Puisi: R. S. (Karya Sugiarta Sriwibawa)

Puisi "R. S." karya Sugiarta Sriwibawa menggarisbawahi bagaimana perasaan ketidakmampuan dan keputusasaan dapat mempengaruhi cara kita melihat dan ...
R. S.

Kini kami di hadapan-Mu, tapi tiada kudengar kata-Mu
Ataukah nanti di kamar mati, semua jenazah bertanya-tanya
Ah, tiada sempat tercatat pada setiap abad
Kami lempung yang sejenak tertawa bila menurunkan anak
Kemudian bebal, bila tak sanggup bunuh diri

Kini kami di hadapan-Mu kutunggu sabda-Mu.

Sumber: Garis Putih (1983)

Analisis Puisi:

Puisi "R. S." karya Sugiarta Sriwibawa adalah karya yang mendalam dan introspektif, mengeksplorasi tema eksistensial dan spiritualitas melalui lirik yang penuh dengan refleksi dan keraguan.

Struktur dan Bentuk Puisi

Puisi ini menggunakan struktur yang sederhana namun sangat efektif dalam menyampaikan pesan yang mendalam. Dengan format bait yang teratur dan bahasa yang lugas, puisi ini memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan makna dan implikasi dari setiap baris. Gaya bahasa yang digunakan menciptakan suasana reflektif dan introspektif, memungkinkan pembaca untuk terhubung dengan tema-tema besar yang dibahas.

Tema dan Makna

Tema utama puisi ini adalah pencarian makna dalam eksistensi manusia dan hubungan dengan Tuhan, serta refleksi tentang kematian dan keberadaan spiritual. Sugiarta Sriwibawa menggunakan bahasa yang kuat dan deskriptif untuk menyampaikan perasaan keraguan, penantian, dan keputusasaan.
  • Kehadiran Tuhan dan Keterasingan: Pernyataan "Kini kami di hadapan-Mu, tapi tiada kudengar kata-Mu" mencerminkan perasaan keterasingan dan kekosongan meskipun berada di hadapan Tuhan. Ini menunjukkan keraguan dan ketidakmampuan untuk merasakan atau memahami kehadiran ilahi, yang sering kali menjadi tema dalam pencarian spiritual.
  • Kamar Mati dan Pertanyaan Jenazah: Pertanyaan "Ataukah nanti di kamar mati, semua jenazah bertanya-tanya" menggambarkan kekhawatiran tentang apa yang terjadi setelah kematian dan bagaimana orang-orang yang telah meninggal akan menghadapi kekosongan dan ketidakpastian. Ini mencerminkan kecemasan eksistensial tentang apa yang terjadi setelah kehidupan dan apakah ada jawaban atau makna yang dapat ditemukan.
  • Abad dan Keterbatasan Manusia: Frasa "Ah, tiada sempat tercatat pada setiap abad" menunjukkan bagaimana waktu dan sejarah dapat membuat pengalaman dan pertanyaan manusia terasa tidak berarti atau tidak terdokumentasikan. Ini menggambarkan perasaan kekurangan atau ketidakmampuan untuk meninggalkan jejak yang signifikan dalam sejarah.
  • Lempung dan Tawa: Kalimat "Kami lempung yang sejenak tertawa bila menurunkan anak" menggunakan "lempung" sebagai metafora untuk manusia yang rapuh dan sementara. Tawa sejenak menunjukkan kebahagiaan sementara dalam kehidupan, tetapi juga menggarisbawahi kerapuhan dan ketidakmampuan untuk mengatasi penderitaan atau keputusasaan.
  • Keputusasaan dan Bunuh Diri: Frasa "Kemudian bebal, bila tak sanggup bunuh diri" mencerminkan keputusasaan dan perasaan tidak berdaya. Ini menunjukkan bagaimana individu mungkin merasa terjebak dalam penderitaan tanpa jalan keluar, dan kesulitan untuk mengatasi perasaan yang mendalam tentang ketidakmampuan dan keputusasaan.
  • Penantian Sabda Tuhan: Akhir puisi dengan "Kini kami di hadapan-Mu kutunggu sabda-Mu" menggambarkan penantian dan harapan untuk mendapatkan pencerahan atau jawaban dari Tuhan. Ini menunjukkan keinginan untuk memahami makna kehidupan dan mendapatkan petunjuk ilahi yang mungkin tidak dapat dicapai melalui usaha manusia semata.

Gaya Bahasa dan Imaji

Sugiarta Sriwibawa menggunakan bahasa yang sederhana namun kuat untuk menyampaikan perasaan keraguan dan refleksi. Imaji seperti "kamar mati," "jenazah bertanya-tanya," dan "lempung" menciptakan gambaran visual dan emosional yang kuat, memungkinkan pembaca untuk merasakan kedalaman dan kompleksitas pengalaman yang digambarkan.

Penggunaan metafora dan deskripsi yang tajam menambah kekuatan puisi ini, membantu pembaca untuk memahami dan merasakan perasaan yang diekspresikan. Bahasa yang digunakan memiliki kualitas reflektif yang mendalam, memperkuat tema eksistensial dan spiritual yang dibahas.

Interpretasi Pribadi

Puisi ini dapat diartikan sebagai refleksi mendalam tentang pencarian makna dalam kehidupan dan kematian. Sugiarta Sriwibawa mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita menghadapi keterasingan, keputusasaan, dan pencarian spiritual. Melalui puisi ini, pembaca diundang untuk mempertimbangkan bagaimana mereka berhubungan dengan Tuhan, makna eksistensial, dan harapan untuk mendapatkan pencerahan dalam kehidupan mereka.

Puisi ini juga menggarisbawahi bagaimana perasaan ketidakmampuan dan keputusasaan dapat mempengaruhi cara kita melihat dan memahami eksistensi kita. Penantian untuk "sabda-Mu" menggambarkan harapan dan kebutuhan manusia akan makna dan pencerahan yang mungkin datang dari kekuatan yang lebih tinggi.

Puisi "R. S." adalah puisi yang mendalam dan reflektif, yang berhasil menyampaikan tema-tema besar tentang eksistensi, spiritualitas, dan pencarian makna melalui bahasa yang sederhana namun kuat. Sugiarta Sriwibawa menggunakan deskripsi dan metafora yang tajam untuk mengeksplorasi perasaan keraguan, penantian, dan keputusasaan, mengajak pembaca untuk merenungkan pengalaman mereka sendiri dan bagaimana mereka menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar tentang kehidupan dan kematian.

Puisi ini menawarkan pandangan yang mendalam tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, serta bagaimana perasaan ketidakmampuan dan keputusasaan dapat membentuk pencarian makna dalam kehidupan. Dengan gaya bahasa yang reflektif dan deskripsi yang emosional, puisi ini mengundang pembaca untuk mempertimbangkan pengalaman mereka sendiri dan bagaimana mereka mencari pencerahan dan pemahaman dalam perjalanan hidup mereka.

Puisi
Puisi: R. S.
Karya: Sugiarta Sriwibawa

Biodata Sugiarta Sriwibawa:
  • Sugiarta Sriwibawa lahir di Surakarta, pada tanggal 31 Maret 1932.
© Sepenuhnya. All rights reserved.