Puisi: Nisbah (Karya Bahrum Rangkuti)

Puisi "Nisbah" karya Bahrum Rangkuti menghadirkan serangkaian pertanyaan filosofis tentang keberadaan, hakikat, dan peran manusia dalam kehidupan.
Nisbah


Malam mendekati akhir gelita
Nur Bintang Thariq belum
Menguntum dalam dada Insan

Masih ada bersedap-sedap senja
Ingin dulu ngambang seketika
Dalam lonjak meluap perlahan

Mumpung waktu masih harum
Dan bibir muda suka mengundang
Dibawa fana mengatas kesinian

Hilang segala sejenak
Anak dan belahan jiwa

zaman ini penuh gerak
Membina membanting tulang

Sebagian mengasyiki yang gampang saja
Tak jauh dari batang pisang

Ada juga mabuk di kaisan jari
Menghilang batasan
Antara sana dan sini

- Jangan ketinggalan! -

Jika perlu dirangkul qudrah

Mau menikmati nasi kebuli?
Ambil kuah. Rasanya maju dan mewah

Sebelum datang taufan beliung
Dan langit menyerang
Reguklah madu

Anak-anak Toba berjanji
- Dorguk tuak mi! -
Minum-minum sampai pagi
Akhirnya terhuyung-huyung

Sebentar lagi ayam berkokok
Kita pun tidur seronok

Hanya Ja Pongki mutar-mutar biji
Tasbih dan uang di ujung kuku
Bininya ingin dirayu

Haji mabrur? Ya... Inilah karunia
Bersusah payah ke padang pasir
Melihat tapal: Ibrahim dan Hadjir

Kita bekerja menuang
Minyak dari tangki ke drum. Buka pangkalan
Di luar kota. Nampung jombol di Pantai
Karya. Kau isi mereka
Dengan ayat suci

(Minyak bumi dan minyak samawi
Bisakah kedua-duanya sama menyala
Turun dari atas dan naik dari bumi?)

Kadang kala aku ke DPR Gotong Royong
Ikut ngomong
Siapa sinting? Maksiat dan korupsi
Berhari-hari menilai angka sakti pelita

Sudah berapa hutang-hutang kita?
Atau diajak ke ujung-ujung pulau
Sampai rimba terpencil

Di sini azan tak ada mengimbau
Perempuan muda menggigil
Keloyang menebang meranti
Jika tak disauk Nihonggo naru

(Siapa mau tahu?)

Mau sake dan Honda?
Beri kami onna
Dan kita mengelus dada

Di Makassar kutemui teman lama
Dulu hampir putus asa. Terdampar
Di Wadi Fatma. Cintanya buyar
Lalu nekat. Mau hidup menyendiri
Di tengah-tengah orang Badui

- Ta'aal ya habibi
Anta bi manzilati -
Kutuntun ia ke Jeddah
Pulang dengan kapal setia budi
Kini ia sering 'nengadah
Mencari cinta hakiki

Apakah di balik tabir ini?
Realitas atau hanya Fata Morgana
Terasa tak ada Nisbah
Seuntai antara nanti dan kini
Ah pikiran dipisah oleh angka
Angka tak terjangkau
Menghibur ke itu-itu jua
Berpusing-pusing tak menentu
Jauh dari Irfan

Orang ogah menggali dalam-dalam
Lebih condong pada foya
Pesta pora
Dan batu pualam
Remaja resah menunggu hari malam
Sedap nian di Bina Ria
Syur meluncur sepanjang pantai
laut dan gadis membadai

Di manakah inti kalau begitu?
Digoyang janggut tukang cerita
Seribu Satu Malam
Atau diangguk
Pak Haji berkuliah subuh?
Suaranya melengking bertalu-talu
Jemaah terkantuk-kantuk
- Amboi takkah ada kopi panas
Tak lama lagi, masuk kantor, Buya
Mengapa hujan makin deras? -

Terkapar di bawah abu?
Siapa menolong si lunta-lunta
Tersintak sayang
Ibu bapak?
Siapa mengajak si malang
Berumah
Lama sudah tiada berdaya?
Siapa memilih
Martabat sahaya
Selama ini hidup tertindih?

