Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Batu (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi “Batu” karya Slamet Sukirnanto menggambarkan tragedi, luka batin, serta kerasnya kehidupan yang tidak mudah dibentuk.
Batu

Terlempar jauh
jatuh bersama jasadmu
Ihwal yang terang
hanyut! Aku tak tahu.

1976

Sumber: Luka Bunga (1991)

Batu

tak mudah menatah batu
hidup yang diam membeku
tak juga cair mengalir
deras menuju ujung akhir
namun: Ia terus saja hadir

Jakarta, Maret 1982

Sumber: Horison (Juli, 1987)

Analisis Puisi:

Puisi “Batu” karya Slamet Sukirnanto adalah karya yang memanfaatkan simbol “batu” sebagai inti makna. Melalui dua puisi pendek dengan judul sama dari tahun berbeda, penyair menghadirkan dua perspektif: batu sebagai saksi tragedi dan batu sebagai metafora sifat kehidupan yang beku tetapi tetap hadir. Keduanya memperlihatkan bagaimana objek sederhana dapat membawa beban makna yang luas dan mendalam, baik secara emosional maupun filosofis.

Tema

Tema utama dari kedua puisi ini adalah ketegaran yang menyimpan luka, serta kehidupan yang statis namun terus berjalan. Tema tambahannya meliputi:
  • Kebekuan dan ketidakberdayaan hidup;
  • Kenangan pahit yang terus hadir;
  • Ketidakpastian dan ketidaktahuan manusia terhadap peristiwa pahit.
Puisi pertama bercerita tentang sebuah peristiwa tragis yang menyebabkan “jasadmu” terlempar jauh dan jatuh. Penyair menyaksikan atau mengenang peristiwa itu, tetapi ia tidak mengetahui “ihwal yang terang”—apa yang sebenarnya terjadi. Segalanya terasa hanyut, hilang, atau tersapu waktu.

Puisi kedua bercerita tentang kesulitan memahami atau “menatah” kehidupan yang diibaratkan sebagai batu. Hidup digambarkan diam, membeku, tidak cair, tidak mengalir menuju akhir tertentu—namun tetap hadir, tetap nyata, tetap ada di hadapan manusia.

Kedua puisi ini saling melengkapi: satu menampilkan tragedi personal, satunya lagi menunjukkan getirnya kehidupan.

Makna Tersirat

  1. Batu sebagai simbol luka yang membeku. Pada puisi pertama, kata “batu” tidak disebut langsung dalam tubuh puisi, namun keberadaannya sebagai judul memberi makna: tragedi yang menimpa “jasadmu” adalah batu di hati, luka yang keras dan membeku.
  2. Ketidakmampuan manusia memahami peristiwa pahit. “Aku tak tahu” menggambarkan ketidaktahuan dan ketidakberdayaan manusia menghadapi tragedi yang tiba-tiba.
  3. Batu sebagai simbol kehidupan yang keras dan stagnan. Pada puisi kedua, hidup digambarkan seperti batu: sulit dibentuk, keras, tidak mengalir ke arah tujuan yang jelas.
  4. Kehadiran hidup yang tak bisa dihindari. Meski beku dan sulit dimengerti, “ia terus saja hadir”—sebuah pengakuan bahwa hidup dengan beban dan kepahitannya tetap berjalan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang muncul:
  • Puisi pertama: kelam, tragis, bingung, dan penuh kehilangan.
  • Puisi kedua: muram, statis, reflektif, dan beraroma keputusasaan.
Keduanya menciptakan atmosfer perenungan yang berat dan gelap.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat disimpulkan:
  1. Dalam hidup, ada peristiwa menyakitkan yang datang tanpa penjelasan. Tidak semua luka memiliki jawaban atau kejelasan.
  2. Hidup kadang keras, stagnan, dan tidak mudah dibentuk sesuai kehendak kita. Namun ia tetap hadir dan harus dihadapi, betapapun beratnya.
  3. Manusia perlu menerima bahwa tidak semua hal dapat dipahami. Ada peristiwa yang hanya bisa dikenang, bukan dijawab.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji kuat meski singkat:

Puisi Pertama
  • Imaji gerak: “terlempar jauh”, “jatuh bersama jasadmu”
  • Imaji kehancuran: “hanyut!”
Imaji tersebut menciptakan gambaran tragedi yang cepat dan brutal.

Puisi Kedua
  • Imaji statis: “hidup yang diam membeku”
  • Imaji aliran yang terhenti: “tak juga cair mengalir / deras menuju ujung akhir”
Gambaran ini memberi kesan kehidupan yang mandek, keras, dan berat.

Majas

Berbagai majas terselip dalam kedua puisi:

Metafora
  • “hidup yang diam membeku” → hidup diibaratkan batu
  • “tak mudah menatah batu” → menatah batu = mengubah jalan hidup
Hiperbola
  • “terlempar jauh” → menggambarkan intensitas tragedi
Personifikasi
  • “Ia terus saja hadir” → hidup seolah sosok yang datang dan menetap
Elipsis
  • Baris pendek seperti “Ihwal yang terang / hanyut!” menunjukkan pemenggalan makna untuk menambah kesan mendadak.
Puisi “Batu” karya Slamet Sukirnanto adalah karya yang padat tetapi penuh kedalaman makna. Dengan menjadikan batu sebagai simbol utama, penyair menggambarkan tragedi, luka batin, serta kerasnya kehidupan yang tidak mudah dibentuk. Melalui dua puisi dari masa berbeda, ia mengajak pembaca merenungi bahwa hidup kadang tak jelas, tak bergerak, dan tak memberi jawaban—tetapi tetap harus dijalani.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Batu
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.