Puisi: Mata Penyair (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Mata Penyair" karya Subagio Sastrowardoyo mengajak pembaca untuk merenungkan tentang nilai kehidupan, kebutaan, dan kebijaksanaan yang ....
Mata Penyair

        Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. "Apa saja yang sudah kuberikan padamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."

        Rakyat yang miskin merangsak ke muka. "Kami ingin matamu!" teriak mereka. “Kami ingin matamu, yang bisa merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!"

        Ada yang masih mau membela penyair itu. "Ingat, tanpa mata penyair menjadi buta!"

        Tetapi rakyat yang putus asa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya. Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.

        Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!

Sumbeh: Horison (Juli, 1993)

Analisis Puisi:

Puisi "Mata Penyair" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah karya sastra yang mendalam yang menggambarkan perjalanan seorang penyair dalam menghadapi tantangan dan penderitaan, serta refleksi tentang kebijaksanaan dan persepsi.

Pengorbanan Seorang Penyair: Puisi ini dibuka dengan gambaran penyair yang berbicara tentang apa yang telah ia berikan pada kota, kecuali nyawanya yang teraniaya. Ini menciptakan gambaran tentang pengorbanan seorang penyair yang telah memberikan kontribusi bagi masyarakat melalui karyanya, namun masih dihadapkan pada penderitaan yang tidak adil.

Tuntutan dari Rakyat Miskin: Rakyat miskin merasa terpinggirkan dan putus asa, dan mereka menuntut mata penyair karena mereka percaya bahwa mata penyair memiliki kekuatan untuk mengubah pasir menjadi emas. Permintaan ini mencerminkan harapan akan keajaiban dan solusi instan untuk kesulitan hidup, serta ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh mereka yang kurang beruntung.

Perdebatan tentang Kebutuhan Mata: Ada yang masih membelaku penyair tersebut, menyatakan bahwa penyair membutuhkan matanya untuk melihat dan menciptakan karya sastra. Ini menciptakan perdebatan tentang nilai dan fungsi mata penyair, serta pertanyaan tentang apakah kebijaksanaan dan inspirasi dapat hadir tanpa penglihatan fisik.

Pengorbanan dan Kekecewaan: Rakyat yang putus asa mengambil tindakan drastis dengan merebut mata penyair, hanya untuk menemukan bahwa kekuatan yang mereka harapkan tidak ada. Mereka menjadi kecewa dan berbalik melawan penyair dengan kekerasan. Ini menciptakan gambaran tentang pengorbanan dan kekecewaan yang dialami ketika harapan tidak terpenuhi.

Refleksi Kebijaksanaan dan Kebutaan: Puisi ini mencapai puncaknya dengan penyair yang duduk di jendela, tertawa tanpa mata, namun melihat keindahan dunia di sekelilingnya. Ini menciptakan gambaran tentang kebijaksanaan yang datang dari pengalaman dan refleksi, serta keberanian untuk melihat keindahan bahkan dalam kegelapan atau kebutaan fisik.

Puisi "Mata Penyair" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah refleksi yang mendalam tentang pengorbanan, harapan, kekecewaan, dan kebijaksanaan. Dengan menggunakan gambaran yang kuat dan bahasa yang menggugah, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang nilai kehidupan, kebutaan, dan kebijaksanaan yang dapat ditemukan bahkan dalam keadaan yang paling sulit.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Mata Penyair
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.