Inilah jalan 'Aqabah
Sejak dulu
Ajaran Nabi dan datu-datu

Tidak semudah melagukan wahyu
Tiap tahun melihat Ka'bah
Air zam-zam pembasuh kalbu
Dada dibedah
Dari waktu ke waktu

Merambah belukar
Dan hati insani
Menyala mahabbah
Di wilayah sekitar

Melenyap onak, duri dan nista
Sayang, Si Penegak Rohani
Membuang-buang waktu
Ditelan bual
Bacot membuntu

Kadang membuntu cinta
Penuh khayal
Dalam gaya bermacam aksi
Mengharap surga di Akhirat nanti
Empat puluh bidadari
Untuk laki-laki
Tidak mau tahu
Betapa nasib bini
Apakah juga dapat Malaikat
Atau mambang
Ataukah hilang,
Tersebut
Di bintang Utari

Dalam mimpikan
Perawan-perawan suci
Tak kunjung di jamah
Jin dan manusia
Mereka memburu pelangi
Di lembah bidadari
Tak pusing ummat hampir semaput
Oleh senyum dan pagut
Penari, hostess dan ratu ayu

Syeithan-syeithan menggelinding
Uang haram menggerincing

Aduhai, mengapa tak diajar kenal
Siapakah Sang Jaya
Melindungi insan di bumi
Hingga temannya
Sang Pengawal Alam Semesta?

Di manakah engkau, abdi hakiki
Eli-eli lama sabakhtani?

Ya ayyuha'nnaas, - Hai manusia
Kau sendiri menggarap
Tubuhmu dari sini.
Disana kelak jadi Wahana
Menemui wajah yang dicintai

Sebelum muncul malammu
Mendadak sentak bernaunglah
Di bawah sayap
Sang Jaya berbilang enam ratus
Di indera Al-Mustafa
Dalam Mi'raj ke Pohon Lotus
Terjauh antero cahaya
Atas cerah

Dan perhatikan Jin Ifrit
Pendukung api sejak Sulaiman
Kini datang membersit
Dari gunung ke pantai

'nembusi taufan dan badai
Ia berteman
Dajjal si Mata satu, Pengembara
Dari kutub ke kutub
Ia beriman kepada Tuhan
Tapi jangan sebut Ia berbicara

Hanya bertakhta dalam pikiran
Sifatnya dalam hadist termaktub

Ifrit jago menyerang
Dari depan dan belakang
Mengalih barisan
Dari kiri ke kanan

Ghaib atau terang-terangan

Ia perkasa, terampil dan punya sarana
Al-Mustafa pun pernah dicegah
Olehnya waktu beribadah
Hanya Do'a dan kesucian
Membuatnya lesu tak bertenaga

Dajjal lihai
Suka membujuk kadang menghardik
Luhur dalam menilai
Ulung membina dalam sedetik

Insan silau pada cerlang lahiriah
Tak kunjung sampai pada esensi

Teman mereka Iblis Sang Piawai
Mengesan dalam ajakan
Mau menolong insan sementara
Kadang membantu jin
Dan di tengah-tengah murba
Bisa makan nasi ta'jin

Dahsyat cita-citanya berkilim ambisi
Hitam dituang putih
Putih disunglap hitam
Ahli mengendalikan kondisi
Khalayak berjam-jam
Terpukau oleh turun naik suaranya

Gelita seolah-olah beralih
Ke cahaya berpendar...
Ifrit, Dajjal dan Iblis asuhan
Sang Syeithan, Baginda kelam
Pernah bersumpah
Di puncak angkasa
Menipu insan walau dimana
Agar putus Nisbah dengan Akhirah
Dan di antara manusia

Minat tertunjam
Pada untung pribadi

Insan dirangsang mabuk malam

Di dunia Hayat membusa
Yang nanti tak memberi apa-apa
Hanya impian kosong
Di siang bolong

Bumilah surga.....

