Puisi: Setelah Sukma Meletih (Karya J. E. Tatengkeng)

Puisi "Setelah Sukma Meletih" karya J. E. Tatengkeng mengajak pembaca untuk merenungkan pengalaman mereka sendiri dalam menghadapi kegelapan dan ...
Setelah Sukma Meletih

Setelah sukma lemah letih,
Ya, Tuhan,
Setelah kucari keliling alam
'kan penghiburan,
Tapi tinggal menusuk arus di hati,
Gelaplah jiwa, tetaplah malam,
Karna kurasa terpisah, tersendirian,
O, Bapakku,
Kini aku di pinggir curam,
Peganglah tanganku.

Hantarkan daku ke tasik perdamaian,
Curahkan Roh terangmu di kalbuku,
Luaskan daku bernaung di sisi Tuhanku.

Analisis Puisi:

Puisi "Setelah Sukma Meletih" karya J. E. Tatengkeng merupakan sebuah karya yang menyelami kedalaman emosi dan pencarian spiritual yang mendalam. Dalam puisi ini, Tatengkeng menggambarkan perjuangan batin yang dialami seseorang ketika merasa lelah secara spiritual dan mencari kedamaian serta penghiburan dari Tuhan. Melalui bahasa yang puitis dan penuh perasaan, puisi ini mencerminkan tema keruhanian, keputusasaan, dan harapan akan pemulihan.

Struktur dan Makna Puisi

Puisi ini memiliki struktur yang sederhana namun efektif dalam menyampaikan perasaan mendalam. Tatengkeng menggunakan bahasa yang langsung dan kuat untuk mengekspresikan perjalanan spiritual dan permohonan kepada Tuhan.

Keletihan Spiritual

Puisi dimulai dengan ungkapan keletihan dan pencarian:

"Setelah sukma lemah letih,
Ya, Tuhan,
Setelah kucari keliling alam
'kan penghiburan,"

Bagian ini menggambarkan kondisi spiritual yang melelahkan dan usaha yang telah dilakukan untuk menemukan penghiburan. "Sukma lemah letih" menandakan kelelahan batin yang dialami setelah upaya panjang mencari arti dan ketenangan. Pencarian "keliling alam" mencerminkan usaha yang dilakukan untuk menemukan kedamaian di luar diri sendiri, namun hasilnya tetap tidak memuaskan.

Kegelapan dan Kesendirian

Bagian berikut mengungkapkan perasaan kegelapan dan kesendirian:

"Tapi tinggal menusuk arus di hati,
Gelaplah jiwa, tetaplah malam,
Karna kurasa terpisah, tersendirian,"

Tatengkeng menyampaikan rasa gelap dan kesepian yang dirasakan. "Menusuk arus di hati" menggambarkan ketidakmampuan untuk menemukan jalan keluar dari perasaan tersebut, sementara "gelaplah jiwa, tetaplah malam" menunjukkan keadaan spiritual yang tidak menyenangkan dan rasa terasing dari Tuhan.

Permohonan dan Harapan

Puisi ini diakhiri dengan permohonan dan harapan untuk mendapatkan bimbingan dan kedamaian:

"O, Bapakku,
Kini aku di pinggir curam,
Peganglah tanganku.
Hantarkan daku ke tasik perdamaian,
Curahkan Roh terangmu di kalbuku,
Luaskan daku bernaung di sisi Tuhanku."

Bagian ini merupakan puncak emosional dari puisi, di mana Tatengkeng meminta bimbingan dari Tuhan. "Pinggir curam" melambangkan posisi yang tidak aman dan penuh risiko dalam perjalanan spiritual. Permohonan untuk "memegang tangan" dan "menghantarkan ke tasik perdamaian" menunjukkan keinginan mendalam untuk mendapatkan bimbingan dan ketenangan. "Curahkan Roh terangmu" mencerminkan harapan untuk mendapatkan pencerahan dan kedamaian dari Tuhan.

Emosional

Puisi ini menyampaikan perasaan keputusasaan dan kerinduan akan kedamaian spiritual. Keletihan yang digambarkan menunjukkan perjuangan batin yang mendalam, sementara permohonan di akhir puisi mencerminkan kebutuhan mendalam akan bimbingan dan dukungan ilahi. Tatengkeng menggunakan metafora seperti "pinggir curam" dan "tasik perdamaian" untuk menggambarkan situasi emosional dan spiritual yang dihadapi.

Puisi "Setelah Sukma Meletih" karya J. E. Tatengkeng adalah puisi yang mengeksplorasi tema keletihan spiritual dan pencarian kedamaian. Melalui bahasa yang kuat dan metafora yang menggugah, puisi ini menawarkan pandangan mendalam tentang perjuangan batin dan keinginan untuk mendapatkan bimbingan ilahi. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pengalaman mereka sendiri dalam menghadapi kegelapan dan mencari kedamaian dalam kehidupan spiritual mereka.

Puisi J. E. Tatengkeng
Puisi: Setelah Sukma Meletih
Karya: J. E. Tatengkeng

Biodata J. E. Tatengkeng:
  • J. E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng) adalah salah satu penyair Angkatan Pujangga Baru. Nama panggilan sehari-harinya adalah Om Jan.
  • J. E. Tatengkeng lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907.
  • J. E. Tatengkeng meninggal dunia di Makassar, 6 Maret 1968 (pada umur 60 tahun).

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.