Analisis Puisi:
Puisi Di Perbatasan Usia karya Fridolin Ukur adalah karya yang menyelami kedalaman pengalaman manusia, berfokus pada pergeseran antara masa muda dan masa tua. Melalui gambaran simbolik yang kaya, puisi ini menyampaikan perasaan, kerinduan, dan refleksi yang mendalam tentang kehidupan dan perjalanan waktu.
Kontras antara Muda dan Tua
Pembukaan puisi dengan frasa “di akhir usia muda / di ambang usia tua” menunjukkan ketegangan antara dua fase kehidupan. Fridolin Ukur menghadirkan kontras ini untuk menyoroti perjalanan manusia yang tak terelakkan dari masa muda yang penuh semangat ke masa tua yang lebih tenang, namun tidak lepas dari refleksi atas berbagai pengalaman hidup.
Simbolisme Darah dan Kreasi
Penulis menggunakan simbol darah sebagai representasi kehidupan dan kreativitas penyair. Pernyataan “darah ini mengalir terus” mengisyaratkan bahwa meskipun waktu terus berjalan, hasrat dan semangat untuk berkarya tetap ada. Proses kreatif, seperti “mengukir kayu, memahat batu,” mencerminkan bagaimana penulis berusaha mengabadikan pengalaman dan emosi dalam bentuk seni. Ini menunjukkan bahwa seni adalah bagian integral dari hidup dan identitas.
Romantisme dan Kehampaan
Di tengah perjalanan hidup yang keras, penulis menghadirkan elemen romantisme: “dilandanya cinta terpendam mengunci diri.” Cinta menjadi tema sentral yang mengikat semua pengalaman, baik suka maupun duka. Penulis menciptakan gambaran tentang bagaimana cinta dapat mengunci seseorang, baik dalam pengharapan maupun dalam kerinduan, yang diungkapkan melalui interaksi dengan alam, seperti mencium bulan dan mengusap bintang.
Konsep Kehidupan dan Kematian
Puisi ini juga menyentuh tema keindahan yang terlewatkan dan keremangan waktu. “biar kabur bulan menggapai awan” dan “biar suram mentari dirangkul asap bumi” menggambarkan ketidakpastian dan transisi antara kehidupan dan kematian. Dalam suasana ini, penulis mengajak pembaca untuk merasakan ketidakpastian dan kesedihan yang datang seiring dengan bertambahnya usia.
Pentingnya Kenangan dan Harapan
Akhir puisi dengan ungkapan “nyanyikan rintih rindu / pada wewangi bunga layu” menyoroti pentingnya kenangan dalam mengatasi rasa kehilangan dan harapan di tengah keremangan. Meskipun bunga telah layu, masih ada keindahan dalam ingatan yang bisa dirayakan. Penulis menekankan bahwa meskipun usia bertambah dan waktu berlalu, kenangan dan pengalaman yang dimiliki akan selalu ada.
Puisi Di Perbatasan Usia adalah sebuah refleksi yang menggugah tentang perjalanan hidup dan perjalanan waktu. Melalui simbolisme yang mendalam dan bahasa yang puitis, Fridolin Ukur berhasil menangkap esensi dari pengalaman manusia—dari kesedihan, kerinduan, hingga harapan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung dan menghargai setiap momen, serta memahami bahwa setiap fase kehidupan, baik muda maupun tua, memiliki keindahan dan pelajaran tersendiri.