Puisi: Bulan Merah (Karya Sugiarta Sriwibawa)

Puisi "Bulan Merah" menawarkan pandangan yang mendalam tentang bagaimana pencarian makna dapat melibatkan perasaan keraguan, keterasingan, dan ...
Bulan Merah

Benar engkaulah itu
Menjenguk-jenguk lurung sore
Layup hari kian waswas semata
Bersarang di lembah suara hiba
Tetes dalam-dalam menelap mengidap
Ya, engkaulah itu
Yang menyahutku, yang mencariku

Telah kuseru matahari
Meremas hariku luluh pelahan
Suar-suar lewat matamu
Padam timbul pulasnya
Dan ah, betapa rupa wajah menunggu
Kian samar terawang yang ungu

Sebuah kursi untukmu, duduklah menjenguk
Yang lengang pasti sosok tubuh dambaku
Pulang terbendung disungsung gelora muara
Akankah sebentar terjun tajam di lurah malam?

Engkaukah ini yang membenarkan wahyu angan
Mendengar kembara dari pedih kesabaran
Hinggap-hinggap lembut di bulu-bulu telinga
Ketika kautatap mulut bisu selama

Telah kurasa, telah kukira begini kisah tinggal sehari
Lagu yang gemetar karena mengkhianat ilham sendiri
Ah, siapakah di depanku ini yang menegar alisnya
Mendengar nafsu yang terbunuh
Dengan tangannya tergenggam kaku

Pasti, pasti engkaulah ini
Yang sunyi menjenguk, kemudian debar merunduk
Meregang-regang nafas, menguapkan biru malam
Akankah kugali kupendam dalam
Kapan bulan terbit, bulat merah bagai kepi durhaka.

Analisis Puisi:

Puisi "Bulan Merah" karya Sugiarta Sriwibawa adalah karya yang menonjolkan keindahan dan kedalaman dalam menggambarkan tema kegelapan, kesadaran, dan pencarian makna dalam kehidupan melalui metafora dan imaji yang kaya.

Struktur dan Bentuk Puisi

Puisi ini memiliki struktur yang dinamis dengan penggunaan bait yang memberikan kesan melankolis dan reflektif. Gaya bahasa yang digunakan memadukan deskripsi visual dengan perasaan yang mendalam, menciptakan suasana yang penuh dengan kontemplasi dan misteri. Struktur puisi ini memungkinkan penyampaian tema yang kompleks secara efektif.

Tema dan Makna

Tema utama puisi ini adalah pencarian makna dalam kegelapan dan kesadaran, serta bagaimana pengalaman ini berhubungan dengan simbolisme bulan merah. Sugiarta Sriwibawa menggunakan berbagai metafora untuk mengeksplorasi perasaan keraguan, pencarian diri, dan hubungan antara kesadaran dan ilusi.
  • Kegelapan dan Kesadaran: Pernyataan "Benar engkaulah itu / Menjenguk-jenguk lurung sore" menggambarkan kehadiran atau entitas yang mengamati atau mempengaruhi keadaan emosional dan psikologis pembicara. Lurung sore dan layup hari yang waswas menciptakan suasana yang penuh dengan ketidakpastian dan keraguan.
  • Sarang Suara Hiba dan Pencarian Makna: Frasa "Bersarang di lembah suara hiba" menunjukkan bagaimana perasaan sedih atau melankolis menyelimuti pembicara. Ini juga mencerminkan pencarian makna yang dalam dan bagaimana perasaan tersebut membentuk pengalaman individu. Tetes dalam-dalam yang menelap mengidap melambangkan bagaimana kesedihan atau keraguan meresap ke dalam diri.
  • Matahari dan Harapan: Kalimat "Telah kuseru matahari / Meremas hariku luluh pelahan" menunjukkan bagaimana pencarian makna atau harapan dilakukan melalui simbol matahari, yang sering kali melambangkan pencerahan atau pengetahuan. Proses perlahan dan suar-suar lewat matamu mencerminkan bagaimana pencerahan atau harapan muncul secara bertahap.
  • Kursi dan Keterasingan: Frasa "Sebuah kursi untukmu, duduklah menjenguk" menciptakan gambaran tentang penantian dan keterasingan. Kursi kosong untuk seseorang yang diharapkan atau diidamkan menggambarkan keinginan untuk kehadiran atau pemahaman yang lebih dalam, sementara "lengang pasti sosok tubuh dambaku" menunjukkan rasa kosong atau kehilangan.
  • Wahyu Angan dan Kembara Kesabaran: "Engkaukah ini yang membenarkan wahyu angan" menggambarkan pencarian makna dan pemahaman yang dalam, dengan harapan bahwa pengalaman ini dapat memberikan pencerahan atau wahyu. "Mendengar kembara dari pedih kesabaran" menunjukkan bagaimana kesabaran dan penderitaan membentuk perjalanan pencarian diri.
  • Bulan Merah dan Makna Terakhir: Akhir puisi dengan "Kapan bulan terbit, bulat merah bagai kepi durhaka" menyimpulkan dengan simbol bulan merah sebagai metafora untuk sesuatu yang menantang atau bertentangan dengan norma. Bulan merah yang "kepi durhaka" menggambarkan sesuatu yang tidak lazim atau mengganggu, memberikan sentuhan akhir pada refleksi tentang pencarian makna dan kesadaran.

