Puisi: Di Lereng Gunung (Karya J. E. Tatengkeng)

Puisi "Di Lereng Gunung" karya J. E. Tatengkeng menggambarkan keindahan cinta yang tulus dan mendalam melalui latar alam yang tenang dan refleksi ...
Di Lereng Gunung

             Di lereng gunung,
             Aku termenung,
             Duduk di sisi
             Kekasih hati.

Kami berpandangan sejurus lama,
Dan mengerti bisikan sukma.

       Dada yang debar,
       Terang menggambar
             Keadaan hati,
             Sesudah menanti
       Sekian lama akan waktu,
       di mana jiwa kami bersatu…

O, Hidup! Betapa indah,
Kalau kasih tak diperintah,
       hanya dengan sendiri
             datang memberi!

Sumber: Rindu Dendam (1934)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Lereng Gunung" karya J. E. Tatengkeng menggambarkan keindahan dan kedalaman perasaan cinta yang tulus, melalui gambaran yang tenang dan pemandangan alam yang megah. Dengan menggunakan latar gunung dan momen intim, puisi ini menciptakan suasana yang penuh makna dan keindahan.

Struktur dan Makna Puisi

  • Latar Alam dan Ketenangan: Puisi dimulai dengan setting yang damai di lereng gunung, tempat di mana penulis dan kekasihnya duduk bersama. Latar gunung ini tidak hanya memberikan kesan ketenangan tetapi juga menciptakan suasana yang mendalam dan reflektif. Kehadiran alam sebagai latar belakang menyiratkan bahwa momen ini adalah sesuatu yang besar dan penuh makna dalam kehidupan mereka.
  • Kedekatan Emosional: Penulis dan kekasihnya saling berpandangan dan merasakan bisikan sukma. Ini menunjukkan kedekatan emosional yang mendalam antara mereka, di mana kata-kata tidak diperlukan untuk memahami satu sama lain. Pandangan dan bisikan sukma menggambarkan hubungan yang penuh dengan keintiman dan pemahaman mendalam.
  • Kebahagiaan dan Kesejatian Cinta: Dada yang berdebar menunjukkan kegembiraan dan kepuasan mendalam setelah menunggu waktu yang tepat untuk bersatu. Ini menekankan bagaimana kebahagiaan dan cinta yang sejati datang tanpa harus diperintah atau dicari secara aktif. Penulis mengungkapkan bahwa cinta yang datang dengan sendirinya adalah sesuatu yang sangat indah dan memuaskan.
  • Refleksi tentang Hidup dan Cinta: Penulis menyimpulkan puisi dengan refleksi tentang keindahan hidup jika kasih sayang tidak harus dipaksakan. Cinta yang datang dengan sendirinya, tanpa perintah, dianggap sebagai hadiah yang paling berharga. Ini mencerminkan pandangan bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang alami dan tidak perlu diusahakan secara berlebihan.

Tematik

  • Ketenangan Alam: Latar gunung memberikan kesan ketenangan dan kedamaian yang mendalam, menciptakan suasana yang ideal untuk momen intim antara penulis dan kekasih.
  • Kedekatan Emosional: Pandangan yang saling bertemu dan bisikan sukma menggambarkan kedekatan emosional dan pemahaman mendalam antara pasangan, menekankan pentingnya komunikasi non-verbal dalam hubungan.
  • Kebahagiaan dalam Cinta Sejati: Puisi menekankan bahwa kebahagiaan dan kepuasan dalam cinta datang secara alami dan tanpa paksaan. Ini menunjukkan bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang berharga dan tidak bisa dipaksakan.
  • Refleksi tentang Hidup: Penulis mengungkapkan pandangan bahwa hidup lebih indah jika cinta datang dengan sendirinya. Ini mencerminkan sikap positif terhadap keindahan dan kemurnian cinta.
Puisi "Di Lereng Gunung" karya J. E. Tatengkeng menggambarkan keindahan cinta yang tulus dan mendalam melalui latar alam yang tenang dan refleksi emosional. Dengan menggunakan setting gunung dan momen intim, puisi ini menciptakan suasana yang penuh makna dan keindahan. Penulis menekankan bahwa kebahagiaan dalam cinta datang secara alami dan tanpa paksaan, dan bahwa cinta sejati adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidup. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenung tentang kedekatan emosional dan keindahan cinta yang datang dengan sendirinya.

Puisi J. E. Tatengkeng
Puisi: Di Lereng Gunung
Karya: J. E. Tatengkeng

Biodata J. E. Tatengkeng:
  • J. E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng) adalah salah satu penyair Angkatan Pujangga Baru. Nama panggilan sehari-harinya adalah Om Jan.
  • J. E. Tatengkeng lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907.
  • J. E. Tatengkeng meninggal dunia di Makassar, 6 Maret 1968 (pada umur 60 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.