Puisi: Tentang Ia yang Menunggu (Karya Leon Agusta)

Puisi "Tentang Ia yang Menunggu" mengingatkan kita bahwa harapan, meskipun penting, harus diiringi dengan realisme dan kesadaran akan keterbatasan.
Tentang Ia yang Menunggu

Tunggu aku di tikungan itu
semua akan segera beres
walau halilintar membelah bumi

dan ia pun menunggu
dan menunggu
sambil menghitung nasib
sambil membaca telapak tangan

Aku sudah akan tiba
sebelum engkau selesai
mengeringkan keringatmu

begitulah Harapan itu berseru
tunggal suaranya

dan ia tetap menunggu
dan menunggu
sampai jadi lupa
bahwa sedang menunggu

seterusnya ia cuma 
seperti menunggu

Suatu ketika ada yang berkata:
Harapan itu kejam
Ratusan juta sudah jadi korban

dalam catatan terakhir tertulis:
dosaku mengharap dan menunggu
membusuk dalam kuburan waktu

Kuala Lumpur, 1974

Sumber: Gendang Pengembara (2012)

Analisis Puisi:

Puisi "Tentang Ia yang Menunggu" karya Leon Agusta adalah sebuah refleksi mendalam tentang harapan, penantian, dan kekecewaan. Melalui bait-bait yang sederhana namun penuh makna, Leon Agusta berhasil menggambarkan tragika kehidupan yang terperangkap dalam lingkaran harapan yang tidak pernah terealisasi. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana harapan dapat menjadi sumber kekuatan, tetapi juga bisa menjadi sumber kehancuran ketika harapan tersebut tidak kunjung terpenuhi.

Penantian di Tengah Ketidakpastian

Puisi ini dimulai dengan sebuah janji: "Tunggu aku di tikungan itu / semua akan segera beres / walau halilintar membelah bumi." Baris-baris ini menggambarkan sebuah keyakinan bahwa apa pun yang terjadi, segala sesuatunya akan segera terselesaikan. Halilintar yang membelah bumi adalah simbol dari tantangan dan rintangan yang besar, namun janji tersebut membawa harapan bahwa rintangan ini akan terlewati.

Namun, yang menarik adalah respons dari ia yang menunggu: "dan ia pun menunggu / dan menunggu / sambil menghitung nasib / sambil membaca telapak tangan." Menunggu dalam puisi ini bukanlah tindakan pasif, tetapi penuh dengan kecemasan dan ketidakpastian. Menghitung nasib dan membaca telapak tangan adalah bentuk upaya untuk mencari kepastian di tengah ketidakpastian yang menyelimuti penantian tersebut. Ada harapan yang besar, tetapi juga keraguan yang mengintai.

Harapan yang Kejam

Bait berikutnya menggambarkan keyakinan bahwa harapan akan segera terwujud: "Aku sudah akan tiba / sebelum engkau selesai / mengeringkan keringatmu / begitulah Harapan itu berseru / tunggal suaranya." Di sini, harapan diberi suara, seolah-olah menjadi entitas yang meyakinkan bahwa segala sesuatunya akan terjadi dalam waktu dekat. Suara harapan ini begitu kuat dan meyakinkan, sehingga ia yang menunggu merasa bahwa penantian akan segera berakhir.

Namun, kenyataannya justru sebaliknya: "dan ia tetap menunggu / dan menunggu / sampai jadi lupa / bahwa sedang menunggu / seterusnya ia cuma / seperti menunggu." Penantian yang terus berlanjut tanpa akhir ini menggambarkan bagaimana harapan yang tidak kunjung terpenuhi dapat mengubah seseorang. Ia yang menunggu akhirnya menjadi begitu terbiasa dengan penantian, hingga lupa bahwa ia sedang menunggu sesuatu. Pada titik ini, harapan yang dulu memberi kekuatan kini berubah menjadi beban, dan penantian menjadi rutinitas tanpa tujuan.

Kritik Terhadap Harapan

Puisi ini juga mengandung kritik terhadap harapan itu sendiri: "Suatu ketika ada yang berkata: / Harapan itu kejam / Ratusan juta sudah jadi korban." Harapan yang tidak pernah terwujud digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, yang telah menjebak banyak orang dalam lingkaran penantian tanpa akhir. Ini adalah kritik tajam terhadap konsep harapan, yang sering kali dipandang sebagai sesuatu yang positif, tetapi dalam kenyataannya dapat menyebabkan penderitaan yang mendalam ketika tidak ada kepastian atau realisasi.

Dosa Mengharap dan Menunggu

Bagian akhir puisi ini mengungkapkan perasaan bersalah dan penyesalan: "dalam catatan terakhir tertulis: / dosaku mengharap dan menunggu / membusuk dalam kuburan waktu." Mengharap dan menunggu digambarkan sebagai sebuah dosa, sesuatu yang pada akhirnya hanya membawa kehancuran dan kematian. Waktu, yang terus berjalan tanpa henti, membusukkan harapan dan penantian tersebut, meninggalkan ia yang menunggu dalam keadaan yang tragis.

Tragika Penantian dalam Kehidupan

Puisi "Tentang Ia yang Menunggu" adalah sebuah puisi yang menggambarkan bagaimana harapan dan penantian dapat menjadi pedang bermata dua dalam kehidupan seseorang. Di satu sisi, harapan memberi kekuatan dan motivasi untuk terus bertahan, tetapi di sisi lain, ketika harapan tersebut tidak pernah terwujud, ia dapat menjadi sumber penderitaan yang mendalam. Leon Agusta dengan cermat menangkap tragika ini, menunjukkan bahwa harapan yang tidak kunjung terealisasi dapat mengubah seseorang, menjebaknya dalam penantian yang tak berkesudahan.

Puisi ini juga mengingatkan kita bahwa harapan, meskipun penting, harus diiringi dengan realisme dan kesadaran akan keterbatasan. Menggantungkan seluruh hidup pada harapan yang mungkin tidak pernah tercapai dapat membawa lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, penting untuk menemukan keseimbangan antara berharap dan menerima kenyataan, sehingga kita tidak terperangkap dalam penantian yang sia-sia.

Leon Agusta
Puisi: Tentang Ia yang Menunggu
Karya: Leon Agusta

Biodata Leon Agusta:
  • Leon Agusta (Ridwan Ilyas Sutan Badaro) lahir pada tanggal 5 Agustus 1938 di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2015 (pada umur 77) di Padang, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta adalah salah satu Sastrawan Angkatan 70-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.