Puisi: Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (Karya Yudhistira A.N.M. Massardi)

Puisi "Ibu, Dunia Kita Jadi Abu!" menggambarkan kekacauan dunia dengan cermat serta menawarkan pencerahan dan harapan di tengah-tengahnya.
Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (1)


Ibu, dunia kita jadi abu, ada apa, Ibu?

Kita dicipta dari debu
Kini abu bertuba bertubi
Ibu mengiba abu
Desa-desa terkubur debu
Orang-orang mengabu
Ratusan ribu
Kota-kota kelabu

Abu berlumpur di kali
Abu berlumpur di kebun
Abu berlumpur di sawah
Abu berlumpur di sumur
Abu berlumpur di tubuh
Abu berlumpur di muka
Abu berlumpur di jiwa
Abu berlumpur di luka
Binasa


Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (2)

Ibu, tangismu abu
Airmata jadi debu
Rumah, ternak, tumbuhan jadi lumpur isi batu
Masasilam jadi kubur
Masadepan jadi lumpur

Ibu, kuatkan hatimu seperti batu
Biar anak-anak tidak ragu
Bangkit dari lumpur dari kubur
Beri mereka keyakinan abu
Biar bertebar ke aneka penjuru

Jangan jadi hantu di pengungsian
Menunggu catu yang tak tentu
Bumi Allah bersamudera berkah
Itu sebab tanah sebab sungai sebab gunung sebab api sebab lumpur sebab angin sebab debu
Sebab debu kembali ke debu
Sebab yang hidup kembali ke kubur

Ibu, kita masih punya waktu
Untuk angkat yang hidup dari lumpur dari debu
Semai cinta di rahim di darah di janin di tubuh anak-anakmu
Yang lain bakal lupa tapi ibu punya segala
Bisikkan doa, usapkan cinta, katakan suka
Tersenyum ibu, tersenyum! Biar abu jadi api jadi nyali!


Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (3)

Ibu, kita jadi roda jadi nakhoda
putar pelan dalam detik waktu abu
nafas satu-satu tidak saling berpacu
tiap gerak punya aturan punya urutan punya makna bagi kehidupan
ikuti titik dan garis yang ditetapkan waktu segumpal debu segumpal tanah liat
ditiup oleh Yang Maha Agung, dititipi ruh Yang Maha Hidup
untuk berkelana dan bersimpuh sebagai debu
bersyukur dan bertauhid hanya kepada Yang Maha Aku

Maka kita warnai abu dengan sakit dengan tangis dengan tawa dengan haus dan lapar
Tanpa itu kita akan lupa rasa lupa waktu lupa debu
Maka darah dan daging kita sama dengan segala debu dalam magma dalam lahar dalam tanah dalam hara dalam tumbuhan dalam hewan
Kita ditiup dengan cara dan beda rupa: diberi ruh dan akal dan kehendak bebas

Maka, Ibu pilihkan jalan yang benar!
Di telapak kakimu debu itu ditetapkan tapak dan jalan kami


Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (4)

Ibu, kami tahu kakimu sedalam magma sebatu gunung selesak akar menghujam desa sepanjang hayat sampai ke buyut ke kubur-kubur leluhur
Nafasmu bermula purba di sana merambati waktu abu menjuntaikan sulur-sulur kehidupan di ladang-ladang sawah kebun sungai batu abu dari merapi yang sama dari magma serupa
Dari kisah-kisah yang dinyanyikan para margasatwa dan musim hujan dan kemarau dan bulan-bintang, siang dan malam, panas dan dingin, angin kering dan angin basah
Tercatat dalam darah dalam urat dalam dada dalam otot dan sumsum dan tulang-tulang yang dihuni panca indera dan pori-pori tempat suluruh abu masuk dan ke luar dari tubuh menarikan irama kehidupan para petani para peladang para pemburu binatang hutan dan daun-daun serta akar jejamu

Ibu, kami tahu engkau berasal dari sana selalu berada di sana dan tidak ingin beranjak dari sana biar pun abu dan lumpur dan batu dan awan panas melumat banyak musim banyak jiwa dan mengubur seluruh artefak dan sejarah dari zaman ke zaman dari lumpur ke lumpur

Sakit, Ibu! Kami tahu, itu sakit sekali!
Tapi itu sakit yang bisa dilalui oleh para leluhur dan juga oleh ibu dan juga harus kami lalui bersamamu sampai kami tak tahan lagi dan kami mati digantikan oleh anak-anak kami

Sakit, Ibu!
Itu sakit sekali!


Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (5)

Sakit seperti nyawa yang dicabut dalam sakaratul maut seperti pohon yang dicabut dari tanah dan akarnya berkelojotan mencari tempat pijak dan air kehidupan seperti ikan terlempar ke daratan seperti usus dan jantung direnggut dari dalam badan
Seperti kita sekarang terdampar di tenda-tenda dan ruang-ruang pengungsian!

Demi kehidupan dan kemanusiaan kita tercabut dari bumi para leluhur dan melata di sini bersama ribuan hingga ratusan ribu orang lain terlunta-lunta dan harus menelan belaskasihan bagaikan para terhina padahal kita sudah buktikan bahwa kita bisa bekerja dengan kaki dan tangan dan mencari penghidupan sebagai manusia bebas bukan seperti para pesakitan dalam perang yang kalah

Sakit, Ibu!
Itu sakit sekali!

Kita harus telan semua bantuan meskipun semuanya terasa sama:
Serasa abu dan lumpur
Serasa luka, duka, dan airmata kita

Sakit, Ibu!
Itu sakit sekali!


Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (6)

Debu kembali ke debu
Abu termakan abu

Jika masa darurat berakhir
Kita jadi abu tanpa masa lalu
Abu tanpa masakini

Abu tanpa masadepan
Abu penuh rasa malu

Semua bantuan akan berhenti
Dan kehidupan kita dimulai: sebagai debu
Mengambang di kota-kota
Bercampur kotoran peradaban
Bercampur timah hitam dari knalpot kendaraan di jalan-jalan


Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (7)

Ibu, kaki kita akan terputus dari tradisi dan kebudayaan leluhur kita
Ibu, kakimu juga akan terputus dan kami kehilangan surgamu
Ibu, adakah yang lebih nelangsa dan lebih celaka dari itu?
Ibu, kita akan jauh lebih sakit dari tumpas dimangsa awan panas dan magma
Ibu, kalau kami tak segera diajari untuk membaca isyarat dan tanda-tanda kami akan segera terkubur di sini
Ibu, kami harus diajari untuk memahami  keadaan untuk melakukan perubahan
Ibu, selamatkan sedikit saja dari cintamu yang hangus terbakar agar kami bisa cinta belajar
Ibu, kami tahu kamu sakit, tapi tersenyumlah sebentar saja, tersenyumlah untuk kami!
Ulurkan tanganmu, akan kami cium seluruh abu dan lumpur yang melekat di situ
Angkat kedua kakimu, akan kami surukkan kepala kami di situ untuk membaca peta menuju surga!
Tak apa jika Ibu masih ingin menangis tumpahkan seluruh abu yang ada dalam tubuhmu, basahi dan lumeri kami dengan seluruh materi merapi yang ada dalam cintamu!
Itulah airmata abu yang menyambut kami ketika kami meluncur dari rahim Ibu!


Ibu, Dunia Kita Jadi Abu! (8)

Ibu, dunia kita jadi abu
Tapi kita hanya debu
Harus lanjutkan perjalanan pulang
Melewati lumpur dan batu
Sungai dan bukit
Sawah dan kebun
kembali ke tanah
dalam genggaman Sang Maha Cinta!

