Puisi: Kereta Kencana (Karya Sugiarta Sriwibawa)

Puisi "Kereta Kencana" menawarkan pandangan yang mendalam tentang bagaimana pengalaman akhir dapat melibatkan perasaan penyesalan, keterasingan, ...
Kereta Kencana

Kereta janazah, kami duduk bersanding dengan sawur kembang mempelai

Pejamlah, debar darah sesal karena was-was kehendak suara
Jiwa mengetuk asing, tapi suara tinggal melampung-lampung

Telapak tangan waktu yang mengusap pucat
Mengapa merindukan wajah hari penghabisan
Dengan gemetar mengenakan kalung sungkawa karangan bunga

Kita lewat daerah, di mana-mana penduduk tinggal mengeluh
Wabah dendam pada mereka yang berebut hidup
Dengarlah, mereka pun orang sahid yang luput kecewa

Sawurlah kembang, aku dengar gema mereka, betapa jauhnya
Bagai hujan riris pada tanah mandul yang pernah terkutuk
Kita di kereta jenazah, kita sawurkan kembang mempelai

Tiada kubur kiranya, temanten larung dari tanah wabah
Suara kami asing yang menggapai tangan waktu
Kita gali, wahai – terasa denyar nadinya di saat terakhir.

Sumber: Garis Putih (1983)

Analisis Puisi:

Puisi "Kereta Kencana" karya Sugiarta Sriwibawa adalah karya yang sarat dengan simbolisme dan refleksi mendalam tentang kematian, kesedihan, dan perpisahan. Melalui penggunaan metafora dan bahasa yang kuat, puisi ini mengeksplorasi tema-tema besar tentang kehidupan dan kematian, serta bagaimana manusia berhadapan dengan pengalaman terakhir.

Struktur dan Bentuk Puisi

Puisi ini terdiri dari beberapa bait dengan gaya bahasa yang puitis dan deskriptif. Struktur puisi ini memungkinkan eksplorasi tema-tema besar secara mendalam, dengan penggunaan metafora dan imaji yang memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Gaya bahasa yang digunakan menciptakan suasana melankolis dan reflektif, memperkuat makna puisi.

Tema dan Makna

Tema utama puisi ini adalah kematian dan perpisahan, serta bagaimana manusia menghadapi pengalaman terakhir mereka. Sugiarta Sriwibawa menggunakan simbolisme kereta jenazah dan sawur kembang untuk menggambarkan perjalanan terakhir dan refleksi tentang kehidupan dan kematian.
  • Kereta Jenazah dan Sawur Kembang: Pernyataan "Kereta janazah, kami duduk bersanding dengan sawur kembang mempelai" menciptakan gambaran yang kuat tentang perjalanan terakhir, dengan kereta jenazah melambangkan kematian dan sawur kembang sebagai simbol perayaan dan penghormatan. Ini menggambarkan bagaimana kematian dan kehidupan sering kali dipandang berdampingan dalam tradisi dan ritual.
  • Jiwa dan Suara: Kalimat "Pejamlah, debar darah sesal karena was-was kehendak suara / Jiwa mengetuk asing, tapi suara tinggal melampung-lampung" menunjukkan perasaan penyesalan dan keraguan yang mendalam. Jiwa yang mengetuk asing mencerminkan keresahan dan ketidakpastian yang dirasakan dalam menghadapi kematian dan pengalaman akhir.
  • Telapak Tangan Waktu dan Penghabisan: "Telapak tangan waktu yang mengusap pucat" menggambarkan bagaimana waktu mempengaruhi kehidupan dan kematian, dengan tangan yang mengusap pucat menunjukkan akhir dari perjalanan hidup. Perasaan rindu akan "wajah hari penghabisan" menunjukkan kerinduan untuk memahami dan menerima akhir dari kehidupan.
  • Wabah Dendam dan Kehidupan yang Terganggu: Frasa "Kita lewat daerah, di mana-mana penduduk tinggal mengeluh / Wabah dendam pada mereka yang berebut hidup" mencerminkan kesedihan dan penderitaan yang melanda masyarakat. Wabah dendam menggambarkan konflik dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan, sementara penduduk yang mengeluh menunjukkan perasaan ketidakberdayaan dan keputusasaan.
  • Hujan Riris dan Tanah Mandul: "Gema mereka, betapa jauhnya / Bagai hujan riris pada tanah mandul yang pernah terkutuk" menunjukkan bagaimana perasaan kesedihan dan penyesalan menyebar seperti hujan yang tidak membawa kehidupan. Tanah mandul melambangkan kekosongan dan ketidakberdayaan, memperkuat tema kematian dan perpisahan.
  • Temanten Larung dan Denyar Nadi: "Tiada kubur kiranya, temanten larung dari tanah wabah" menggambarkan bagaimana kematian tidak memiliki tempat yang pasti atau tetap, dengan "temanten larung" melambangkan perpisahan dari kehidupan. "Suara kami asing yang menggapai tangan waktu" menunjukkan bagaimana suara dan pengalaman kita menjadi tidak teridentifikasi atau tidak relevan dalam akhir hayat.