Demi Pohon Tin, Zaitun, Tursina

Dan negara melimpah ruah ini.
Empat tahap Sejarah
Manusia saling mempengaruhi hingga kini
Dan pernah kita renungkan
Betapa luas pemberian samawi?

Lepas dari buruan suku-suku
Nongol atas tongkin sekitar
Sungai Salwin Mokhong.
Leluhur menyebar
Dalam perahu-perahu cadik dari Malagashi
Ke Rapanui

Menantang bahaya
Mematah bambatan bertubi-tubi
Hingga bermukim di sini
Negeri Pulau Lautan Bersinar
Baskara

Dapatkah diingkari ke semuanya ini?

Seperti Nenek Moyang Rohani
Ribuan tahun berselang
Ibrahim, Poyang
Para nabi
Mengungsi dari U-Khaldea
Wilayah dua sungai pula
Ke Kanaah Palestina
Menurunkan Ismail
Hajir di Faran
Bukit-bukit pasir Arabia
Mereka berteman Jibril

Menyebar Tauhid
Persaudaraan di antara manusia

Kita pun disemai bibit
Kecintaan pada yang Tunggal
Segala oleh duta-duta langit
Di Nusantara
Dapatkah diingkari semuanya ini?

Timur dan Barat bersatu di sini
Gunung-gunung silih berganti
Datang memental
Dan berkerak hilang
Berdiri yang baru
Dalam kandungan waktu

Sang Nisbah menggema
Di ujung lidah datu-datu
Memancar dari sang Muttaqi

Membantu kita berkali-kali
Menghadapi bahaya
Si Mongol purba dan mutakhir
Juga wakil-wakil Ya' Juj di Selatan ini

Air tak putus mengalir
Anak-anak kita terkapar di hutan-hutan
Irian dan Arafuru

Masih adakah bencana memburu?

Sejak lama diam-diam
Muncullah Ma' Juj si Jahannam
Bagai pencuri waktu malam
Ia meruak di empat benua

Lebih gesit dari Ifrit dan Iblis
Lebih hebat dari Dajjal
Sebagai murid pertama Sang Syeithan
Dipikatnya hati nurani insan
Dengan manik, mutu, maknikam
Mengimbau bagi buluh perindu
Kadang seperti burung nilam

Ia pilu menangis
Melihat nasib si Miskin
Hidup di tubir terjal
Sering ia bertanya
Kapankah mendusin?

Jadilah pahlawan dan Srikandi
Jadilah tukang sepatu dan penari

Di Senayan hingga tampak siring
Tapi jauhi si tukang Nisbah
Kelompok keloyo dan sinting
Mau menghubung bumi dengan langit?

Itu kultus si Lemas
Dan Orang-orang malang
Yakinlah
Kerajaan Buruh sedunia
Pasti datang

Kita akan berkuasa
Meruntuh gunung
Dan laut kita bendung

Akan kita sintakkan harta
Dari si Kaya
Kita bagi sama rata
Bagi hidup bersama

Inilah tekad kita
Dari dulu sampai kini
Tuhan ialah materi....

Ma' Juj mimpi mabuk pitam
Lama Mengail di Wolga dan Hoang Ho
Belum tau khasiat Musi dan Barit

Sebagai anak-anak gelita malam
Ingin menguasai Ibu Pertiwi
Tidak mengindahkan kata-kata Ronggo Warsito

Memonopoli Revolusi
Dalam isi dan arti

Dalam pertarungan ke tepi jurang
Tandas dan cepat ia patah rahang
Terguling terkulai

Bencana 'lah lalu
Hanya tinggal mengupas sisa
Akar berantai

Negara
Sedang membangun
Tegak berdiri
Dari lena
Zaman ratusan tahun

Pebilakah mau
Mendekatkan Langit dan Bumi
Walau jin membakar mercon
Atas Semanggi

Penyelundupan di Ujung Kulon?