Bekasi, November 2010

Analisis Puisi:
Puisi epik "Ibu, Dunia Kita Jadi Abu!" karya Yudhistira A.N.M. Massardi adalah sebuah karya sastra yang sarat dengan makna dan menyentuh dimensi kehidupan yang mendalam. Puisi ini terdiri dari delapan bagian, dan masing-masing bagian memiliki pesan dan nuansa yang berbeda.

Bagian 1: Puisi dimulai dengan pertanyaan yang memperlihatkan keheranan dan kecemasan atas perubahan yang terjadi dalam dunia. Penggunaan imaji debu sebagai metafora kehidupan yang rapuh dan fana memberikan nuansa kehampaan dan ketidakpastian.

Bagian 2: Bagian ini memperdalam kesedihan dan ketidakpastian dengan menyajikan gambaran tentang kehancuran yang disebabkan oleh abu, lumpur, dan batu. Airmata ibu yang berubah menjadi debu menciptakan gambaran yang penuh emosi dan menyentuh.

Bagian 3: Puisi menciptakan keterkaitan antara manusia dengan alam dan kehidupan melalui metafora roda dan nakhoda. Pergulatan hidup dan takdir manusia digambarkan dengan indah, menciptakan rasa keteraturan dalam kekacauan.

Bagian 4: Bagian ini merinci kedalaman hubungan ibu dengan alam dan leluhur. Pergulatan ibu yang dalam dengan alam menjadi dasar bagi eksistensi manusia.

Bagian 5: Dalam bagian ini, penyair menyatakan sakitnya perubahan yang dialami manusia dan kepedihan yang dirasakan melalui gambaran pohon yang dicabut dan ikan yang terlempar ke daratan.

Bagian 6: Penyair menyuarakan realitas bahwa manusia kembali menjadi debu setelah masa darurat berakhir. Puisi menciptakan gambaran tentang manusia yang kehilangan identitas dan menjadi bagian dari kotoran peradaban.

Bagian 7: Bagian ini merinci perasaan kehilangan akar budaya dan tradisi leluhur. Penyair menunjukkan betapa pentingnya memahami keadaan dan melakukan perubahan untuk melawan kehancuran.

Bagian 8: Puisi diakhiri dengan harapan bahwa manusia harus terus melanjutkan perjalanan pulang ke tanah dengan membawa cinta Sang Maha Cinta. Meskipun dunia telah menjadi abu, tetapi manusia hanyalah debu yang akan kembali ke tanah, dan cinta adalah kunci untuk mengatasi segala penderitaan.

Penghormatan Terhadap Alam dan Tradisi: Puisi ini menyoroti pentingnya menjaga hubungan manusia dengan alam dan merawat warisan budaya leluhur.

Penderitaan dan Kebangkitan: Penyair menggambarkan penderitaan yang dialami manusia dalam perubahan dramatis ini, tetapi diakhiri dengan pesan harapan dan kebangkitan melalui cinta dan pemahaman.

Keberlanjutan dan Keterhubungan: Konsep roda kehidupan dan hubungan dengan leluhur menekankan pentingnya keberlanjutan dan keterhubungan dalam perjalanan manusia.

Puisi "Ibu, Dunia Kita Jadi Abu!" adalah sebuah karya puisi epik yang mendalam, menciptakan gambaran tentang ketidakpastian hidup, penderitaan, dan harapan. Dengan penggunaan bahasa yang indah dan imaji yang kuat, Yudhistira A.N.M. Massardi berhasil menggambarkan kekacauan dunia dengan cermat serta menawarkan pencerahan dan harapan di tengah-tengahnya.

Yudhistira ANM Massardi
Puisi: Ibu, Dunia Kita Jadi Abu!
Karya: Yudhistira A.N.M. Massardi

Biodata Yudhistira A.N.M. Massardi:
  • Yudhistira A.N.M. Massardi (nama lengkap Yudhistira Andi Noegraha Moelyana Massardi) lahir pada tanggal 28 Februari 1954 di Karanganyar, Subang, Jawa Barat.
  • Yudhistira A.N.M. Massardi dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1980-1990-an.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.