Puisi: Jalan Braga (Karya Kirdjomuljo)

Puisi "Jalan Braga" karya Kirdjomuljo menyajikan sebuah gambaran yang kuat tentang ketidakadilan dan perjuangan dalam konteks sejarah yang kelam.
Jalan Braga

Di atas rumah batu
Ia terlentang
Mayat sudah

Hendak kuambil –
Penjaga bersenjata
Masih ingin membuat mayat lagi

Di rumah batu pilu
Di dusun gubuk beku
Di mana lagi –

Menunggu musim semi?
Berikan perlawanan di musim kini.

Bandung, 26-29 September 1953

Sumber: Mimbar Indonesia (12 Desember 1953)

Analisis Puisi:

Puisi "Jalan Braga" karya Kirdjomuljo menyajikan sebuah gambaran yang kuat tentang ketidakadilan dan perjuangan dalam konteks sejarah yang kelam. Dengan bahasa yang lugas dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi sosial dan politik, serta menyoroti ketidakadilan yang terus berlanjut.

Struktur dan Tema Puisi

  • Kematian dan Ketidakberdayaan: Puisi dimulai dengan gambaran seorang mayat yang terlentang di atas rumah batu: "Di atas rumah batu / Ia terlentang / Mayat sudah." Penggambaran ini menciptakan suasana yang suram dan menggambarkan kematian sebagai simbol dari ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Rumah batu yang dingin dan tidak bersahabat menambah kesan kesedihan dan keterasingan.
  • Penjaga dan Ancaman: Penyair melanjutkan dengan menyebut penjaga bersenjata yang masih ingin membuat mayat lagi: "Hendak kuambil – / Penjaga bersenjata / Masih ingin membuat mayat lagi." Ini menggambarkan kekerasan yang terus menerus dan ancaman yang dialami oleh mereka yang tertindas. Penjaga bersenjata menjadi simbol kekuasaan yang menindas dan mengancam, menambah rasa ketidakadilan yang ada.
  • Konteks Sosial dan Ketidakadilan: Puisi ini menyebutkan "rumah batu pilu" dan "dusun gubuk beku," yang menciptakan gambaran lingkungan yang suram dan penuh penderitaan: "Di rumah batu pilu / Di dusun gubuk beku / Di mana lagi –." Penyair menggambarkan tempat-tempat ini sebagai lokasi ketidakadilan dan penderitaan yang terus berlanjut, menunjukkan bagaimana kondisi sosial yang buruk berlanjut di berbagai lokasi.
  • Panggilan untuk Perlawanan: Penyair mengajukan pertanyaan retoris tentang menunggu musim semi dan menyerukan perlawanan di musim kini: "Menunggu musim semi? / Berikan perlawanan di musim kini." Ini menandakan dorongan untuk tidak menunggu perubahan yang mungkin tidak datang dan untuk mengambil tindakan melawan ketidakadilan yang ada sekarang. Penyair mendorong pembaca untuk menghadapi kondisi yang ada dan berjuang untuk perubahan.

Konteks dan Relevansi

Puisi "Jalan Braga" mencerminkan ketidakadilan dan kekerasan yang sering terjadi dalam konteks sosial dan sejarah. Kirdjomuljo menggunakan bahasa yang kuat dan simbolisme yang efektif untuk menggambarkan kondisi suram dan menyoroti perlunya perlawanan terhadap ketidakadilan. Puisi ini relevan dalam konteks sastra sebagai refleksi tentang kondisi sosial dan politik yang memerlukan perhatian dan perubahan.

Puisi ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana ketidakadilan dan kekerasan sering kali berlanjut di berbagai lapisan masyarakat, serta pentingnya mengambil tindakan aktif untuk melawan kondisi tersebut. Kirdjomuljo mengingatkan kita bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi memerlukan usaha dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.

Puisi "Jalan Braga" adalah puisi yang kuat tentang ketidakadilan dan perjuangan melawan kekuasaan yang menindas. Kirdjomuljo berhasil menggunakan bahasa yang lugas dan simbolisme yang mendalam untuk menyampaikan pesan tentang kondisi sosial yang suram dan perlunya perlawanan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan keadaan sekitar dan berani mengambil tindakan melawan ketidakadilan, dengan harapan untuk perubahan yang lebih baik.

Kirdjomuljo
Puisi: Jalan Braga
Karya: Kirdjomuljo
Biodata Kirdjomuljo:
  • Edjaan Tempo Doeloe: Kirdjomuljo
  • Ejaan yang Disempurnakan: Kirjomulyo
  • Kirdjomuljo lahir pada tanggal 1 Januari 1930 di Yogyakarta.
  • Kirdjomuljo meninggal dunia pada tanggal 19 Januari 2000 di Yogyakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Lawanku Dengan segenap kerendahan hatiku Apa kehendak yang terpendam di bayangan matamu? Menatap berjuta rakyat di tanah airku Sejarah telah memahamkan satu hal …
  • Elegie Kemana kau pergi, sunyilah malamku Tak bisaku tahu kemana cintamu Malam kutidur dalam diri Senja kunari dalam hati Indahnya tiada berarti Indahnya tiada a…
  • Rumah Bambu Di sini aku temukan kau Di sini aku temukan daku Di sini aku temukan hati Terasa tiada sendiri Pandanglah aku, pandanglah aku Aku bicara dengan jiwaku Dan tar…
  • Pasar Malam Sejenak diriku berpecah melekat di tebaran lampu ingin menggapai sekelumit girang dalam pecahan warna yang langsung bicara, bicara Tapi tak ada b…
  • Anak-Anak di Pantai Lalu bertebar mereka mengejar ombak Kelereng-kelereng gelak tertawa terhambur Terserak di pasir di risau angin Sebait-sebait kudengar tak ber…
  • Pulang Kampung Derak yang melonjakkan langkah telah letih direnggut waktu selangkah makin pelahan selangkah makin pelahan Tapi hati yang dibawa membayang dal…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.