Puisi: Rumah Penuh Bunga (Karya Fridolin Ukur)

Puisi "Rumah Penuh Bunga" karya Fridolin Ukur mengajarkan kita tentang keteguhan hati dan makna cinta sejati yang melampaui waktu dan kematian.
Rumah Penuh Bunga
Sri bersandar manja di bahuku
mengenang 10 tahun pernikahan

(I)

Di sanggulmu mekar bunga
selincah matamu tertawa
jejari kita berpegangan
ketika nikah ini diteguhkan

tiba waktunya berlutut di depan altar
restu harapan membubung naik
bersama khidmat keramat doa;
terasa kudus di ubun-ubun tangan pendeta
menyentuh, menggumami berkat
sepenuh khusuknya nada
kita berdua menjadi senyawa

tiada riuh, tiada tawa
di kekudusan gereja tua
di hati kita sarat bunga-bunga
pada awal hidup berdua
meyakini gemilangnya janji setia

(II)

Selesai upacara
kaupeluk bundaku
kucium ibumu;
ibuku adalah ibumu
bundamu adalah bundaku
berderai beningnya air mengaca, berkisah
di pasangan mata kedua bunda:
bahagia bergejolak di ruang kalbu
gitanya mendambai sudut beledu

(III)

Rumah kita penuh bunga
semaraknya rona bahagia
meriahnya pesta kita
pesta kawin cinta

sepuluh tahun hidup ini kita jalani
duri tidak melukai
kerikil tajam tidak menyakiti

sepuluh tahun hidup ini kita jalani
yang tinggi-tinggi kita daki
yang curam-curam kita turuni

kita terus jua tertawa
biar rahimmu belum berbunga
mengurai kandungan yang didamba!

rumah kita masih penuh bunga
bunga cinta, kembang setia; hanya
kedua bunda sudah tiada
tersenyum mereka bersisian pusara
di desa tercinta, karena
rumah kita tetap penuh bunga

Banjarmasin, 11 Juli 1969

Analisis Puisi:

Puisi "Rumah Penuh Bunga" karya Fridolin Ukur adalah sebuah karya yang mengisahkan tentang perjalanan cinta, pernikahan, dan kehidupan keluarga. Melalui bahasa yang lembut dan penuh makna, Ukur menghadirkan suasana kehangatan dan keabadian cinta yang diwarnai oleh kebersamaan dan kenangan.

Bagian I: Keagungan Awal Pernikahan

Bagian pertama puisi ini mengisahkan momen awal pernikahan, saat dua insan bersatu di hadapan altar. Gambarannya begitu indah dan syahdu, menonjolkan momen sakral ketika janji suci diucapkan. Metafora bunga di sanggul dan mata tertawa menggambarkan kebahagiaan dan harapan masa depan yang cerah.

Kehadiran gereja tua sebagai latar menambah kesan kudus dan sakral dalam puisi ini. Saat memanjatkan doa dan mendapat restu dari pendeta, kedua mempelai merasa penuh berkat. Penggunaan kata "kudus di ubun-ubun" dan "senyawa" menggambarkan betapa momen itu merupakan perpaduan spiritual yang mengikat dua jiwa menjadi satu.

Bagian II: Ikatan Keluarga dan Keterikatan Emosional

Pada bagian kedua, fokus puisi bergeser dari pasangan ke hubungan keluarga yang lebih luas. Ada momen haru ketika kedua mempelai memeluk orang tua masing-masing, mencerminkan perpaduan dua keluarga menjadi satu kesatuan yang erat.

"Ibuku adalah ibumu, bundamu adalah bundaku": Ungkapan ini menunjukkan transformasi peran keluarga yang terjadi dalam pernikahan, di mana ibu masing-masing pihak menjadi bagian dari satu keluarga besar. Ini adalah simbol dari penerimaan dan keterikatan emosional yang mendalam antara kedua keluarga.

Bagian ini menekankan bahwa pernikahan bukan hanya tentang penyatuan dua orang, tetapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda. Perasaan haru dan kebahagiaan membaur ketika air mata jatuh, mengekspresikan cinta, harapan, dan restu yang tulus.

Bagian III: Refleksi Sepuluh Tahun Pernikahan

Bagian ketiga dari puisi ini menjadi pusat dari keseluruhan karya, di mana refleksi terhadap sepuluh tahun perjalanan pernikahan dibahas. Fridolin Ukur menggunakan simbol "rumah penuh bunga" untuk menggambarkan rumah tangga yang bahagia dan penuh cinta, meskipun ada tantangan yang harus dihadapi.

"Rumah kita penuh bunga, semaraknya rona bahagia": Frase ini menyimbolkan keindahan dan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan. Meskipun ada duri dan kerikil tajam, mereka tidak mampu melukai atau menghancurkan cinta yang sudah terbina.

Namun, di balik keindahan bunga cinta dan kesetiaan, ada duka yang terasa ketika kedua bunda (ibu dari pasangan) sudah tiada. Tetapi, cinta dan kenangan mereka tetap hidup, menggambarkan bagaimana kehidupan terus berlanjut meski kehilangan datang.

"Rumah kita tetap penuh bunga": Ini adalah refleksi tentang kekuatan cinta yang mengatasi kehilangan dan kesedihan. Kehilangan orang-orang tercinta tidak meredupkan cahaya cinta di rumah tersebut; justru, cinta semakin kuat dan abadi.

Tema dan Simbolisme

Puisi ini kaya akan simbolisme dan tema. Fridolin Ukur menggunakan metafora bunga untuk mewakili cinta, kesetiaan, dan kebahagiaan yang abadi dalam pernikahan. "Bunga" di sini juga melambangkan pengharapan, harapan yang belum terwujud, seperti kandungan yang belum berbunga. Namun, harapan dan kesetiaan tetap ada, membuktikan bahwa cinta tidak selalu bergantung pada hasil yang kasat mata, melainkan pada proses dan perjalanan.
  • Tema Kekuatan Cinta dan Kesetiaan: Puisi ini menekankan bahwa cinta dan kesetiaan dapat bertahan dan bahkan berkembang, meski dihadapkan dengan berbagai rintangan, seperti ketidakpastian hidup, tantangan, dan kehilangan.
  • Tema Kehidupan dan Kematian: Kehilangan orang tua digambarkan dengan penuh keindahan dan penerimaan. Meskipun mereka sudah tiada, kenangan dan cinta mereka tetap hidup, mengindikasikan bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan waktu dan ruang.
Puisi "Rumah Penuh Bunga" karya Fridolin Ukur adalah puisi yang sangat kaya akan makna dan simbol. Karya ini tidak hanya menggambarkan kebahagiaan dan kebersamaan dalam pernikahan, tetapi juga menyoroti pentingnya cinta, kesetiaan, dan ketabahan dalam menghadapi kehidupan. Ukur dengan indah menunjukkan bahwa rumah yang penuh bunga bukan hanya tentang kehadiran fisik bunga, tetapi tentang cinta yang abadi dan kenangan yang tetap hidup meski rintangan datang. Puisi ini mengajarkan kita tentang keteguhan hati dan makna cinta sejati yang melampaui waktu dan kematian.

Puisi Terbaik
Puisi: Rumah Penuh Bunga
Karya: Fridolin Ukur

Biodata Fridolin Ukur:
  • Fridolin Ukur lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 1930.
  • Fridolin Ukur meninggal di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2003 (pada umur 73 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.