Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Panggung Sandiwara (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Di Panggung Sandiwara" karya Gunoto Saparie bercerita tentang seorang aktor yang gagal berakting di atas panggung. Ia tidak percaya pada ...
Di Panggung Sandiwara

di panggung kau pun mencoba berakting
di bawah lampu-lampu dan dekorasi 
kau lupa berkata-kata, gagal berimprovisasi
entah ke mana kau selama ini menghilang

di panggung kau pun tak percaya naskah
meja dan kursi-kursi ternyata tak membantu
kau cuma mondar-mandir menjadi peragu
hamlet tak ada di tubuhmu yang resah

di panggung kau kehilangan sepotong kalimat
sutradara cemas dan sia-sia menunggumu
di panggung kau berharap sinyal atau isyarat
di panggung kau mati gaya mati kutu bikin malu…

2020

Analisis Puisi:

Puisi "Di Panggung Sandiwara" karya Gunoto Saparie menggambarkan refleksi kehidupan manusia melalui metafora sebuah pertunjukan teater. Penyair menghadirkan panggung, naskah, dan aktor sebagai simbol dari perjalanan hidup, di mana manusia sering kali berusaha berperan, namun justru terjebak dalam kebingungan, keraguan, dan kegagalan dalam memerankan “naskah kehidupan”.

Tema

Tema puisi ini berpusat pada kegagalan manusia dalam memerankan peran hidupnya. Hidup diibaratkan sebagai sebuah panggung sandiwara, sementara manusia adalah aktornya. Sayangnya, tidak semua orang mampu memainkan peran itu dengan baik. Ada yang ragu, lupa, atau bahkan kehilangan arah.

Puisi ini bercerita tentang seorang aktor yang gagal berakting di atas panggung. Ia tidak percaya pada naskah yang telah disiapkan, lupa kalimat, kehilangan improvisasi, hingga membuat sutradara kecewa. Kisah tersebut bisa dibaca secara harfiah sebagai kegagalan dalam seni peran, tetapi lebih dalam lagi, ia merupakan sindiran terhadap manusia yang gagal menjalani hidup sesuai jalan yang seharusnya.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup membutuhkan kesungguhan, keyakinan, dan kesiapan. Bila manusia ragu, lupa pada perannya, atau tidak percaya pada “naskah kehidupan” yang telah ditetapkan, maka ia akan kehilangan arah, tersesat, bahkan menanggung malu. Panggung sandiwara di sini adalah simbol dunia, sementara aktor adalah manusia yang dituntut untuk berperan sesuai tanggung jawabnya.

Suasana dalam puisi

Suasana yang terasa dalam puisi ini adalah kecemasan, kegugupan, dan kegagalan. Ada kesan gelisah dan malu ketika sang aktor tidak mampu memainkan perannya, sementara sutradara menunggu dengan sia-sia. Suasana ini mempertegas perasaan tidak siap menghadapi kenyataan hidup.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah:
  • Setiap manusia memiliki peran yang harus dijalani dalam hidup.
  • Jangan ragu, jangan lupa, dan jangan kehilangan arah dalam menjalani kehidupan.
  • Persiapan, keyakinan, serta kepercayaan terhadap “naskah kehidupan” sangat penting agar tidak gagal di hadapan dunia maupun Tuhan.

Imaji

Imaji yang muncul dalam puisi ini adalah imaji visual: panggung, lampu-lampu, dekorasi, meja, kursi, serta seorang aktor yang mondar-mandir kebingungan. Semua itu menampilkan gambaran yang jelas seolah pembaca sedang menyaksikan sebuah drama panggung yang berantakan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan antara lain:
  • Majas metafora, ketika kehidupan diibaratkan sebagai panggung sandiwara.
  • Majas personifikasi, tampak pada “sutradara cemas dan sia-sia menunggumu” seolah-olah sang sutradara ikut menjadi bagian emosional dari kegagalan aktor.
  • Majas hiperbola, pada frasa “mati gaya mati kutu bikin malu” yang menekankan betapa parahnya kegagalan sang aktor.
Puisi "Di Panggung Sandiwara" karya Gunoto Saparie merupakan cerminan tentang kehidupan manusia yang penuh peran. Melalui simbol teater, penyair menyindir orang-orang yang tidak siap, tidak yakin, atau bahkan kehilangan arah dalam menjalankan perannya di dunia. Dengan bahasa sederhana namun sarat makna, puisi ini mengajak kita untuk lebih sadar, mantap, dan bertanggung jawab terhadap peran hidup yang telah kita emban.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Di Panggung Sandiwara
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). 

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang) dan Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.