Gaya Bahasa dan Imaji

Sugiarta Sriwibawa menggunakan bahasa yang puitis dan deskriptif untuk menciptakan gambaran visual dan emosional yang kuat. Imaji seperti "lurung sore," "lembah suara hiba," dan "bulan merah" memberikan kesan yang mendalam dan misterius, memungkinkan pembaca untuk merasakan perasaan dan pengalaman yang digambarkan dalam puisi ini.

Penggunaan metafora yang kaya, seperti kursi kosong, matahari, dan bulan merah, menambah kedalaman puisi ini dan membantu menyampaikan tema-tema besar tentang pencarian makna dan kesadaran. Bahasa yang digunakan menciptakan suasana yang reflektif dan penuh dengan kontemplasi, memperkuat pesan yang ingin disampaikan.

Interpretasi Pribadi

Puisi ini dapat diartikan sebagai refleksi mendalam tentang pencarian makna dalam kegelapan dan kesadaran. Sugiarta Sriwibawa mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana pengalaman emosional dan simbolisme kosmik dapat membentuk pemahaman kita tentang kehidupan dan eksistensi.

Melalui puisi ini, pembaca diundang untuk mempertimbangkan bagaimana mereka menghadapi keterasingan, keputusasaan, dan pencarian makna, serta bagaimana simbolisme bulan merah dapat mencerminkan tantangan dan konflik dalam pencarian ini.

Puisi "Bulan Merah" adalah puisi yang mendalam dan penuh dengan simbolisme, yang berhasil menyampaikan tema-tema besar tentang kegelapan, kesadaran, dan pencarian makna melalui bahasa yang puitis dan deskriptif. Sugiarta Sriwibawa menggunakan metafora dan imaji yang kuat untuk mengeksplorasi pengalaman emosional dan spiritual, mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana mereka berhubungan dengan makna dan kesadaran dalam kehidupan mereka.

Puisi ini menawarkan pandangan yang mendalam tentang bagaimana pencarian makna dapat melibatkan perasaan keraguan, keterasingan, dan penantian. Dengan gaya bahasa yang reflektif dan deskripsi yang emosional, puisi ini mengundang pembaca untuk mengeksplorasi pengalaman mereka sendiri dan bagaimana mereka mencari pencerahan dan pemahaman dalam perjalanan hidup mereka.

Puisi
Puisi: Bulan Merah
Karya: Sugiarta Sriwibawa

Biodata Sugiarta Sriwibawa:
  • Sugiarta Sriwibawa lahir di Surakarta, pada tanggal 31 Maret 1932.
© Sepenuhnya. All rights reserved.