Apa bedanya Harimau dan Macan? Pertanyaan ini sering dilontarkan masyarakat ketika mendengar adanya Harimau yang ditangkap atau mati karena jerat atau ditembak. Perbedaan yang jelas yaitu Harimau memiliki corak loreng atau garis-garis, memiliki tubuh besar umumnya mencapai 100 kilogram, dan berekor lebih pendek.
Sebaliknya, Macan memiliki corak tubuh tutul-tutul, bertubuh lebih ramping dan berekor lebih panjang. Pertanyaannya lagi, kenapa kita harus melestarikan Harimau? Sedangkan ada banyak informasi yang mengabarkan bahwa Harimau sudah membunuh ternak atau manusia.
Baik, kita akan bahas satu-satu pertanyaan ini.
Di Indonesia, ada tiga jenis Harimau yang pernah ada, yaitu Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), Harimau Bali (Panthera tigris balica), dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), dan hanya Harimau Sumatera yang masih ada sampai sekarang.
Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) sudah punah pada tahun 1980-an, sedangkan Harimau Bali (Panthera tigris balica) sudah punah sejak tahun 1940-an.
Bobot tubuh Harimau Jawa tidak jauh berbeda dengan Harimau Sumatera, dan Harimau Bali-lah yang memiliki bobot tubuh terkecil dari ketiganya.
Daya jelajah Harimau dapat mencapai 100 km2, dan makanan utamanya yaitu Babi Hutan, atau rusa.
Tiap tahun populasi Harimau Sumatera semakin berkurang, menjadikan hewan berbulu loreng kuning tua sampai oranye ini termasuk dalam Critically Endangered (beresiko punah dalam waktu dekat) menurut IUCN.
Salah satu penyebab berkurangnya Harimau Sumatera karena perburuan. Kepunahan Harimau Bali dan Jawa pun ditengarai dikarenakan perburuan besar-besaran pada masa pemerintahan VOC, kolonial Hindia Belanda dan masa orde baru.
Pada salah satu kartu pos dan potret koleksi dari Tropenmuseum pada jaman kolonial, terdapat foto Harimau yang diburu dan dibunuh. Kulitnya kemudian menjadi hiasan dirumah-rumah orang kaya pada saat itu.
Bicara soal perburuan Harimau, perburuan Harimau sesungguhnya sudah berlangsung sejak masa kerajaan, jauh sebelum masa pemerintahan kolonial.
Di dalam buku berjudul “Desawarnana”, yang merupakan saduran Mien Ahmad Rifai, dari Kakawin Nagarakertagama karya Mpu Prapanca, terdapat kisah perburuan Sri Paduka Rajasanagara atau sering disebut dengan Sang Prabu di Hutan Nandaka, berupa hutan belantara yang luas, dengan pepohonan yang lebat, dan rindang.
Sang Prabu bersama pasukannya berburu semua hewan yang ada di hutan tersebut termasuk Harimau Jawa, yang disebut Sang Raja Rimba. Sang Raja Rimba yang bijaksana memutuskan untuk menyerahkan dirinya kepada Sang Prabu dikarenakan sebagai titisan Batara Shiwa (salah satu dewa tertinggi dalam agama Hindu), Sang Prabu berhak mencabut nyawa semua mahkluk, sehingga terbebas dari dosa, dan terlahir kembali (reinkarnasi) sebagai manusia.
Di dalam kepercayaan Hindu-Buddha, manusia dapat terlahir sebagai hewan apabila sering melakukan perbuatan buruk atau jahat seperti membunuh. Meskipun begitu, perburuan dalam masa kerajaan ini masih mempertimbangkan keseimbangan alam, hanya di kawasan tertentu, dan untuk beberapa hewan tertentu.
Kegiatan perburuan merupakan kegiatan sakral, menyangkut kepercayaan sang raja sebagai titisan dewa. Sebelum perburuan dilakukan, diselenggarakan upacara suci, dan waktu perburuan juga tidak sembarangan dilakukan.
Di dalam bukunya “History of Java,” Sir Thomas Raffles, wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda, menceritakan mengenai seekor Harimau tengah menghadapi seekor Banteng di sebuah arena pertarungan hewan yang diselenggarakan pihak Kerajaan Jawa, dikenal dengan tradisi Rampogan.
Hewan Harimau disamakan dengan Singa, lambang dari kekuasaan, orang asing (Eropa), dan kekejaman, sedangkan Banteng melambangkan rakyat jelata, ketertindasan, perbudakan dan orang pribumi (Jawa).
Harimau juga digunakan untuk melawan seorang penjahat sebagai hukuman pada masa awal kerajaan Mataram. Apabila penjahat yang dibekali dengan sebuah belati mampu melawan dan membunuh Harimau tersebut maka dia akan dibebaskan.
Dalam buku lain yang ditulis orang Eropa, yaitu “Kepulauan Nusantara, Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam,” yang merupakan catatan perjalanan Alfred Russel Wallace, tergambarkan perburuan Harimau di wilayah bernama Modjo-agong, Jawa.
