Puisi: Negeri Cahaya (Karya Cecep Syamsul Hari)

Puisi "Negeri Cahaya" karya Cecep Syamsul Hari mengajak pembaca untuk memasuki dunia yang penuh warna dan emosi, mengungkapkan nuansa dari sebuah ...
Negeri Cahaya
- dari lukisan Mamannoor

Pada sehelai kanvas
Duka menghentikan waktu
Malam selalu terang dan menunggu
Maut menarik batas

Namun langit jugalah yang kekal
Pohon-pohon tanpa nama
Warna pastel mengandung cahaya
Cinta menangguh ajal

Seorang gadis bergigi kawat
Menggenggam candu
Angin mengecup pusar yang dalam
Rambutku mungkin beruban

Sebuah lukisan baru, sebuah luka yang baru
Goresan kuas lebih runcing dari hujan
Garis melengkung, laut mengepung
Dan berikutnya nestapa tak berkesudahan

Ke mana dia pergi?
Siapa yang menutup pintu?
Mengapa dari tubuh manusia yang dibakar
Tidak tumbuh bunga?

Di negeriku darah tidak harus merah
Dan tinju bisa lebih kekar dari batu
Matahari kadang-kadang berwarna hijau
Orang-orang berjalan tanpa kepala

Terkurung badai ganas
Dan teluk yang menganga
Di atas sampan yang oleng
Seekor singa menjadi pertapa

Berilah nama-nama pohon itu
Seperti kenangan dan senja
Bukankah ceri ungu
Lebih ranum dari payudara

Mengapa dia pergi
Mengapa kehilangan begitu sunyi
Karena langit mungkin kekal
Dia tak pernah kembali

Di sehelai kanvas
Kau hentikan waktu,
Menjaga malam terang
Menimang negeri cahaya

2000-2003

Analisis Puisi:

Puisi "Negeri Cahaya" karya Cecep Syamsul Hari menyajikan sebuah karya yang penuh dengan simbolisme dan refleksi mendalam tentang waktu, cinta, dan kehilangan. Dengan menggunakan metafora yang kaya dan imaji yang kuat, penyair mengajak pembaca untuk memasuki dunia yang penuh warna dan emosi, mengungkapkan nuansa dari sebuah negeri yang tidak hanya bercahaya tetapi juga dipenuhi dengan duka dan pertanyaan yang belum terjawab.

Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang sebuah kanvas, simbol yang sering digunakan untuk mewakili kehidupan atau pengalaman manusia. "Pada sehelai kanvas / Duka menghentikan waktu" menunjukkan bahwa duka atau kesedihan memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi waktu, menjadikannya tidak bergerak atau stagnan.

"Malam selalu terang dan menunggu / Maut menarik batas" mengungkapkan kontras antara malam yang selalu terang dengan kematian yang menandai batas kehidupan. Ini menggambarkan ketegangan antara kehidupan yang berlanjut dan kematian yang mendekat.

"Namun langit jugalah yang kekal / Pohon-pohon tanpa nama / Warna pastel mengandung cahaya" memberikan nuansa bahwa meskipun ada kematian dan duka, langit dan alam semesta tetap abadi. Pohon-pohon tanpa nama dan warna pastel mengandung cahaya menggambarkan keindahan dan misteri yang tidak teridentifikasi, namun tetap ada dalam kehidupan.

"Cinta menangguh ajal" mengisyaratkan bahwa cinta memiliki kekuatan untuk mengatasi atau menunda kematian, menambah dimensi emosional pada puisi ini.

Simbolisme dan Imaji

Puisi ini menggunakan berbagai simbol dan imaji untuk mengeksplorasi tema-tema mendalam:
  • "Seorang gadis bergigi kawat / Menggenggam candu": Menggambarkan sosok yang terjebak dalam kecanduan atau ketergantungan, mungkin sebagai pelarian dari kesedihan atau kenyataan yang tidak diinginkan.
  • "Angin mengecup pusar yang dalam": Menunjukkan sentuhan lembut dan intim, mungkin melambangkan hubungan yang mendalam dan kompleks.
  • "Sebuah lukisan baru, sebuah luka yang baru": Menggambarkan proses penciptaan yang sama dengan proses penyembuhan atau luka baru, di mana seni dan emosi saling berhubungan.
  • "Goresan kuas lebih runcing dari hujan": Menggambarkan betapa tajam dan kuatnya dampak dari seni dan emosi, dibandingkan dengan hujan yang biasanya dianggap lembut dan meredakan.
  • "Di negeriku darah tidak harus merah / Dan tinju bisa lebih kekar dari batu": Menggambarkan ketidaksesuaian dan kekacauan dalam dunia yang digambarkan, di mana warna dan kekuatan tidak sesuai dengan norma-norma biasa.

Refleksi dan Pertanyaan Eksistensial

Puisi ini mengajukan beberapa pertanyaan yang mendalam dan tidak terjawab:
  • "Ke mana dia pergi? / Siapa yang menutup pintu?": Menunjukkan keputusasaan dan kebingungan tentang kehilangan atau perpisahan.
  • "Mengapa dari tubuh manusia yang dibakar / Tidak tumbuh bunga?": Menggambarkan keputusasaan dan harapan yang tidak terwujud, mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan terhadap kehidupan dan kematian.
  • "Di negeriku darah tidak harus merah / Dan tinju bisa lebih kekar dari batu": Menunjukkan realitas yang aneh dan tidak sesuai dengan harapan konvensional, memperlihatkan konflik dan ketidaksesuaian dalam dunia tersebut.
Puisi "Negeri Cahaya" karya Cecep Syamsul Hari adalah karya yang mendalam dan penuh makna, dengan simbolisme yang kuat dan imaji yang memikat. Melalui penggunaan kanvas sebagai metafora kehidupan, serta eksplorasi tema-tema seperti cinta, duka, dan kehilangan, penyair mengundang pembaca untuk merenungkan keindahan dan kesedihan dalam kehidupan. Puisi ini menyoroti bagaimana kita berurusan dengan pengalaman emosional dan pertanyaan eksistensial, serta bagaimana cahaya dan kegelapan saling melengkapi dalam pencarian makna dan keindahan di dunia ini.

Cecep Syamsul Hari
Puisi: Negeri Cahaya
Karya: Cecep Syamsul Hari

Biodata Cecep Syamsul Hari:
  • Cecep Syamsul Hari lahir pada tanggal 1 Mei 1967 di Bandung.
© Sepenuhnya. All rights reserved.