti kelemahan dan kesalahan, ia berharap agar ada perubahan menuju pemulihan dan harmoni yang lebih baik.
Puisi "Perang Nusantara" karya Aspar Paturusi adalah sebuah karya yang mendalam dan reflektif, mengajak pembaca untuk memikirkan dampak dari konflik dan perpecahan di antara bangsa-bangsa yang seharusnya bersatu. Dengan menggunakan bahasa yang kritis dan simbolisme yang kuat, puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga persaudaraan, menghormati martabat, dan mencari solusi damai untuk konflik yang ada.

Aspar Paturusi
Puisi: Perang Nusantara
Karya: Aspar Paturusi

Biodata Aspar Paturusi:
  • Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
  • Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.