Puisi: Stasiun Payakumbuh (Karya Bambang Widiatmoko)

Puisi "Stasiun Payakumbuh" karya Bambang Widiatmoko menggambarkan suasana di sebuah stasiun kereta api yang kini telah tidak berfungsi lagi .....
Stasiun Payakumbuh


Stasiun pun kini telah mati
Menghembuskan nafasnya – ketika rel
Diangkat dari jalan panjang yang sunyi
Jangan bicara tentang jasa
Karena jelaga hitam sisa tungku
Sudah tak ada
(Merajut cerita seperti ular
Merayap di hutan bukit barisan)

Aha, stasiun pun bisa mati
Tak mengingat jasa ribuan jiwa kerja rodi
Tapi di stasiun ini
Barisan semut menggotong remah roti
Selalu melewati loket tanpa tiket


Analisis Puisi:
Puisi "Stasiun Payakumbuh" karya Bambang Widiatmoko menggambarkan suasana di sebuah stasiun kereta api yang kini telah tidak berfungsi lagi. Melalui bahasa metaforis dan imajinatif, penyair menyampaikan perasaan kehilangan dan kenangan dari masa lalu.

Suasana Mati dan Sunyi Stasiun: Penyair menggambarkan stasiun sebagai tempat yang kini telah mati dan sunyi. Rel kereta api telah diangkat dari jalur yang panjang dan sunyi, menciptakan kesan sepi dan terlantar.

Tidak Ada Jasa yang Diingat: Penyair menekankan bahwa tidak perlu membicarakan tentang jasa stasiun tersebut, karena jelaga hitam sisa tungku sudah tak ada. Hal ini menggambarkan bahwa apapun jasanya, stasiun kini telah ditinggalkan dan terlupakan.

Mengajukan Pertanyaan: Penyair menyajikan pertanyaan retoris tentang kemungkinan sebuah stasiun bisa mati dan tidak mengingat jasa ribuan jiwa yang pernah bekerja di sana. Pertanyaan ini mengeksplorasi ironi dan kontradiksi tentang bagaimana kenangan dan jasa bisa diabaikan atau dilupakan.

Simbolisme Semut dan Remah Roti: Penyair menggunakan simbolisme semut yang menggotong remah roti untuk menunjukkan betapa sederhana dan tidak bernilai jasa atau upaya yang ada di stasiun ini. Meskipun ada barisan semut yang selalu melewati loket tanpa tiket, namun semut dan remah roti ini juga mencerminkan bagaimana kehadiran manusia dan jerih payahnya diabaikan atau tak dihargai.

Gambaran Metaforis: Puisi ini menggunakan bahasa metaforis dan imajinatif dalam menggambarkan suasana stasiun yang mati dan sunyi. Penyair merajut cerita seperti ular yang merayap di hutan bukit barisan, menciptakan gambaran yang indah dan menyiratkan perasaan nostalgia dan melankoli.

Puisi "Stasiun Payakumbuh" menyampaikan perasaan kehilangan dan melankoli terhadap sebuah stasiun yang kini telah mati dan sunyi. Melalui bahasa metaforis dan simbolisme, penyair menyajikan gambaran yang mendalam tentang bagaimana suatu tempat dan jasa-jasanya bisa dilupakan atau diabaikan oleh waktu. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan makna dan pesan yang tersirat di balik kata-kata yang indah dan penuh imajinasi.

Puisi: Stasiun Payakumbuh
Puisi: Stasiun Payakumbuh
Karya: Bambang Widiatmoko
© Sepenuhnya. All rights reserved.