Puisi: Kata Pengantar pada Hukla (Karya Leon Agusta)

Puisi "Kata Pengantar pada Hukla" menyoroti perasaan bersalah dan penyesalan yang mungkin dirasakan oleh mereka yang pernah memiliki kebebasan ...
Kata Pengantar pada Hukla

Waktu masih kecil
Sampai tamat sekolah menengah
Aku sangat suka menyanyi
Konon kata orang suaraku bagus sekali
 
Kemudian datanglah perang saudara
Senapan dan meriam gantikan pantun dan kecapi
Aku berhenti menyanyi, tak berani lagi
Aku harus pandai mendengar
Kalau bicara mesti berhati-hati
 
Hingga kini aneka perang saudara tak pernah reda
Sengketa demi sengketa silih berganti
Aku sudah lama tak lagi bisa menyanyi
Kalau bicara suaraku semakin rendah nadanya

Sudah kusia-siakan suaraku yang indah
Yang dikaruniakan Tuhan kepadaku
Aku telah korupsi. Ya, Tuhan

kini aku sangat ingin bisa menyanyi kembali
Bicara bebas dengan suaraku yang indah dan lepas
Tapi mungkinkah, aku justeru semakin berhati-hati

Siapakah pelindungku, bila aku berhenti korupsi
Hukla?

1977

Sumber: Gendang Pengembara (2012)

Analisis Puisi:

Puisi "Kata Pengantar pada Hukla" karya Leon Agusta menawarkan refleksi mendalam tentang kehidupan, kehilangan, dan kerinduan di tengah situasi perang dan konflik. Melalui kata-kata yang sederhana namun penuh makna, Leon Agusta mengajak pembaca untuk merenungkan perubahan drastis yang dialami oleh seorang individu yang pernah menikmati kebebasan berbicara dan bernyanyi, namun kemudian terpaksa bungkam oleh kerasnya realitas.

Kenangan Masa Kecil dan Kehilangan Kebebasan

Puisi ini dimulai dengan sebuah kenangan akan masa kecil yang penuh kebahagiaan: "Waktu masih kecil / Sampai tamat sekolah menengah / Aku sangat suka menyanyi / Konon kata orang suaraku bagus sekali." Baris-baris ini menggambarkan masa-masa ketika sang penyair memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya melalui nyanyian. Suara yang indah dan kebebasan berbicara menjadi simbol dari masa yang damai dan penuh harapan.

Namun, kedamaian ini kemudian terhenti oleh kedatangan perang saudara: "Kemudian datanglah perang saudara / Senapan dan meriam gantikan pantun dan kecapi." Perang dan kekerasan menggantikan seni dan keindahan, memaksa sang penyair untuk berhenti bernyanyi dan mulai menjalani hidup dengan penuh kehati-hatian. Ini merupakan pergeseran yang tragis dari kebebasan menuju keterbatasan, di mana suara yang dulu bebas kini terbungkam oleh ketakutan dan kekacauan.

Perang Saudara yang Tak Pernah Usai

Di bait berikutnya, Leon Agusta menggambarkan betapa perang saudara telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya: "Hingga kini aneka perang saudara tak pernah reda / Sengketa demi sengketa silih berganti." Keadaan ini tidak hanya menghentikan nyanyiannya, tetapi juga meredam suaranya, membuatnya semakin berhati-hati dalam berbicara. Ini menunjukkan bagaimana kekerasan dan konflik dapat merampas bukan hanya kebebasan fisik, tetapi juga kebebasan batin seseorang.

Sang penyair kemudian mengakui bahwa ia telah "menyia-nyiakan" suaranya yang indah, yang merupakan karunia dari Tuhan: "Sudah kusia-siakan suaraku yang indah / Yang dikaruniakan Tuhan kepadaku / Aku telah korupsi. Ya, Tuhan." Pengakuan ini menunjukkan penyesalan yang mendalam atas hilangnya kemampuan untuk berbicara dan bernyanyi dengan bebas, sesuatu yang dulunya menjadi sumber kebahagiaan dan ekspresi diri. Penggunaan kata "korupsi" di sini tidak hanya merujuk pada korupsi material, tetapi juga pada korupsi spiritual, di mana penyair merasa telah mengkhianati karunia yang diberikan kepadanya dengan tidak menggunakannya secara penuh.

Kerinduan akan Kebebasan dan Ketidakpastian Masa Depan

Kerinduan untuk kembali berbicara dan bernyanyi dengan bebas menjadi tema sentral dalam puisi ini: "kini aku sangat ingin bisa menyanyi kembali / Bicara bebas dengan suaraku yang indah dan lepas." Namun, kerinduan ini disertai dengan ketidakpastian dan kekhawatiran: "Tapi mungkinkah, aku justeru semakin berhati-hati." Rasa takut yang telah tertanam dalam dirinya selama bertahun-tahun membuatnya meragukan kemampuannya untuk kembali ke masa di mana ia bisa bebas mengekspresikan dirinya tanpa rasa takut.

Pertanyaan terakhir dalam puisi ini, "Siapakah pelindungku, bila aku berhenti korupsi / Hukla?" menambahkan lapisan kompleksitas yang lebih dalam pada perenungan sang penyair. Hukla, yang mungkin merujuk pada sosok atau konsep tertentu, di sini dihadirkan sebagai sesuatu yang dapat menawarkan perlindungan atau solusi. Namun, pertanyaan ini juga mencerminkan ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menemukan jawaban yang memadai di tengah situasi yang penuh tekanan.

Puisi sebagai Renungan tentang Kehidupan di Tengah Kekacauan
Puisi "Kata Pengantar pada Hukla" adalah sebuah puisi yang penuh dengan perenungan mendalam tentang kehidupan, konflik, dan kerinduan akan kebebasan. Leon Agusta dengan cermat menggambarkan bagaimana perang dan kekerasan dapat merampas tidak hanya kebebasan fisik tetapi juga kemampuan untuk mengekspresikan diri. Melalui kata-katanya, Leon membawa pembaca untuk merenungkan dampak dari kekacauan terhadap individu, dan bagaimana kerinduan akan kebebasan menjadi sesuatu yang sulit dicapai dalam realitas yang keras.

Puisi ini juga menyoroti perasaan bersalah dan penyesalan yang mungkin dirasakan oleh mereka yang pernah memiliki kebebasan tetapi kemudian kehilangan kemampuan untuk memanfaatkannya. Ini adalah sebuah pengingat yang kuat tentang pentingnya menjaga kebebasan, baik dalam berbicara maupun berekspresi, dan bagaimana kekacauan dan konflik dapat merusaknya secara mendalam.

Leon Agusta
Puisi: Kata Pengantar pada Hukla
Karya: Leon Agusta

Biodata Leon Agusta:
  • Leon Agusta (Ridwan Ilyas Sutan Badaro) lahir pada tanggal 5 Agustus 1938 di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2015 (pada umur 77) di Padang, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta adalah salah satu Sastrawan Angkatan 70-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.