Kerap kali Syeithan jadi bunglon
Insan hanya bisa nonton

Lihat mereka menari-nari
Khalayak menggelinting
Tak tahu nak kemana
Jalan bersimpang siur

Akhirnya babak belur
Letusan dimana-mana

Ifrit, Iblis tertawa lebar
Dajjal 'njoget gembira

Gadis bersanggul buntut kuda
Menggandeng pacar
Bercelana jengki

Ke Bina Ria atau ke neraka?
Di sana tidak ada wali kota
Hanya madu dan kepiting

Ada bapak muak bising
Lalu rileks semalam dua
Di Puncak atau di Cilincing

Berapa sudah kau punya kancing?

Malam itu kita ke Cipete
Hujan 'lah berhenti
Masjid Azhar dingin sepi

Anak-anak jin pada ngebut. Aje Gile!
Mencari teman. Kemana?

Di balik-balik lumpur dan lubang
Lewat pohon ketapang
Kita temui mereka
Laki bini cemerlang

Bertanya, - Kapan mulai?
Kau jawab, - Mari bersama di Pondok Cabe.....


21-1-1971

Analisis Puisi:
Puisi "Nisbah" karya Bahrum Rangkuti adalah sebuah karya yang penuh dengan lapisan makna, simbol, dan pertanyaan filosofis tentang kehidupan, agama, dan kondisi manusia secara keseluruhan. Melalui aliran pikiran yang kompleks dan ragam referensi, puisi ini mengeksplorasi beragam tema dari kehidupan sehari-hari hingga konsep spiritualitas, dan sejarah.

Kompleksitas Pemikiran: Puisi ini menghadirkan serangkaian pertanyaan filosofis tentang keberadaan, hakikat, dan peran manusia dalam kehidupan. Penyair menyampaikan pesan tentang kekacauan kehidupan, menyoroti berbagai aspek dari hubungan antara manusia dan alam, hingga konflik antara materi dan spiritualitas.

Metafora dan Simbolisme: Penyair menggunakan metafora dan simbolisme yang kompleks, seperti sungai, bintang, dan kisah-kisah agama, untuk menggambarkan keadaan kehidupan. Kehidupan sehari-hari digambarkan melalui beragam situasi, mulai dari kehidupan masyarakat hingga pengalaman pribadi.

Refleksi Spiritualitas: Ada penekanan pada aspek spiritualitas dalam puisi ini, dengan merujuk pada ajaran agama dan pertanyaan tentang keberadaan manusia di dunia ini. Konflik antara dunia material dan spiritual terungkap dengan kuat, menyiratkan ketegangan antara keinginan manusia akan kebahagiaan duniawi dan pencarian makna spiritual.

Kritik Sosial: Puisi ini juga mengandung unsur kritik sosial, menggarisbawahi persoalan-persoalan sosial, politik, dan moralitas dalam masyarakat. Hal ini tercermin dari referensi terhadap kehidupan sehari-hari, isu korupsi, kegelisahan remaja, hingga realitas konflik politik yang memengaruhi kehidupan.

Penutup yang Ambigu: Puisi berakhir dengan serangkaian pertanyaan yang meninggalkan pembaca dengan kesan ambigu. Dengan berbagai makna yang terbuka, penyair meninggalkan ruang bagi refleksi, tafsir pribadi, dan kontemplasi bagi pembaca.

Puisi "Nisbah" adalah sebuah karya yang penuh dengan kompleksitas, menawarkan pandangan dalam mengenai kehidupan, spiritualitas, dan kondisi manusia secara keseluruhan. Dengan gaya yang mengalir dan penuh makna, puisi ini menantang pembaca untuk merenungkan makna keberadaan dan peran manusia dalam dunia ini.

Bahrum Rangkuti
Puisi: Nisbah
Karya: Bahrum Rangkuti

Biodata Bahrum Rangkuti:
  • Bahrum Rangkuti lahir pada tanggal 7 Agustus 1919 di Galang, Deli Serdang, Sumatra Utara.
  • Bahrum Rangkuti meninggal dunia pada tanggal 13 Agustus 1977 di Jakarta.
  • Bahrum Rangkuti adalah salah satu Sastrawan Angkatan '45.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.