Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mencari (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi "Mencari" karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang pencarian sosok Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu—seorang tokoh yang dihormati, baik ...
Mencari

Kini aku mencari
Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu
Pujanggaku!
Kuketuk langit
Kuketuk bukit
bukit laut
Kuketuk sunyi
Menelusuri-sungai
Membelah kota damai ini!

Ingin belajar
Mengeja kata-kata
Menjadi bianglala
Membakar hutan dan senja
Dalam pertempuran dahsyat
Bersama para syuhada!

Zikir menjadi bara
Doa menjadi kelewang bertahta
Menggetarkan pintu surga
Bidadari di balik jendela
Menanti kasmaran dalam canda
Angan-angan dan bayang-bayang
Tanggalkan selempang darah!

Kini aku mencari
Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu
Pujanggaku!
Lama sudah
Bersimpuh di sini
Keteduhan masjid Baitul Rachman
Angin menderas
Menerpa tubuh
Dihalau dari serambi muka
Keluasan samudra
Pintumu selalu terbuka
Batin bersahabat
Dengan semua insan
Menjunjung martabat
Bukan yang culas dan durhaka
Mengajar kami
Haram makan yang haram
Yang diperoleh dari kebatilan
Tegak berdiri. Di bumi Allah
Ajarkan yang selebihnya
Yang engkau kantongi
Rahasia budi
Mengucur hikmah
Melimpah
Lepas panah api
Membasmi yang zalim!

Kini aku mencari
Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu
Pujanggaku!
Kubidik sudah
Celah-celah sejarah
Sebelum tangan ini
Buru-buru dan kaku
Menutup mulut yang ingin berdesah!

Banda Aceh-Jakarta, 2 Juli-3 Agustus 1993

Sumber: Gergaji (2001)

Analisis Puisi:

Puisi "Mencari" karya Slamet Sukirnanto merupakan karya yang sarat dengan nilai sejarah, spiritualitas, dan moral. Dalam sajak ini, penyair tidak hanya mengungkapkan pencarian terhadap sosok pahlawan dan ulama besar, Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu, tetapi juga menggali makna perjuangan, keteguhan iman, serta pesan moral yang diwariskan untuk generasi setelahnya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian jejak sejarah, spiritual, dan moral melalui sosok pahlawan dan ulama yang berperan penting dalam perjuangan rakyat Aceh. Selain itu, puisi ini juga menyinggung tema perjuangan melawan kezaliman, keadilan, serta nilai kebenaran yang harus dijunjung tinggi.

Puisi ini bercerita tentang pencarian sosok Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu—seorang tokoh yang dihormati, baik sebagai ulama maupun pejuang. Penyair menelusuri jejaknya, mengetuk langit, bukit, laut, dan kota demi menemukan hikmah dan teladan dari sang tokoh. Dalam pencariannya, penyair menggambarkan semangat belajar, berjuang, hingga menjadikan doa dan zikir sebagai senjata menghadapi ketidakadilan. Sosok yang dicari bukan sekadar figur historis, melainkan juga simbol nilai luhur yang terus relevan.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kerinduan akan sosok panutan yang mampu memberi teladan moral, spiritual, dan perjuangan bagi masyarakat modern. Puisi ini menyingkap kegelisahan bahwa dunia hari ini penuh dengan kepalsuan, kerakusan, dan pengkhianatan, sehingga diperlukan tokoh yang berani menegakkan kebenaran. Selain itu, penyair juga menyampaikan bahwa pencarian makna hidup tidak cukup hanya dengan materi, tetapi harus dilandasi dengan iman, doa, dan kebijaksanaan.

Suasana dalam puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah heroik, penuh semangat, sekaligus religius. Ada semangat perjuangan yang membara ketika penyair berbicara tentang doa yang menjadi kelewang, zikir yang menjadi bara, dan panah api yang membasmi kezaliman. Namun, suasana religius juga terasa ketika penyair mengaitkan perjuangan itu dengan keteduhan masjid, doa, dan nilai-nilai keimanan.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang terkandung dalam puisi ini adalah:
  1. Pentingnya meneladani para tokoh perjuangan dan ulama yang mengajarkan keadilan, kebenaran, dan martabat manusia.
  2. Perlawanan terhadap kezaliman dan kebatilan harus terus dilakukan, dengan bekal iman dan keberanian.
  3. Menjaga integritas moral dengan menjauhi segala yang haram dan tidak halal, baik secara materi maupun perbuatan.
  4. Generasi penerus harus terus mencari dan menggali hikmah sejarah, agar tidak kehilangan arah dalam menghadapi tantangan zaman.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual, auditif, dan religius, seperti:
  • “Kuketuk langit, kuketuk bukit, bukit laut, kuketuk sunyi” → imaji visual dan gerak, menghadirkan pencarian yang luas dan mendalam.
  • “Zikir menjadi bara, doa menjadi kelewang bertahta” → imaji religius sekaligus heroik, menggambarkan kekuatan spiritual sebagai senjata perjuangan.
  • “Angin menderas, menerpa tubuh” → imaji auditif yang menghadirkan suasana alam yang menyatu dengan semangat perjuangan.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “Zikir menjadi bara, doa menjadi kelewang bertahta” mengibaratkan kekuatan spiritual sebagai senjata melawan kezaliman.
  • Personifikasi – “Kuketuk langit, kuketuk bukit” seolah-olah langit dan bukit bisa diajak berkomunikasi.
  • Hiperbola – “Doa menjadi kelewang bertahta, menggetarkan pintu surga” melebih-lebihkan untuk menekankan kekuatan doa.
  • Repetisi – pengulangan frasa “Kini aku mencari, Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu, Pujanggaku!” yang memperkuat nuansa kerinduan dan penegasan pencarian.
Puisi "Mencari" karya Slamet Sukirnanto bukan sekadar penghormatan terhadap sosok Teungku Tjik Muhammad Pante Kullu, tetapi juga refleksi spiritual dan moral bagi kehidupan. Dengan tema pencarian tokoh panutan, puisi ini bercerita tentang kerinduan pada nilai luhur yang diwariskan tokoh sejarah, sekaligus mengandung makna tersirat tentang pentingnya integritas, perjuangan melawan kezaliman, dan pencarian hikmah hidup. Imaji dan majas yang digunakan memperkuat nuansa heroik dan religius, menjadikan puisi ini kaya makna dan relevan bagi setiap zaman.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Mencari
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.