Puisi: Sebelum Makan Malam (Karya Cecep Syamsul Hari)

Puisi "Sebelum Makan Malam" karya Cecep Syamsul Hari menggambarkan kerumitan hubungan manusia dengan masa lalu, identitas, dan impian. Meskipun ....
Sebelum Makan Malam

Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz.
Tertegun-tegun menunggu kekuasaan tumbuh dewasa:

Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu,
dan belajar membaca manusia sebagai kumpulan
keinginan dan kesedihan.

Bukan fosil atau gambar separuh badan
sebagai sasaran tembakan.

Seperti engkau,
aku lahir dari sebuah sejarah
yang lecak dan selingkuh.

Tetapi kita mencintai negeri yang sama,
yang senyumnya bagai impian,
seperti pada masa remaja kita mencintai wanita yang sama,
yang senyumnya bagai buaian.

Cinta dan kekuasaan bersandar pada waktu, Afuz,
seperti babad rambutmu yang menipis
dan hikayat luka dalam aliran darahku.

Segalanya menjadi selalu mungkin:
Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam batin kita
yang penuh senyum dan gelak tawa.

Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan
menderas dari jauh dan jatuh dua kaki dari lubang
persembunyian, juga impian, kita yang rapuh.

Seperti Peter Pan, Tom Sawyer atau Bimbilimbica,
kita menunggu hadiah ulang tahun bukan saja dari pasangan
paman dan bibi yang tambun dan riang.

Tetapi juga dari sahabat khayalan,
Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti,
sepasang granium, tiga grasia,
dan peri-peri riuh di hutan-hutan jauh.

1994-2006

Sumber: 21 Love Poems (2006)

Analisis Puisi:

Puisi "Sebelum Makan Malam" karya Cecep Syamsul Hari adalah karya yang kaya akan simbolisme dan makna, mencerminkan kompleksitas hubungan antara individu, waktu, cinta, dan kekuasaan. Melalui lirik-liriknya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai tema universal yang sering kali diabaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Waktu dan Kekuasaan: Puisi ini dimulai dengan pernyataan bahwa "Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz," yang menekankan ketergantungan manusia pada perjalanan waktu. Waktu menjadi kekuatan tak terelakkan yang mempengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk pertumbuhan kekuasaan. Penulis menggunakan waktu sebagai metafora untuk proses kedewasaan dan perubahan, di mana kekuasaan tidak hanya diukur melalui atribut fisik seperti "peluru" atau "sepatu berlumpur darah," tetapi juga melalui kemampuan memahami "manusia sebagai kumpulan keinginan dan kesedihan."

Sejarah dan Identitas: Bagian tengah puisi menghubungkan personal dengan sejarah kolektif, di mana penulis menggambarkan dirinya dan Afuz sebagai produk dari "sebuah sejarah yang lecak dan selingkuh." Sejarah yang kotor dan penuh dengan intrik ini menjadi latar belakang bagi identitas mereka, tetapi di balik itu semua, ada cinta terhadap "negeri yang sama." Hal ini menunjukkan bahwa meskipun masa lalu mungkin penuh dengan kekacauan dan konflik, ada rasa memiliki dan cinta yang tetap utuh.

Cinta dan Impian Masa Muda: Penulis kemudian menyamakan cinta pada negeri dengan cinta pada wanita yang mereka cintai di masa remaja, yang "senyumnya bagai buaian." Cinta ini, baik terhadap negeri maupun terhadap seorang wanita, diungkapkan dengan keindahan dan kerinduan yang sama. Ini menciptakan paralel antara pengalaman personal dan kolektif, serta menekankan pentingnya kenangan masa muda yang penuh harapan dan impian.

Harapan dan Kerentanan: Melalui simbol-simbol seperti "rumah kanak-kanak dalam batin kita" yang penuh dengan "senyum dan gelak tawa," penulis menekankan bahwa harapan dan kebahagiaan masa kecil tetap ada dalam diri kita, bahkan ketika kita menghadapi kenyataan yang keras. Pecahan mortir dan kenangan yang menghujani dari jauh menggambarkan konflik dan trauma yang mungkin dihadapi, tetapi ada kekuatan dalam mimpi dan harapan yang membuat segalanya "selalu mungkin."

Imajinasi dan Realitas: Penutup puisi mengundang pembaca untuk melihat dunia melalui mata anak-anak, seperti Peter Pan, Tom Sawyer, atau Bimbilimbica, yang menunggu hadiah ulang tahun bukan hanya dari keluarga, tetapi juga dari "sahabat khayalan," "Tuhan," dan "peri-peri riuh di hutan-hutan jauh." Ini mencerminkan keajaiban imajinasi yang memberikan harapan dan kebahagiaan, meskipun dalam kondisi sulit.

Puisi "Sebelum Makan Malam" karya Cecep Syamsul Hari adalah refleksi mendalam tentang waktu, kekuasaan, cinta, dan harapan. Melalui penggunaan simbolisme dan metafora, puisi ini menggambarkan kerumitan hubungan manusia dengan masa lalu, identitas, dan impian. Meskipun terjebak dalam sejarah yang penuh dengan kekacauan, ada cinta dan harapan yang selalu hidup dalam diri manusia, yang mampu memberikan kekuatan untuk menghadapi tantangan dan meraih kemungkinan-kemungkinan baru.

Cecep Syamsul Hari
Puisi: Sebelum Makan Malam
Karya: Cecep Syamsul Hari

Biodata Cecep Syamsul Hari:
  • Cecep Syamsul Hari lahir pada tanggal 1 Mei 1967 di Bandung.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.