Puisi: Surat-Surat buat Lisa Agusta (Karya Leon Agusta)

Puisi "Surat-Surat buat Lisa Agusta" mengajak pembaca untuk merenung tentang ketidakpastian, kesedihan, dan keinginan untuk memahami lebih dalam ...
Surat buat Lisa Agusta (1)

Malam temaram tanpa angin
Sunyi tergenang di seluruh dataran
Begitu tenang, ketika kudengar kembali
pesanmu sebelum pamit dari kunjungan
menjelang senja:

tulislah
dan kembali
bacalah

tentang kisah-kisah yang terpendam di jalan buntu
tentang nafas yang reda sehabis kecewa
tentang segala yang tak sempat mencatatkannya
yang sesekali melintas samar
bagai jalinan bayang-bayang di siang lengang
tercelup warna hitam keabuan

Ya
Serasa masih ada yang dapat ditiupkan
Pada kejauhan masing-masing, ketiadaan kita
Sebab belum ada jawaban
Di manakah kita telah bertanya
Sebab kita belum mengerti
Sebab kita belum sampai
dalam saat-saat yang teduh
Dan di tembok-tembok yang utuh
Di atas gugus-gugus yang dipertahankan
Awan tergantung beku bersama malam hari

Setelah kembali membacanya, kugoresi
yang harus dilupakan
Belenggu kenangan memabukkan
Belenggu kemanjaan, atau impian
mengambang ke dunia impian yang menjauh
Sebab bila seketika langit merendah
Bumi pun kembali mendebarkan hidup
Busur-busur pun bergetar gempita
terbangkan panah-panah kilatan cahaya
Menembus awan tergantung beku
Menembus malam hari
Menembus rahasia waktu yang diperebutkan

Sementara kita pun ditinggal dan meninggalkan
Mengenang dan dilupakan
Sebelum fana jadi abadi

Surat buat Lisa Agusta (2)

Lisa. Bukan semata nasib yang memisah
Tapi adalah keliaranku semata
Sedang kau begitu jinak
Kelelahan dan kehinaan hidupku
Kau rangkul tanpa memberi tara
Hingga aku terpaut pada belenggu
keselarasanmu dalam derita

Kini, dalam tak bisa saling menyatukan sunyi
Kita pun jadi tergoda – mungkin
untuk cemas atau mengutuki
Inilah bahasa rindu percintaan kita
Bahasa sepi yang nakal
Gendangnya menikam-nikam

Kemboja di halaman rumah kita dulu
Ditanamnya bukan buat perpisahan atau menunggu
Kini jadinya begini:
Semuanya tak lagi melengkapkan kita
Kemboja di halaman, kebun cengkeh di belakang
Menjadi pohon airmata

Surat buat Lisa Agusta (3)

(Api menjilat-jilat dalam mimpiku
hingga aku terbangun
bantal di kepalaku terbakar)

Kabut jatuh dalam jiwaku yang kosong
Hujan tengah malam mulai reda, ketika padaku
mimpi itu mulai menggoda
menampar jantungku jadi gempar
Kilatan warna hitam putih saling melebur
mengendap ke dalam arus menunggu pagi

Selengkapnya adalah nyanyian duka semata
Bergetar pada tonggak-tonggak kenangan padamu
Jejaknya membekam senantiasa
Penuh aneka permainan
Antara purnama yang kukejar
dan bayang-bayang yang mengejarku

Surat buat Lisa Agusta (4)

Memang tak perlu saling membujuk lagi
Namun adalah rasa kehilangan
Atas pertemuan yang tak tersesalkan
dunia yang tak tertinggalkan
perpisahan yang tak terucapkan
Berapa kali purnama datang
Kuhitung dengan nafas semakin dingin
Udara kian renggang dalam terali besi

Diamkanlah segala sedih pada yang lain
Jika pun sempat janji sudah tiada
Sebelum lengkap pesona
Khianat sudah sedia
Sebelum terbuka suara
Pengembara sudah sampai, di sana

Penjara Tanah Merah, Pekanbaru, 1970

Sumber: Gendang Pengembara (2012)

Analisis Puisi:

Puisi "Surat-Surat buat Lisa Agusta" karya Leon Agusta adalah karya yang kaya dengan emosi dan refleksi mendalam tentang cinta, perpisahan, dan penyesalan. Melalui puisi ini, Leon Agusta mengungkapkan perasaan mendalam yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah pergi dan dampaknya pada kehidupan dan pikiran penyair

Bagian (1): Kenangan dan Penyesalan

Bagian pertama dari puisi ini membuka dengan suasana malam yang sunyi dan temaram, menciptakan suasana yang tenang dan reflektif. Taufiq Ismail menggunakan imaji malam dan pesan-pesan yang tersisa dari kunjungan sebelumnya untuk mengekspresikan perasaan kesepian dan kerinduan.

