Sumber: Horison (Agustus, 1972)
Analisis Puisi:
Puisi "Cemara Bertambah Tua" karya Surachman R.M. mengajak pembaca untuk merenung tentang perjalanan waktu, perubahan alam, dan ketahanan ingatan yang terbentuk dari pengalaman. Melalui gambaran alam yang menggugah, Surachman menghadirkan sebuah narasi yang penuh dengan rasa nostalgia dan kesadaran akan siklus kehidupan yang tak terhindarkan. Di dalam puisi ini, alam dan waktu seolah berperan sebagai pengingat bagi manusia tentang pentingnya bertahan dan menjaga ingatan, meskipun segala sesuatu di sekitar kita terus berubah.
Penggambaran Alam yang Berubah: Lupakan yang Lama, Pandang yang Baru
Puisi ini dimulai dengan ajakan untuk melupakan hal-hal yang sudah berlalu, seperti "telaga yang tak 'kan pernah tertidur," "gunungan yang biru selalu," dan "ayamutan yang berkokok bersabutan." Surachman tampaknya ingin mengingatkan pembaca bahwa kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Alam yang sebelumnya kita kenal sebagai sesuatu yang abadi dan tak tergoyahkan, kini telah berubah.
“Roman alam pun lain di sini,” kata penyair ini, menegaskan bahwa segala sesuatu yang dulu kita kenal kini tidak lagi sama. Perubahan alam adalah simbol dari perubahan yang lebih besar, baik dalam kehidupan pribadi maupun kolektif. Penyair mengajak kita untuk melepaskan bayangan tentang masa lalu yang tidak akan pernah kembali, dan menggantinya dengan pandangan baru terhadap dunia yang ada sekarang.
Dalam bagian ini, ada pula gambaran tentang alam yang sebelumnya hijau dan subur: "belantara lembab rimbun, sungai yang subur mengalir, rambut terurai kemilau, dan kulit hijau yang disepuh panas hari." Gambar-gambar ini menciptakan kesan tentang kedamaian dan keindahan alam yang begitu dekat dengan kehidupan manusia. Namun, kenyataan akan perubahan akhirnya tak terhindarkan.
Perubahan yang Tak Terhindarkan: Bukit yang Menjadi Kueh Bolu, Salju, dan Kehidupan Modern
Surachman kemudian menggambarkan bagaimana bukit-bukit yang dulu tampak alami kini telah berubah menjadi "kueh bolu dilaburi selai salju." Gambar ini jelas menunjukkan perubahan drastis dalam lanskap alam, yang kini dihiasi dengan salju putih yang menciptakan suasana yang berbeda sama sekali. Bukit yang dulunya dihiasi pepohonan dan tanah yang subur, kini berubah menjadi objek wisata yang dapat diluncuri dengan papan besi atau sepatu ski.
Gambaran tentang "mobil salju di wajah telaga" dan "ikan-ikan pun berpuasa" semakin mempertegas betapa alam telah berubah, dari tempat yang penuh kehidupan menjadi dunia yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia modern. Penyair seakan ingin menunjukkan betapa manusia kini telah mengambil alih kendali atas alam, mengubahnya untuk memenuhi keinginan dan hiburan, bahkan dengan cara yang sering kali tidak mempedulikan keseimbangan ekosistem.
Perubahan ini mengarah pada sebuah refleksi tentang kehidupan manusia yang semakin jauh dari kesederhanaan dan keharmonisan dengan alam. Kehidupan modern sering kali membawa kita menjauh dari keterhubungan yang alami dengan alam, menggantinya dengan aktivitas yang bersifat konsumtif dan hiburan semata.
Perenungan tentang Waktu: Cemara yang Bertambah Tua dan Ketahanan Ingatan
Pada bagian akhir puisi, Surachman menghadirkan gambaran tentang "cemara bertambah tua." Gambar cemara yang terus bertambah tua ini menjadi simbol dari perjalanan waktu itu sendiri. Seperti pohon cemara yang semakin bertambah usia, kita juga semakin mendekati kenyataan bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti mengalami perubahan, termasuk diri kita sendiri. "Bagai tahun-tahun yang sudah serupa mereka cuma yang akan bisa bertahan," tulis penyair, yang mengingatkan kita bahwa meskipun segala sesuatu berubah, ada yang tetap bertahan, seperti ingatan dan pengalaman masa lalu.
Surachman menegaskan bahwa meskipun dunia ini terus berubah, "aku akan jua bertahan pada sebuah ingatan." Ingatan, bagi penyair, adalah sesuatu yang abadi, yang tetap bertahan meskipun tubuh dan lingkungan fisik kita mengalami perubahan. Ingatan adalah tempat yang aman di mana seseorang bisa merasakan kembali kenangan-kenangan indah, harapan, atau bahkan kerinduan yang tak terbalas.
Puisi ini juga menutup dengan gambaran tentang "pangkalan" yang menjadi tempat bagi seseorang untuk menantikan surat, sebuah simbol dari harapan yang terus bertahan. Meskipun dunia terus bergerak, ada ruang dalam diri kita untuk menunggu dan mempertahankan kenangan serta harapan yang tidak lekang oleh waktu.
Puisi "Cemara Bertambah Tua" karya Surachman R.M. mengajak kita untuk merenung tentang perjalanan waktu dan perubahan yang terus terjadi dalam hidup kita. Melalui gambaran alam yang berubah, Surachman menunjukkan betapa cepatnya kehidupan modern mengubah wajah alam dan cara kita berinteraksi dengan dunia. Namun, meskipun dunia terus berubah, ingatan dan pengalaman masa lalu tetap menjadi bagian dari kita yang tak lekang oleh waktu.
Dengan menggunakan simbol-simbol seperti cemara yang bertambah tua dan ingatan yang bertahan, Surachman mengingatkan kita bahwa meskipun segala sesuatu yang lain berubah, ada bagian dari diri kita yang tetap teguh. Ingatan akan masa lalu, harapan, dan kenangan adalah sesuatu yang tak dapat diubah oleh waktu dan perubahan alam. Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk menghargai setiap kenangan dan bertahan dalam perjalanan hidup, apapun yang terjadi.
Puisi: Cemara Bertambah Tua
Karya: Surachman R.M.
Biodata Surachman R.M.:
- Surachman R.M. lahir pada tanggal 13 September 1936 di Garut, Jawa Barat.