Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mudik ke Jakarta (Karya Aspar Paturusi)

Puisi "Mudik ke Jakarta" karya Aspar Paturusi bercerita tentang seorang lelaki Betawi yang “mudik” ke Jakarta, kota kelahirannya, dari tempat ...
Mudik ke Jakarta

ada keluarga betawi
mudik ke jakarta
gangnya juga berubah
tanah kosong dekat rumah
tertutup apartemen megah

"kok kamu kurusan" sahutku
"panas dan asap" jawabnya
lho kok, apa kaitannya
riau panas dan penuh asap

dia hanya mudik ke jakarta
dia akan balik ke pekanbaru
"asap moral jakarta lebih bahaya
udara politik bikin gerah
atas hingga bawah terus berantem"

lelaki betawi tinggalkan jakarta
dia pilih panas dan asap alam

Jakarta, 8 September 2011

Analisis Puisi:

Puisi "Mudik ke Jakarta" karya Aspar Paturusi menyuguhkan potret satiris tentang kondisi sosial dan moral Jakarta melalui lensa percakapan santai antara dua individu. Secara sepintas, puisi ini tampil ringan dan naratif, namun jika dicermati, ia mengandung kritik sosial yang tajam dan refleksi mendalam terhadap perubahan zaman serta arah peradaban. Lewat puisi ini, pembaca diajak menimbang ulang makna "kemajuan" dan "pilihan hidup" dalam hiruk-pikuk kota besar seperti Jakarta.

Tema

Puisi ini mengangkat tema kritik sosial dan pilihan moral. Aspar Paturusi menghadirkan kontras antara dua bentuk "asap": asap alam dari kebakaran hutan di Riau dan "asap moral" dari kerusakan etika di Jakarta. Tema ini menggambarkan dilema eksistensial masyarakat modern dalam memilih antara kenyamanan fisik dan integritas moral.

Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki Betawi yang “mudik” ke Jakarta, kota kelahirannya, dari tempat tinggalnya sekarang di Pekanbaru. Namun, ironi terletak pada kata “mudik”—biasanya bermakna kembali ke kampung halaman—karena dalam konteks ini Jakarta, kampung halamannya, telah banyak berubah dan tidak lagi menyenangkan. Gang-gang telah tertutup oleh apartemen mewah, dan udara politik di kota itu terasa lebih "gerah" daripada panas dan asap kebakaran hutan di Pekanbaru.

Dialog sederhana antara dua tokoh mengungkap ketegangan antara nostalgia dan kenyataan, serta keputusan personal yang menggambarkan pergeseran nilai: lelaki Betawi itu lebih memilih tinggal di tengah asap alam daripada kembali ke Jakarta yang dilanda "asap moral".

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah sindiran terhadap kondisi moral dan sosial Jakarta yang kian memburuk, meski secara fisik kota ini berkembang. Apartemen megah menggantikan ruang-ruang hidup rakyat kecil, dan konflik sosial-politik merajalela hingga "udara politik bikin gerah". Dalam diam, puisi ini mempertanyakan apa arti pembangunan jika tidak disertai dengan perbaikan moral dan keadilan sosial. Lebih jauh lagi, pilihan si tokoh untuk tetap tinggal di Riau mencerminkan suatu bentuk penolakan terhadap kemunafikan sosial dan hiruk-pikuk kekuasaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini bercampur antara satiris, getir, dan reflektif. Ada kesan nostalgia saat menggambarkan Jakarta tempo dulu, tetapi juga kegetiran ketika melihat perubahan yang tak lagi ramah bagi warganya. Dialog yang ringan justru menegaskan absurditas situasi—bagaimana kota besar yang seharusnya menjadi tempat harapan, justru ditinggalkan karena sesaknya moral dan politik.

Imaji

Puisi ini menampilkan imaji sosial dan visual yang kuat:
  • “Gangnya juga berubah / tanah kosong dekat rumah / tertutup apartemen megah” membentuk gambaran visual tentang gentrifikasi dan perubahan tata ruang kota.
  • “Panas dan asap” menjadi simbol penderitaan fisik yang nyata di Pekanbaru, namun juga menjadi pembanding untuk menggambarkan penderitaan moral di Jakarta.
  • “Udara politik bikin gerah” adalah imaji abstrak namun kuat, menyampaikan rasa muak terhadap atmosfer sosial-politik yang penuh konflik dan intrik.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkuat maknanya:
  • Ironi: Terlihat jelas dalam fakta bahwa seseorang mudik ke Jakarta, tapi justru lebih memilih tinggal di Riau yang secara harfiah panas dan berasap. Ini menyiratkan bahwa Jakarta, meskipun pusat peradaban, tidak lagi layak menjadi rumah.
  • Metafora: “Asap moral” dan “udara politik” merupakan metafora kuat untuk menggambarkan kerusakan etika dan tensi sosial yang membebani masyarakat Jakarta.
  • Sarkasme: Tersirat dalam pernyataan-pernyataan seperti "kok kamu kurusan" – "panas dan asap" – yang kemudian dibantah dengan logika yang jenaka namun tajam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan moral dari puisi ini adalah ajakan untuk menilai ulang makna kenyamanan, kemajuan, dan kampung halaman. Dalam dunia yang semakin hiruk-pikuk dan penuh pencitraan, kadang justru tempat yang secara fisik kurang ideal bisa menjadi rumah yang lebih manusiawi. Puisi ini juga menyentil pembaca agar lebih peka terhadap kerusakan sosial yang tidak kasat mata—seperti “asap moral”—yang jauh lebih merusak dibanding bencana alam.

Melalui puisi "Mudik ke Jakarta", Aspar Paturusi menghadirkan kritik sosial yang elegan dan bermakna. Gaya bertutur yang sederhana dan penuh ironi menjadikan puisi ini mudah dicerna, namun sarat makna. Dalam beberapa bait pendek, sang penyair berhasil menggambarkan kegelisahan terhadap perubahan kota, krisis moral, dan pentingnya memilih tempat tinggal bukan hanya karena fasilitas, tetapi juga karena nilai kemanusiaan. Puisi ini mengajak kita bertanya: apakah kota kita masih bisa disebut rumah?

Aspar Paturusi
Puisi: Mudik ke Jakarta
Karya: Aspar Paturusi

Biodata Aspar Paturusi:
  • Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
  • Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.