Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Morning Has Broken (Karya Cecep Syamsul Hari)

Puisi "Morning Has Broken" karya Cecep Syamsul Hari adalah permenungan puitik yang menyatukan spiritualitas, estetika, dan kemanusiaan dalam satu ...
Morning Has Broken

(1)

Bersama pagi para malaikat turun ke bumi. Masuk
ke dalam kabah hati manusia: bertawaf di sana.
Sebagian tinggal lama. Menemani mereka
membuka gerbang hari
berjalan di muka bumi dan menyingkap iqra
di pasar dan di kantor-kantor
di pematang sawah dan pabrik-pabrik. Kerja
menjadi zikir yang mampu mengguncang arasy dan mengguraui
Ia: Sang Maha Pekerja — hingga dalam kesibukannya
masih sempat tersenyum. Geli.

(2)

Bersama pagi para penyair naik ke langit. Masuk
ke dalam masjid batin malaikat: bersajak di sana.
Sebagian tinggal lama. Bersama mereka
membersihkan kebunNya dengan keluhuran kata-kata
kedalaman perenungan,
dan kejenakaan kanak-kanak

yang lugu tak terjaga. Tasbih mereka menjadi kasidah
perlahan mengalun bagai riak danau,
terkadang bagai laut yang menggemuruhkan ombak — kaya
dengan bunyi dan rasa. Tasbih mereka menjadi puisi
yang mengasalkan kejadiannya pada hati yang merdeka
tidak pada ketakutan atau hanya kepatuhan. Tasbih mereka
menjadi zikir yang mampu mengguncang arasy dan membuat tertawa
Ia: Sang Mahajenaka — hingga lihatlah!
bahkan dalam kekesalannya
tak hendak Ia marah.

1991-1999

Analisis Puisi:

Puisi "Morning Has Broken" karya Cecep Syamsul Hari adalah karya liris yang sarat dengan spiritualitas, simbolisme, dan perenungan mendalam terhadap hubungan antara manusia, pekerjaan, dan penciptaan. Ditulis dalam dua bagian yang simetris namun berkontras, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi dimensi spiritual dari kehidupan sehari-hari, serta kekuatan bahasa dan puisi sebagai alat zikir yang menggetarkan langit.

Melalui larik-larik kontemplatif, penyair tidak hanya menyampaikan semangat religius, tetapi juga menempatkan kerja dan puisi sebagai bentuk ibadah yang luhur. Puisi "Morning Has Broken" menjadi gambaran tentang transendensi yang hadir di dalam keseharian manusia dan para penyair—bahkan di tengah pasar, kantor, dan sawah.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah spiritualitas dalam keseharian dan kekuatan zikir melalui kerja serta puisi. Penyair mengangkat momen pagi sebagai awal pencarian makna, di mana para malaikat dan penyair menjalankan fungsi-fungsi suci mereka dalam semesta batin dan sosial manusia.

Dua sisi realitas—pekerjaan fisik dan kegiatan batin—digambarkan sebagai bentuk ibadah yang sejajar, yang keduanya bermuara pada zikir dan kedekatan dengan Tuhan.

Puisi ini bercerita tentang dua gerak spiritual yang terjadi di waktu pagi:
  1. Bagian pertama menggambarkan para malaikat turun ke bumi, masuk ke dalam hati manusia, dan menuntun mereka untuk bekerja. Pekerjaan manusia—di kantor, sawah, pasar, dan pabrik—tidak sekadar aktivitas ekonomi, tetapi diangkat sebagai bentuk zikir yang sakral dan mengguncang ‘arsy (singgasana Tuhan). Tuhan digambarkan sebagai "Sang Maha Pekerja" yang tersenyum geli melihat kesibukan manusia yang penuh semangat.
  2. Bagian kedua menggambarkan para penyair naik ke langit, masuk ke masjid batin para malaikat, dan menuliskan sajak sebagai bentuk tasbih. Penyair di sini digambarkan sebagai sosok yang membersihkan kebun Tuhan, merangkai puisi dengan keluhuran kata dan kedalaman perenungan. Puisi mereka lahir dari kebebasan batin, bukan ketakutan atau sekadar kepatuhan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa segala aktivitas manusia, bila dilakukan dengan kesungguhan dan ketulusan, bisa menjadi bentuk ibadah yang agung. Tuhan tidak hanya hadir di tempat suci atau saat ritual, tetapi juga dalam aktivitas duniawi yang penuh keikhlasan. Ia bahkan digambarkan sebagai Sang Mahajenaka—yang tidak murka, bahkan bisa tertawa dalam kekesalan.

