Puisi: Matinya Pandawa yang Saleh (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Matinya Pandawa yang Saleh" karya Subagio Sastrowardoyo menggambarkan momen kematian seorang individu yang taat beribadah.
Matinya Pandawa yang Saleh

di belakang rumahnya
dekat sumur
ketika bersiap untuk sembahyang
sebelum tidur
menyergap dia
yang menuntut janji
- tapi mataku belum cukup melihat dunia
dan aku belum pamit kepada keluarga -
dengan tak sabar kuku maut
telah menusuk merihnya
dan dibawa ia lari di bawah kepak hitam
tanpa sempat berkumur di perigi
dengan sisa nasi di sela gigi

Sumber: Keroncong Motinggo (1975)

Analisis Puisi:

Puisi "Matinya Pandawa yang Saleh" karya Subagio Sastrowardoyo adalah karya sastra yang sarat dengan makna dan simbolisme. Dalam puisi ini, Sastrowardoyo menggambarkan momen kematian seorang individu yang taat beribadah.

Tema Kematian dan Ketidakpastian: Puisi ini secara langsung menggambarkan momen kematian yang tiba secara tiba-tiba, "di belakang rumahnya, dekat sumur," memberikan kesan bahwa kematian bisa datang pada saat yang tidak terduga. Ketidakpastian ini diperkuat oleh fakta bahwa individu ini sedang bersiap untuk sembahyang sebelum tidur, menyoroti betapa pentingnya kesiapan spiritual dalam menghadapi kematian.

Tuntutan Janji dan Rasa Takut: Ada elemen ketegangan dalam puisi ini yang berasal dari "yang menuntut janji" yang secara misterius menyergap individu tersebut. Ini mungkin melambangkan rasa takut akan kematian atau rasa bersalah akan janji yang belum terpenuhi. Ketakutan ini diperkuat dengan penggambaran "kuku maut yang menusuk merihnya," menciptakan citra yang kuat tentang kekuatan kematian yang tak terhindarkan.

Penyesalan dan Belum Selesai: Dengan baris, "tapi mataku belum cukup melihat dunia dan aku belum pamit kepada keluarga," Sastrowardoyo menyoroti perasaan penyesalan dan kegagalan dalam menyelesaikan urusan-urusan yang penting dalam hidupnya sebelum meninggal. Ini menggambarkan betapa pentingnya pengalaman hidup dan hubungan sosial dalam konteks kematian.

Kehidupan yang Sederhana dan Realitas Kematian: Penggambaran terakhir tentang individu yang "dibawa lari di bawah kepak hitam tanpa sempat berkumur di perigi dengan sisa nasi di sela gigi" menyoroti realitas kematian yang tak terhindarkan dan sederhana. Bahkan dalam momen kematian, kehidupan terlihat begitu biasa dan sederhana, dengan individu meninggalkan segala sesuatu tanpa kesempatan untuk mengucapkan perpisahan atau menyelesaikan urusan terakhir.

Dengan puisi "Matinya Pandawa yang Saleh," Subagio Sastrowardoyo berhasil menggambarkan momen kematian yang mendalam dan penuh makna. Puisi ini memicu refleksi tentang kehidupan, kematian, dan pentingnya mempersiapkan diri secara spiritual dalam menghadapi akhir hayat. Sastrowardoyo menggunakan gambaran yang kuat dan simbolisme yang kaya untuk menyampaikan pesan yang menggetarkan jiwa tentang realitas kematian yang tak terhindarkan.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Matinya Pandawa yang Saleh
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.