Harimau tersebut diburu setelah menerkam dan memakan seorang anak laki-laki yang sedang menaiki gerobak sapi di jalan utama pada suatu senja. Tulang belulang si anak ditemukan keesokan paginya.
Perburuan Harimau tersebut melibatkan Wedana dan tujuh laki-laki dari wilayah tersebut, dengan menggunakan tombak sebagai senjata. Kedelapan laki-laki dewasa tersebut mengepung Harimau dan menombaknya beramai-ramai. Kulit Harimau kemudian dijual dengan harga mahal, sedangkan gigi dan taring Harimau dijadikan jimat oleh para pemburu.
Rupanya para pemburu percaya bahwa gigi dan taring Harimau dapat memberikan kekuatan dan keperkasaan bagi si pemakainya. Puluhan tahun kemudian, kepercayaan ini belumlah hilang, dan bisnis bagian tubuh dari Harimau masih sampai berlanjut, sampai kemudian tidak ada satu pun Harimau Jawa yang tersisa di Pulau Jawa.
Setelah Harimau Bali dan Jawa sudah punah, maka para pemburu pun mulai memfokuskan pada Harimau yang ada di Sumatera. Bagian-bagian tubuh Harimau seperti kulit, taring, tulang, jeroan, masih saja menjadi komoditi perdagangan dengan harga fantastis.
Sebagian besar bagian tubuh tersebut dipercaya sebagai obat dan vitamin. Sebagian kecil dijadikan untuk perhiasan, atau dekorasi. Dengan adanya gerakan perlindungan terhadap satwa liar di dunia, maka penggunaan bagian tubuh Harimau Sumatera untuk dekorasi, perhiasan, atau pakaian menjadi berkurang.
Namun sayangnya perdagangan bagian tubuh Harimau untuk obat dan vitamin masih terus berlangsung sampai saat ini. Untuk mengatasi hal tersebut, tindakan hukum yang tegas terhadap pedagang, pemburu, dan pengepul harus dilakukan.
Pada beberapa kasus perdagangan organ Harimau Sumatera, faktor ekonomi merupakan alasan utama. Oleh karena itu, untuk mengatasi kasus perdagangan organ Harimau Sumatera, pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan sosial ekologi harus menjadi bagian dari rehabilitasi si pelaku.
Tidak hanya perburuan yang menyebabkan populasi Harimau Sumatera berkurang. Berkurangnya hutan yang menjadi habitat Harimau Sumatera, berdampak semakin berkurangnya hewan-hewan yang menjadi mangsanya, maka pencarian makanan Harimau pun semakin sempit, dan seringkali mencapai pemukiman, sehingga sering ditemukan konflik antara Harimau dan manusia.
Dan sebagai solusinya, Harimau Sumatera sering ditangkap atau dibunuh oleh manusia. Kasus konflik antara manusia dan harimau pada Juni lalu, yaitu dengan ditangkapnya seekor Harimau Sumatera yang memakan kambing milik warga di Sumatera Barat.
Jadi, Harimau Sumatera tidak semata-mata akan membunuh hewan ternak milik masyarakat atau manusia, melainkan dikarenakan sudah tidak adanya hewan yang menjadi makanan di sekitar tempat tinggalnya.
Secara budaya, Harimau menempati kedudukan yang istimewa didalam masyarakat adat Sumatera sebagai penjaga keseimbangan alam. Pada ribuan tahun lalu, hutan dan manusia menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana manusia mengandalkan apa yang hutan berikan untuk hidup, dan manusia pun membiarkan hutan tetap seperti apa adanya dengan segala penghuninya, termasuk Harimau Sumatera.
Sayangnya pada masa kerajaan, pemerintahan kolonial, dan pemerintahan Indonesia, terutama pada masa orde baru, eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin masif, dan mengabaikan nilai keseimbangan alam dan manusia.
Tidak hanya hutan yang dirusak, para penghuni hutan, termasuk Harimau Sumatera pun diburu dan dibunuh, untuk diperdagangkan, dan dijadikan sebagai simbol kekuasaan atas wilayah hutan atau kekuatan dari manusia, sebagai pemimpin dari semua makhluk di dunia.
Lalu kenapa penting melindungi Harimau Sumatera, sebagai satu-satunya spesies Harimau tersisa di Indonesia? Karena keberadaan Harimau di hutan yang menjadi habitatnya, merupakan indikasi bahwa hutan tersebut merupakan kawasan yang kaya keanekaragaman hayati nya, tempat sumber air dan oksigen terbesar bagi kehidupan manusia, serta penyimpanan karbon dari aktivitas manusia.
Dengan adanya hutan habitat Harimau Sumatera yang lestari, maka hutan Sumatera telah menopang hidup sebagian besar penduduk Sumatera khususnya, dan Indonesia umumnya, serta tentunya penduduk dunia.
Dan hal yang juga penting, adanya Harimau Sumatera, dapat menyeimbangkan jumlah hewan-hewan yang menjadi mangsanya, seperti Babi Hutan.
