Puisi: Hari demi Hari (Karya Sugiarta Sriwibawa)

Puisi "Hari demi Hari" karya Sugiarta Sriwibawa mengungkapkan tema keletihan, kebosanan, dan ketidakberdayaan dalam menghadapi waktu yang terus ...
Hari demi Hari
Sanatorium Solsana

Terasa hari-hari yang kering
mengelepas bayang-bayang
Mengisap mataku

Muntah segala bunyi terpendam
Suara-suara pembalasan
mengancam umurku

Lumpur peluh di awan langit
Manahan kata terakhir
Menggamang bisu

Ah, terasa tua hari-hari yang kering

Analisis Puisi:

Puisi "Hari demi Hari" karya Sugiarta Sriwibawa mengungkapkan tema keletihan, kebosanan, dan ketidakberdayaan dalam menghadapi waktu yang terus berlalu. Dengan bahasa yang puitis dan imaji yang kuat, puisi ini menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana seseorang merasakan beban dan kelelahan dari hari-hari yang berlalu.

Struktur dan Tema

Puisi ini memiliki struktur yang singkat namun padat, dengan empat bait yang menyampaikan perasaan keletihan dan kebosanan yang mendalam. Tema utama puisi ini berfokus pada pengalaman subjektif penyair tentang menjalani hari-hari yang terasa monoton dan menekan.

Imaji dan Metafora

  • Hari-Hari Kering dan Bayang-Bayang: "Terasa hari-hari yang kering / mengelepas bayang-bayang" mengindikasikan kondisi emosional yang kering dan tidak memuaskan, di mana bayang-bayang, atau kenangan dan harapan, tampak hilang dan tidak lagi memberikan makna. Kelelahan emosional ini diperparah oleh "Mengisap mataku", yang menggambarkan rasa lelah yang menguras energi dan perhatian.
  • Bunyi Terpendam dan Suara Pembalasan: "Muntah segala bunyi terpendam / Suara-suara pembalasan" menunjukkan bagaimana perasaan yang terpendam dan tidak diungkapkan akhirnya muncul ke permukaan. Suara-suara ini bisa diartikan sebagai keluhan atau ketidakpuasan yang mengancam kesejahteraan penyair, menciptakan rasa ancaman terhadap kehidupan mereka.
  • Lumpur Peluh dan Awan Langit: "Lumpur peluh di awan langit" adalah metafora yang menggabungkan elemen fisik dan metaforis. Lumpur peluh melambangkan kerja keras dan usaha yang berat, sedangkan awan langit bisa berarti harapan atau impian yang tampaknya semakin menjauh. Keduanya menciptakan gambaran tentang perjuangan yang tidak berujung dan kelelahan yang mendalam.
  • Kata Terakhir dan Menggamang Bisu: "Manahan kata terakhir / Menggamang bisu" mengindikasikan bahwa penyair merasa terjebak dalam keadaan di mana mereka tidak bisa lagi mengungkapkan perasaan mereka secara efektif. Kata-kata terakhir yang ditahan menunjukkan keputusasaan atau ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan jelas.

Refleksi dan Kesimpulan

Puisi "Hari demi Hari" menyampaikan perasaan keletihan dan kebosanan yang mendalam dalam menghadapi rutinitas kehidupan. Dengan penggunaan imaji yang kuat dan metafora yang menyentuh, puisi ini mengungkapkan betapa beratnya menjalani hari-hari yang monoton dan menekan. Perasaan penyair tentang "terasa tua" menegaskan bahwa kelelahan ini bukan hanya fisik tetapi juga emosional dan spiritual.

Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana mereka merespons tantangan dan kelelahan dalam hidup mereka sendiri. Kelelahan yang digambarkan dalam puisi ini bukan hanya tentang beban fisik, tetapi juga tentang bagaimana perasaan dan pengalaman dapat membebani jiwa seseorang. Dalam konteks yang lebih luas, puisi ini dapat dianggap sebagai refleksi tentang ketidakberdayaan dan perjuangan yang dihadapi oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari.

Puisi
Puisi: Hari demi Hari
Karya: Sugiarta Sriwibawa

Biodata Sugiarta Sriwibawa:
  • Sugiarta Sriwibawa lahir di Surakarta, pada tanggal 31 Maret 1932.
© Sepenuhnya. All rights reserved.