Penyair ingin menyampaikan bahwa zikir tidak harus berupa lafaz verbal semata, tetapi bisa berupa kerja keras, penciptaan seni, perenungan, dan kejujuran batin. Dengan cara ini, manusia bisa menggetarkan singgasana Ilahi bukan dengan kekuatan fisik, tetapi dengan makna dan kesungguhan hati.

Puisi ini juga menyiratkan kritik halus terhadap keberagamaan yang kaku dan takut, dengan menekankan bahwa ibadah tidak harus dilandasi oleh rasa takut semata, tetapi oleh kebebasan hati dan cinta kasih yang jernih.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa tenang, sakral, dan kontemplatif, namun juga memiliki nuansa ceria dan jenaka yang tidak kaku. Ada getaran spiritual yang mendalam, namun tidak berat atau gelap. Justru suasana pagi digambarkan sebagai waktu penuh potensi ilahiah—tempat di mana malaikat dan penyair bertemu pada lintasan yang berbeda namun setara.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
  • Setiap aktivitas manusia dapat menjadi ibadah, selama dilandasi oleh niat yang tulus dan kesadaran spiritual.
  • Puisi dan kerja adalah dua bentuk zikir, yang mampu menyentuh Tuhan melalui jalur berbeda—praktis dan artistik.
  • Tuhan adalah Sang Mahajenaka, yang tidak kaku dalam menilai umat-Nya, tetapi memiliki kelapangan hati bahkan terhadap kekeliruan manusia.
  • Kebebasan batin lebih penting daripada kepatuhan buta, sebab zikir yang berasal dari hati yang merdeka memiliki gema yang lebih dalam.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji, terutama yang bersifat visual dan metafisik. Beberapa imaji yang mencolok antara lain:
  • “para malaikat turun ke bumi… bertawaf di sana” → menciptakan imaji sakral tentang tubuh manusia sebagai Ka'bah tempat malaikat bertawaf.
  • “berjalan di muka bumi dan menyingkap iqra di pasar dan kantor-kantor” → menciptakan gambaran manusia yang menemukan makna (iqra, baca!) dalam aktivitas sehari-hari.
  • “para penyair naik ke langit… membersihkan kebunNya dengan keluhuran kata-kata” → imaji spiritual yang sangat puitis, menggambarkan puisi sebagai bentuk pemeliharaan semesta.
  • “tasbih mereka menjadi kasidah… bagai riak danau… bagai laut yang menggemuruhkan ombak” → imaji auditif dan alam yang kuat, memperkuat dimensi emosional puisi.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “Kerja menjadi zikir yang mampu mengguncang arasy” — pekerjaan diberi sifat spiritual aktif yang mengguncang langit.
  • Metafora: “Ka'bah hati manusia”, “masjid batin malaikat”, “membersihkan kebunNya” — semua ini adalah metafora religius yang memperkaya makna puisi.
  • Simile: “perlahan mengalun bagai riak danau… bagai laut yang menggemuruhkan ombak” — perbandingan yang memberi efek musikal dan perasaan mendalam.
  • Ironi lembut: “Ia: Sang Maha Pekerja — hingga dalam kesibukannya masih sempat tersenyum. Geli.” → menampilkan gambaran jenaka Ilahi, yang tidak marah meskipun manusia penuh kekurangan.
Puisi "Morning Has Broken" karya Cecep Syamsul Hari adalah permenungan puitik yang menyatukan spiritualitas, estetika, dan kemanusiaan dalam satu tarikan napas. Dengan membagi puisi dalam dua bagian—malaikat dan penyair—penyair menyamakan kesucian kerja dan puisi sebagai bentuk ibadah. Dalam dunia yang makin materialistik dan rutinitas yang kadang terasa hampa, puisi ini mengajak kita menemukan makna dalam setiap aktivitas—baik jasmani maupun rohani.

Zikir tidak harus selalu dalam bentuk lisan atau ritual formal. Ia bisa hadir dalam kerja keras, dalam bait puisi yang jujur, dalam tawa yang tulus, dan dalam kesediaan untuk hidup dengan hati yang merdeka. Inilah pesan besar dari puisi ini: bahwa Tuhan bisa digugah bukan dengan ketakutan, tetapi dengan cinta dan keindahan yang meresap dari dalam.

Cecep Syamsul Hari
Puisi: Morning Has Broken
Karya: Cecep Syamsul Hari

Biodata Cecep Syamsul Hari:
  • Cecep Syamsul Hari lahir pada tanggal 1 Mei 1967 di Bandung.
© Sepenuhnya. All rights reserved.