Sumber: Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan (2013)
Analisis Puisi:
Puisi “Rina” karya Rustam Effendi adalah sebuah karya puitis yang memadukan kekuatan simbolisme alam, emosi personal, dan nuansa spiritualitas dalam bentuk yang padat dan musikal. Tersusun dalam 4 bait dengan masing-masing 5 baris, puisi ini merupakan perpaduan antara gambaran pagi hari, sapaan mesra kepada hari yang baru, dan refleksi batin terhadap keberadaan, cinta, serta rasa syukur.
Tema: Fajar, Kesadaran, dan Penghormatan terhadap Kehidupan
Tema utama puisi ini adalah kedatangan pagi (fajar) sebagai simbol kesadaran baru, pembuka hari, dan penanda hadirnya kesempatan kedua dalam hidup. Rustam Effendi menghadirkan pagi sebagai sosok yang agung, bahkan layaknya seorang perempuan cantik atau utusan surgawi.
Namun, di balik itu, puisi juga menyiratkan tema cinta, kerinduan, dan refleksi spiritual. Ada penggabungan antara pengalaman estetik (keindahan alam pagi), emosi personal (rindu dan kenangan), dan kesadaran religius (Yaumu’lhasyar — hari kebangkitan dalam Islam).
Makna Tersirat: Pagi sebagai Simbol Kesempatan dan Syukur
Puisi ini secara tersirat menyampaikan bahwa datangnya pagi adalah rahmat — suatu kesempatan untuk menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan menyambut kehidupan dengan rasa syukur. “Rina bahari” dan “Utusan siang” adalah metafora bagi pagi yang membawa pengampunan, harapan, dan cahaya ilahi.
Baris:
“Terkenang ada, perkataan kurang.”
menunjukkan penyesalan atas sesuatu yang telah terjadi, entah dalam hubungan personal atau spiritual. Sementara itu, bait terakhir mengajak pembaca untuk merenungi arti hidup dan menyambut pagi sebagai bagian dari persiapan menuju akhirat (“Yaumu’lhasyar”).
Dengan demikian, makna tersirat dari puisi ini tidak hanya terbatas pada keindahan fajar, tapi juga renungan atas waktu, cinta, dan eksistensi manusia di hadapan Tuhan.
Unsur Puisi
Beberapa unsur pembentuk puisi ini mencakup:
- Bait: 4 bait, masing-masing terdiri dari 5 baris.
- Bentuk: Bebas, tanpa pola rima yang konsisten, namun memiliki irama musikal yang terasa dalam pelafalan.
- Gaya bahasa: Klasik dan liris, banyak menggunakan sapaan serta simbolisme khas sastra Melayu awal abad ke-20.
- Diksi: Puitis dan arkais, seperti “bahari”, “put’ri mantari”, “darni gumbiran”, “dadungku”, “Yaumu’lhasyar”.
- Nada: Syahdu, reflektif, dan penuh penghormatan terhadap alam dan waktu.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris (aku penyair) yang menyambut pagi dengan penuh penghormatan, bahkan personifikasi. Ia menyapa “Rina bahari”, “Penyapu langit”, dan “Utusan siang” sebagai wujud dari fajar yang menampakkan diri dengan kecantikan dan kemuliaannya.
Dalam pertemuan itu, sang aku juga menyampaikan rasa rindu, penyesalan, dan rasa syukur. Ada bayangan bahwa hari kemarin menyisakan kekurangan, dan pagi ini adalah kesempatan untuk menyambut kembali hidup dan spiritualitas.
Suasana dalam Puisi: Sakral, Liris, dan Penuh Harap
Suasana puisi ini cenderung sakral dan puitis, seperti menyambut seorang tamu agung. Kata-kata lembut seperti “silakan naik”, “jinggapkan parasmu”, “taburkan berlian”, menciptakan nuansa lembut, hangat, dan menyambut.
Namun pada bait ketiga dan keempat, suasana menjadi lebih melankolis dan reflektif, ketika penyair menyebutkan “perkataan kurang” dan “Yaumu’lhasyar”. Suasana itu membawa pembaca pada keheningan spiritual dan introspeksi diri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama puisi ini dapat dirangkum sebagai berikut:
- Pagi adalah anugerah, sebuah pengingat untuk memulai kembali dengan semangat baru dan hati bersih.
- Waktu membawa kesempatan untuk memperbaiki diri, mengakui kekurangan, dan menyampaikan syukur atas kehidupan.
- Keindahan alam dapat menjadi jalan menuju renungan spiritual — bahwa di balik cahaya pagi, ada pesan ilahi yang ingin disampaikan.
- Kesadaran akan hari akhir (Yaumu’lhasyar) semestinya menjadi alasan bagi manusia untuk menjalani hidup dengan lebih bertanggung jawab dan rendah hati.
Imaji: Pagi Sebagai Perempuan, Alam Sebagai Perhiasan Surgawi
Puisi ini kaya akan imaji visual dan personifikasi indah, seperti:
- “Singkaplah kelambu / Jinggapkan parasmu” — membayangkan fajar seperti perempuan bangun dari tidurnya.
- “Penyapu langit”, “dandanan permata nilam”, “taburkan berlian di rumput dan dahan” — menggambarkan pagi sebagai seniman langit yang menyulap dunia menjadi indah.
- “Bibirmu jingga di pantai bukit” — menampilkan cahaya matahari sebagai kecupan lembut pada alam.
- “Darni gumbiran”, “dadung berpantun”, “sebait kenang perkataan kurang” — memunculkan gambaran dunia batin yang bernyanyi, mengenang, dan merefleksi.
Majas: Personifikasi, Metafora, Simbolisme
Beberapa majas menonjol dalam puisi ini:
Personifikasi:
- Pagi digambarkan sebagai sosok perempuan (“Rina bahari”) yang bangkit, berdandan, dan tersenyum.
- Surya, siang, dan alam diberi sifat manusia: naik, duduk, menabur permata, memberi senyum.
Metafora:
- “Put’ri mantari” sebagai metafora dari fajar atau mentari yang anggun dan anggun.
- “Utusan siang” sebagai metafora dari sinar matahari atau cahaya ilahi.
Simbolisme:
- “Yaumu’lhasyar” melambangkan akhir zaman atau kesadaran religius akan kematian.
- “Perkataan kurang” menyimbolkan dosa, kekurangan, atau kesalahan pribadi yang ingin ditebus.
Puisi “Rina” karya Rustam Effendi adalah mahakarya puitis yang menyatukan keindahan alam, rasa cinta, dan kesadaran spiritual dalam satu napas puisi. Melalui simbolisme fajar dan sapaan lembut kepada pagi, penyair menyampaikan renungan mendalam tentang hidup, waktu, dan hubungan manusia dengan alam serta Tuhan.
Dengan bahasa yang lembut namun bermakna dalam, puisi ini menuntun pembaca untuk membuka hari dengan rasa syukur, kesadaran, dan cinta, serta mengakui kekurangan diri sebagai bagian dari perjalanan menuju kebaikan.