Gaya Bahasa dan Imaji

Sugiarta Sriwibawa menggunakan bahasa yang puitis dan metaforis untuk menciptakan gambaran yang kuat tentang kematian dan kesedihan. Imaji seperti "kereta jenazah," "sawur kembang," dan "hujan riris pada tanah mandul" memberikan kesan visual dan emosional yang mendalam, memungkinkan pembaca untuk merasakan perasaan dan pengalaman yang digambarkan dalam puisi ini.

Penggunaan metafora yang kaya, seperti telapak tangan waktu dan wabah dendam, menambah kedalaman puisi ini dan membantu menyampaikan tema-tema besar tentang kematian, perpisahan, dan kesedihan. Bahasa yang digunakan menciptakan suasana yang reflektif dan melankolis, memperkuat pesan yang ingin disampaikan.

Interpretasi Pribadi

Puisi ini dapat diartikan sebagai refleksi mendalam tentang kematian dan bagaimana manusia menghadapi pengalaman akhir mereka. Sugiarta Sriwibawa mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kematian dan perpisahan berhubungan dengan kesedihan, penyesalan, dan pencarian makna dalam kehidupan.

Melalui puisi ini, pembaca diundang untuk mempertimbangkan bagaimana mereka merespons kematian dan perpisahan, serta bagaimana simbolisme dalam puisi ini dapat mencerminkan pengalaman mereka sendiri tentang akhir hayat dan perjalanan terakhir.

Puisi "Kereta Kencana" adalah puisi yang mendalam dan penuh dengan simbolisme, yang berhasil menyampaikan tema-tema besar tentang kematian, kesedihan, dan perpisahan melalui bahasa yang puitis dan deskriptif. Sugiarta Sriwibawa menggunakan metafora dan imaji yang kuat untuk mengeksplorasi pengalaman emosional dan spiritual, mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana mereka menghadapi kematian dan perpisahan dalam kehidupan mereka.

Puisi ini menawarkan pandangan yang mendalam tentang bagaimana pengalaman akhir dapat melibatkan perasaan penyesalan, keterasingan, dan pencarian makna. Dengan gaya bahasa yang reflektif dan deskripsi yang emosional, puisi ini mengundang pembaca untuk mengeksplorasi pengalaman mereka sendiri dan bagaimana mereka mencari pemahaman dalam perjalanan hidup mereka.

Puisi
Puisi: Kereta Kencana
Karya: Sugiarta Sriwibawa

Biodata Sugiarta Sriwibawa:
  • Sugiarta Sriwibawa lahir di Surakarta, pada tanggal 31 Maret 1932.
© Sepenuhnya. All rights reserved.