Semakin menyusutnya Harimau Sumatera, maka populasi Babi Hutan menjadi semakin banyak, dan mengancam tanaman pangan manusia karena Babi Hutan memakan dan merusak tanaman pangan warga. Warga kemudian malahan memburu Babi Hutan untuk menjaga tanaman pangannya, dan memburu Harimau Sumatera karena menganggapnya sebagai ancaman bagi warga.
Harimau Sumatera menurut para ahli, tidak akan membunuh ternak atau warga apabila makanan masih banyak tersedia, yaitu Babi Hutan. Dengan kehadiran warga dalam lingkaran ekosistem makanan antara top predator, yakni Harimau Sumatera, dan Babi Hutan, warga justru telah merusak lingkaran ekosistem tersebut, dan dampaknya warga pula yang terkena.
Harimau tidak akan keluar dari hutan yang lebat, sebagai habitatnya apabila hutan habitatnya masih dalam kondisi terawat dan makanan Harimau masih banyak dalam daya jelajahnya.
Selama ini warga sekitar hutan Sumatera menggunakan senapan atau jerat untuk berburu Babi Hutan untuk mengendalikan populasi Babi Hutan, padahal secara alami, populasi Babi Hutan akan terkendali dengan adanya Harimau Sumatera yang membutuhkan 30 sampai 40 kg daging sehari, atau setara dengan ½ daging Babi Hutan dewasa, yang rata-rata memiliki berat 80 kg.
Penggunaan Harimau untuk membasmi hama Babi Hutan sebenarnya lebih menguntungkan warga secara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Berdasarkan penelitian mengenai Babi Hutan, ternyata Babi Hutan memiliki kebiasaan mencari makanan disekitar kubangan air dan lumpur.
Oleh karena itu untuk menghindarkan kebun warga dari Babi Hutan, warga hanya perlu mencari kubangan dan sumber makanan bagi Babi Hutan di sekitar kubangan tersebut untuk menarik Babi Hutan, yang berada dalam daya jelajah Harimau untuk mencari makanan.
Apabila diperlukan, perekayasaan habitat Babi Hutan, dengan pembuatan kubangan dan translokasi Babi Hutan dari wilayah yang populasi padat ke wilayah populasi tidak padat, namun merupakan habitat Harimau diperlukan.
Translokasi Babi Hutan di wilayah Sumatera merupakan hal yang mampu dilakukan mengingat warga Sumatera banyak yang beragama Islam, dan tidak memakan daging babi, sehingga babi dianggap hanya hama atau hewan yang merugikan lahan warga.
Hal yang berbeda terjadi di Papua. Di wilayah Papua, umumnya suku lokal mengonsumsi babi, berburu babi untuk dijual, dikonsumsi, dan dipelihara sebagai simbol dari status dan kekayaan seseorang.
Penangkapan Babi Hutan bisa dilakukan dengan jerat atau perangkat yang tidak akan mematikan Babi Hutan.
Selain itu, perburuan Babi Hutan harus bekerjasama dengan warga yang biasa memburu Babi Hutan untuk memastikan Babi Hutannya siap di translokasi.
Apabila kerjasama ini dilakukan dengan menggunakan jerat atau perangkap yang dapat diproduksi sendiri oleh warga, maka warga tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli senapan dan peluru.
Populasi Babi Hutan juga harus dimonitoring sehingga bisa memenuhi pangan Harimau, yang artinya akan mempertahankan keberadaan Harimau.
Jika kerjasama dengan warga ini berlangsung, maka warga juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pembuatan pagar pembatas di lahan mereka dikarenakan over populasi Babi Hutan yang berpotensi merusak lahan warga.
Kegiatan untuk pelestarian Harimau Sumatera dengan memfokuskan pada Babi Hutan mendatangkan keuntungan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Secara ekonomi, warga tidak akan mengeluarkan biaya yang besar untuk membasmi Babi Hutan. Secara sosial, warga juga tidak harus membunuh mahluk hidup lainnya yang bertentangan dengan agama seperti Harimau atau Babi Hutan dan kepemilikan senapan juga berkurang.
Selain itu, potensi untuk mengambil daging Babi Hutan untuk menggantikan daging sapi dalam perdagangan daging juga berkurang, karena ketersediaan Babi Hutan hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pangan Harimau Sumatera.
Sedangkan secara lingkungan, apa yang dilakukan warga tidak akan merusak hutan habitat Harimau dan Babi Hutan.
Ancaman terhadap keberlangsungan hidup Harimau Sumatera masih berlangsung sampai tulisan ini dibuat. Pada Juni lalu, seekor Harimau Sumatera mati terkena jerat. Beberapa bulan sebelumnya perdagangan organ Harimau Sumatera dalam skala besar ditemukan.
Karenanya, kita masih harus melakukan gerakan untuk menyelamatkan satu-satunya spesies Harimau di Indonesia ini. Salah satu caranya dengan menyebarkan pengetahuan mengenai Harimau Sumatera di Hari Harimau Sedunia, atau #GlobalTigerDay yang diperingati setiap 29 Juli.