"Malam temaram tanpa angin / Sunyi tergenang di seluruh dataran / Begitu tenang, ketika kudengar kembali / pesanmu sebelum pamit dari kunjungan / menjelang senja"

Malam yang sunyi dan tenang menjadi latar belakang untuk refleksi mendalam. Pesan yang ditinggalkan sebelum perpisahan adalah sebuah panggilan untuk menulis dan membaca kembali, tentang kisah-kisah yang terpendam dan nafas yang mereda setelah kekecewaan. Taufiq Ismail menggambarkan perasaan bahwa masih ada sesuatu yang harus disampaikan atau diselesaikan, namun belum ada jawaban yang memadai.

"Ya / Serasa masih ada yang dapat ditiupkan / Pada kejauhan masing-masing, ketiadaan kita / Sebab belum ada jawaban / Di manakah kita telah bertanya"

Perasaan belum mencapai pemahaman penuh tentang diri sendiri dan hubungan dengan orang lain tercermin di sini. Kesadaran bahwa banyak yang belum terpecahkan dan belum dipahami menambah rasa kesedihan dan kerinduan.

Bagian (2): Perpisahan dan Kesedihan

Bagian kedua puisi ini lebih fokus pada perasaan pribadi penyair terkait perpisahan dan kesedihan yang dirasakan. Leon Agusta menyoroti perbedaan antara dirinya yang "keliaran" dan Lisa yang "jinak," menunjukkan ketidakmampuan untuk menyatukan dua kepribadian yang berbeda.

"Lisa. Bukan semata nasib yang memisah / Tapi adalah keliaranku semata / Sedang kau begitu jinak / Kelelahan dan kehinaan hidupku / Kau rangkul tanpa memberi tara"

Konflik batin ini menggarisbawahi ketidakmampuan penyair untuk menyesuaikan diri dan menyatukan kehidupan dengan Lisa. Perasaan terikat pada "belenggu keselarasan" dalam derita menambah dimensi baru pada rasa rindu dan ketidakmampuan untuk bergerak maju.

Kemboja di halaman rumah yang dulu menjadi simbol cinta kini berubah menjadi "pohon airmata," menggambarkan bagaimana elemen kehidupan yang dulunya penuh makna kini menjadi pengingat kesedihan dan perpisahan.

Bagian (3): Mimpi dan Kenangan

Bagian ketiga puisi ini memperkenalkan elemen mimpi dan simbolisme yang kuat. Api yang menjilat dalam mimpi penyair menggambarkan kecemasan dan kegelisahan yang mengganggu tidurnya.

"Api menjilat-jilat dalam mimpiku / hingga aku terbangun / bantal di kepalaku terbakar"

Kabut yang jatuh dan hujan yang mulai reda menciptakan suasana mistis dan penuh perasaan, menandai ketidakpastian dan ketidaknyamanan emosional. Kenangan yang membekam dan permainan antara purnama dan bayang-bayang menggambarkan perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.

"Selengkapnya adalah nyanyian duka semata / Bergetar pada tonggak-tonggak kenangan padamu / Jejaknya membekam senantiasa / Penuh aneka permainan / Antara purnama yang kukejar / dan bayang-bayang yang mengejarku"

Bagian (4): Rasa Kehilangan dan Perpisahan

Bagian terakhir puisi ini menekankan pada rasa kehilangan dan perpisahan yang tidak pernah sepenuhnya terungkap atau diselesaikan. Leon Agusta menggambarkan bagaimana waktu berlalu tanpa memberikan jawaban atau penyelesaian.

"Memang tak perlu saling membujuk lagi / Namun adalah rasa kehilangan / Atas pertemuan yang tak tersesalkan"

Pernyataan ini menekankan bahwa meskipun ada perasaan kehilangan yang mendalam, tidak ada lagi upaya untuk memperbaiki hubungan. Penghitung purnama dan udara yang semakin dingin menggambarkan bagaimana waktu berlalu dan bagaimana rasa kesedihan semakin mendalam.

Puisi "Surat-Surat buat Lisa Agusta" adalah eksplorasi mendalam tentang cinta, perpisahan, dan penyesalan. Melalui imaji malam yang tenang, mimpi yang mengganggu, dan simbol-simbol seperti kemboja dan api, Leon Agusta menciptakan gambaran emosional yang kuat tentang bagaimana seseorang menghadapi kehilangan dan perpisahan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang ketidakpastian, kesedihan, dan keinginan untuk memahami lebih dalam tentang diri sendiri dan hubungan yang telah berlalu.

Leon Agusta
Puisi: Surat-Surat buat Lisa Agusta
Karya: Leon Agusta

Biodata Leon Agusta:
  • Leon Agusta (Ridwan Ilyas Sutan Badaro) lahir pada tanggal 5 Agustus 1938 di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2015 (pada umur 77) di Padang, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta adalah salah satu Sastrawan Angkatan 70-an.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.