Puisi: Candi Prambanan (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Candi Prambanan" karya Subagio Sastrowardoyo menggambarkan kompleksitas sejarah, mitologi, dan manusia dalam konteks Candi Prambanan, sebuah ..
Candi Prambanan

Siwa:    Datang padaku 
             Waktu segala sudah binasa 
             Kala suara paling sendu 
             Melawat ke senyap gigir bukit 
             Bercerita:
 
                 Daun ketapang delapan lembar 
                 Terhampar di ambang candi 
                 Perempuan jinak di luar janji 
                 Menggugurkan kandungan bakal bayi 
                 Punah benih di ladang laki 
                 Dilanda banjir hutan sepi 

             Kala itu: 
             Datang padaku 
             Datang di lindung bayang 
             Datang 

Durga:  Jika aku masih kau terima 
             Kau akan menerima reruntuh 
             Sebab tersiksa oleh kesal dan penyesalan diri
             telah memilih yang tak perlu dipilih 
             di antara sekian pemilihan yang membawa kemungkinan 
             kepada kebahagiaan atau keruntuhan. 
             Jika engkau mau menggambar aku 
             Gambarlah sebagai perempuan tak bermuka 
             Atau sebagai lelaki yang tak berkelamin 
             Sebab aku telah menjadi bayang
             Yang tak berjenis dan punya muka
             tak berpribadi
             Jika mau menyebut aku dengan nama
             Sebut aku dengan nama sembarang nama
             Tegur aku dengan bahasa sembarang bahasa 
             Semua bagiku sama
             Aku tak menyapa
             Jika kau masih mau menerima
             Terimalah sekali darahku yang getir bertuba
             Serta kenangan yang menindih napasku tersisa

Pendeta: Aduh, kata gemilang di hari gerimis
              Merenung di jendela berterali
              Tamu bergilir mengalir seperti sediakala
              Meminta sedekah dan restu kudus
              Ini hari keramat

Sumber: Daerah Perbatasan (1970)

Analisis Puisi:

Puisi "Candi Prambanan" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan kompleksitas sejarah, mitologi, dan manusia dalam konteks Candi Prambanan, sebuah kompleks candi Hindu yang terkenal di Indonesia. Dalam puisi ini, Sastrowardoyo menggunakan suara dari tiga tokoh mitologis, yaitu Siwa, Durga, dan seorang Pendeta, untuk menyampaikan pesan yang dalam tentang kehidupan, keberanian, dan keragaman manusia.

Suara Siwa, Waktu dan Binasa: Siwa, dewa utama dalam agama Hindu, digambarkan dalam puisi ini sebagai pemikir yang merenung di keheningan candi. Dia memanggil waktu pada saat segala sesuatu sudah binasa. Gambaran daun ketapang delapan lembar dan cerita tentang perempuan yang menggugurkan kandungan menyoroti kehidupan manusia yang penuh dengan tragedi dan pilihan sulit. Siwa, sebagai simbol kebijaksanaan dan ketenangan, menerima segala kenyataan dengan damai.

Suara Durga, Penyesalan dan Kesendirian: Durga, dewi pelindung dalam agama Hindu, muncul dengan suara yang penuh penyesalan dan kesendirian. Dia mengekspresikan rasa sakit dan kekecewaan karena memilih jalur yang salah dalam hidupnya. Durga menggambarkan dirinya sebagai bayangan yang tak berjenis dan tak berpribadi, mencerminkan perasaan kehilangan identitas dan kebingungan diri. Permintaannya agar digambar sebagai perempuan tanpa wajah atau lelaki tanpa kelamin menggambarkan perasaan kehilangan diri dan kebingungan identitas.

Suara Pendeta, Ketakjuban dan Keramat: Pendeta mewakili suara yang menghormati dan merenungkan keagungan Candi Prambanan. Dia merenung di jendela berterali, mengamati aliran tamu yang datang meminta sedekah dan restu kudus di hari yang keramat. Suaranya menunjukkan rasa ketakjuban dan kekaguman terhadap keindahan dan keragaman manusia yang terungkap melalui candi ini.

Dengan puisi "Candi Prambanan," Subagio Sastrowardoyo berhasil menggambarkan kehidupan, keberanian, penyesalan, kesendirian, dan keragaman manusia melalui metafora dan suara-suara mitologis. Puisi ini memperlihatkan kompleksitas dan keindahan manusia serta keterkaitannya dengan sejarah dan mitologi. Sastrowardoyo menggunakan bahasa yang kaya dan imajinatif untuk menyampaikan pesan yang mendalam tentang kehidupan dan manusia.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Candi Prambanan
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.